Tidak ada takdir yang buruk! Begitu penegasan Ustadz Anwar Nasihin, Lc saat memberikan tausyiah dalam Kajian Islam Subuh Ahad (KISAH) bertajuk "Sebenar-benar Syukur" di Masjid Al Ihsan Permata Depok, Pondok Jaya, Cipayung, Minggu 15 September 2024.
Semua takdir, apakah itu baik atau buruk dalam pandangan kita sebagai manusia, mengandung hikmah dan pembelajaran. Ketetapan takdir itu ada karena rahmat dan hikmah.
Manusialah yang menilai bahwa takdir itu kejam. Ketika manusia mendapatkan musibah, misalnya, dia menganggapnya itu sebagai takdir buruk, padahal belum tentu demikian.
"Ketika mendapatkan kesuksesan kita bilangnya itu takdir baik. Ketika mendapat musibah, kita bilangnya itu takdir buruk. Padahal belum tentu demikian. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 216)
Ustadz lalu memberikan contoh. Ada tukang ojek kena musibah. Ia tersenggol truk. Tulang kakinya patah karena ia terjatuh ke bawah jembatan. Ia meringis mengaduh. Berjam-jam lamanya ia menangis mengerang. Tidak ada yang mendengar dan menolongnya. Baginya, musibah ini adalah takdir buruk.
Tidak lama, rintihannya pun terdengar oleh seseorang yang melintas. Orang itu lantas mengevakuasi tukang ojek itu yang masih meringis. Setelah orang itu tahu, maka ia membawanya ke RS khusus patah tulang. Semua biaya ditanggung olehnya.
"Apakah ini takdir buruk? Bayangkan dia dibawa ke rumah sakit khusus patah tulang yang biayanya mahal, tapi ditanggung oleh orang yang menolongnya. Mendapati situasi seperti ini, reaksi kita bagaimana? Terhibur nggak?" tutur Ustadz dalam kajian yang disampaikan usai salat subuh berjamaah.
Tapi wajah si bapak masih murung. Lalu ditanya mengapa murung? Patah tulangnya ditangani di RS khusus, biaya ditanggung, masa pemulihan lebih cepat, mengapa terlihat tidak senang? Orang itu menjawab, motornya rusak parah bagaimana ia yang ojol bisa mencari uang?
"Sudah, Bapak nggak usah sedih. Nanti kalau sudah sembuh, ganti jangan roda dua, tapi roda empat. Ganti jadi pengemudi taksi online. Mobilnya nanti saya beliin. Jadi Bapak bisa cari duit lagi. Bagaimana reaksi kita mendengar itu? Rasa sakit pastinya hilang ya. Kita terhibur," ucap Ustadz.
Atau ketika kita sakit, bagi sebagian yang mengalaminya bilang itu takdir buruk yang menimpa dirinya. Karena itu, ia hadapi dengan keluhan, ngedumel, menggerutu. Padahal, ada hikmah mengapa kita diberi sakit.
"Tidaklah seorang muslim ditimpa suatu musibah berupa sakit atau lainnya, melainkan Allah akan menggugurkan dosa-dosanya dengan sakitnya itu, sebagaimana sebatang pohon yang menggugurkan daun-daunnya." (HR Al Bukhari dan Muslim).
Ustadz juga berkisah tentang jamaah haji yang kehilangan uang 2000 riyal ketika shalat di Masjidil Haram, Mekkah. Padahal, si jamaah sudah diingatkan untuk membawa uang seperlunya saja. Bawa 50 riyal cukup. Selebihnya simpan di kamar hotel. Ia pun merasa sedih.
Mendengar peristiwa ini, para jamaah pun urunan untuk mengobati kekecewaan temannya sesama jamaah. Dan, terkumpul 4000 riyal. Bayangkan, uang yang hilang 2000 riyal, tapi mendapat pengganti 2 kali lipat dari itu. Apakah ia telah mendapatkan takdir buruk? Ada hikmah di setiap peristiwa.
Ada peristiwa yang dialami oleh jamaahnya. Dua kali berturut-turut rumahnya kebobolan maling. Barang-barang berharga hilang. Beberapa waktu kemudian, suaminya naik jabatan, gajinya juga jauh lebih baik, mendapat fasilitas dari kantornya. Si jamaah lantas berucap, "Allah mengganti kehilangan yang kemarin dengan yang lebih baik."
Karena itu, Ustadz menegaskan, takdir apapun yang kita dapatkan harus disyukuri dengan sebenar-benar syukur. Berharap dengan syukur yang benar Allah akan menyempurnakan dan menambah nikmatNya kepada kita.
Kita harus meyakini semua kebaikan dan keburukan semata atas kehendakNya. Allah yang menakdirkan, menghendaki, dan menciptakan kejadian tersebut.
"Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya dia akan memberi petunjuk kepada hatinya... " (At-Taghabun: 11)
Sesuatu yang diberikan konotasinya nikmat, kalau yang ditimpakan konotasinya musibah. Orang yang benar-benar bersyukur adalah ketika diberi nikmat dan musibah, dia meyakini bahwa itu adalah baik.
Surat Al-Mulk ayat 2, Allah berfirman, "Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa, Maha Pengampun."
"Mati itu simbol hal-hal yang tidak menyenangkan, sedangkan hidup simbol hal-hal yang menyenangkan. Dua-duanya dijadikan Allah untuk menguji kita," terang Ustadz.
Dalam surah Al-Anbiya ayat 35, Allah mengatakan, "Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan."
"Jadi, kita akan terus diberi ujian. Di dalam kubur pun ada ujiannya. Ujian akan berhenti ketika kita benar-benar masuk syurga. Ujian yang menimpa kita itu akan terus menerus. Selesai, ada lagi, selesai ada lagi. Dengan apa kita diuji? Dengan yang buruk-buruk dan yang baik-baik," kata Ustadz.
Itu artinya, jika kita mendapat kebaikan atau keburukan, kita tetap harus bersyukur. Karena di balik yang buruk, menurut kita, ada hikmahnya. Bisa jadi Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik.
Dikatakan, ujian itu, untuk kenaikan jenjang ketakwaan kita. Ujian itu sunnatullah. Proses seleksi akan terus diberikan Allah kepada seluruh ciptaanNya, baik manusia, hewan, tumbuhan, dan lainnya.
Ujian kenaikan kelas atau kenaikan tingkat atau kenaikan jabatan, misalnya. Ketika menghadapi ujian kita tidak senang, tetapi ketika hasil ujian itu mendapat nilai A, kita pun senang dan sujud syukur.
Takdir yang tidak menyenangkan akan berbuah manis, akan ada hikmahnya jika syarat terpenuhi: ridha (menerima dengan lapang dada), sabar (tidak ada yang bisa sabar jika ia tidak ridha), dan ikhlas.
Apa makna sebenar-benar syukur? Poinnya ada enam:Â
- Yakin semua yang diberikan Allah atau yang ditimpakan Allah kepada kita adalah kebaikan. Â
- Banyak mengingat dan menyebut-nyebut yang memberi nikmat.
- Terus bekerja keras, terus berjuang.
- Tidak pernah berhenti dan mengokohkan persaudaraan -- sesama muslim, sesama anak bangsa, sesama umat manusia.
- Berbagi dan peduli, dermawan.
- Semakin responsin, semakin gesit, semakin cekatan jika "dipanggil Allah dan Rasul"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H