Suhu politik Indonesia di tengah gonjang ganjing merivisi UU Pilkada menjelang Pilkada serentak pada 27 November 2024, memanas. Pengesahan RUU Pilkada oleh DPR RI dalam "operasi senyap" berhasil digagalkan oleh gelombang demonstrasi mahasiswa yang terjadi di berbagai daerah.
Ratusan demonstran turun ke jalan untuk menolak upaya DPR yang dinilai ingin mengubah aturan main Pilkada di tengah jalan. Massa menilai revisi UU Pilkada yang diusulkan DPR bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI yang baru saja dikeluarkan.
Revisi UU Pilkada isinya mencakup beberapa poin krusial yang sempat memicu kontroversi, termasuk perubahan ambang batas pencalonan dan aturan batas usia minimum calon kepala daerah.
DPR RI melalui Alat Kelengkapan Dewan (AKD) Badan Legislasi (Baleg) semula akan mengesahkan revisi UU Pilkada dengan menganulir Keputusan Mahkamah Agung terkait pencalonan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur pada Pilkada Serentak.
Dalam putusannya, MK memutuskan  ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah tidak lagi sebesar 25 persen dari perolehan suara partai politik atau gabungan partai politik hasil Pileg DPRD sebelumnya, atau 20 persen kursi DPRD.
Namun, DPR RI berusaha revisi UU Pilkada dengan tetap mempertahankan ambang batas 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah bagi partai yang memiliki kursi di DPRD. Itu artinya, DPR berusaha mengabaikan Keputusan MA tersebut.
MK juga memutuskan threshold pencalonan kepala daerah dari partai politik disamakan dengan threshold pencalonan kepala daerah dari jalur independen atau perseorangan atau nonpartai sebagaimana diatur pada Pasal 41 dan 42 UU Pilkada.
Selain itu, MK memastikan partai non seat alias tidak memiliki kursi di DPRD dapat mengusung pasangan calon gubernur dan wakil gubenur. Namun, dalam revisi itu, DPR tetap mempertahankan ambang batas lama untuk partai yang memiliki kursi di DPRD. Hal ini dianggap oleh banyak pihak sebagai upaya untuk mempersulit pencalonan dari partai-partai kecil atau baru.
Poin yang cukup krusial dan menjadi sorotan dalam revisi UU Pilkada adalah mengenai batas usia minimum calon kepala daerah. Dalam revisi UU Pilkada, DPR menyatakan batas usia paling rendah calon Gubernur adalah 30 tahun dan batas usia calon wali kota/bupati adalah 25 tahun ketika resmi dilantik.
Usulan ini bertentangan dengan putusan MK nomor 70/PPU-XXII/2024 yang menegaskan batas usia minimum calon Gubernur tetap 30 tahun dan calon wali kota/bupati tetap 25 tahun, namun dihitung saat ditetapkan oleh KPU sebagai pasangan calon, bukan ketika dilantik.
Akhirnya rencana pengesahan revisi UU itu dibatalkan pada Kamis 22 Agustus 2024 setelah Gedung DPR/MPR berhasil "dikuasai" demonstran.
Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menyatakan pembatalan tersebut karena rapat paripurna pengesahan revisi UU Pilkada tidak memenuhi kuorum, bukan karena desakan massa. Hanya 89 anggota DPR yang hadir, jauh di bawah syarat minimal 288 anggota untuk membuka rapat. Begitu, katanya.
Melihat perilaku DPR RI itu, membuat geram praktisi dan pakar hukum Prof Henry Indraguna. Ia menilai revisi UU Pilkada yang dilakukan DPR RI sebagai upaya mengabaikan perintah putusan MK RI. Sebagai anggota dewan yang terhormat dan melek hukum, seharusnya putusan MK itu harus ditaati dan dilaksanakan oleh pembuat Undang-undang baik legislatif maupun eksekutif.
"UU Pilkada hasil revisi yang tidak berpedoman pada putusan MK berpotensi menimbulkan masalah baru dan bisa jadi kembali digugat melalui uji materi. Jadi seperti mempermainkan dan mengabaikan keberlakuan hukum yang justru dilakukan DPR sebagai pembuat legislasi tapi tidak taat konstitusi," tukas Prof Henry Indraguna saat dimintai tanggapannya terkait hal itu.
Di sela-sela penganugerahan penghargaan sebagai Tokoh Inspiratif Jawa Tengah di Bidang Hukum di Wisma Perdamaian, Semarang, Jumat 23 Agustus 2024, Prof. Henry menegaskan, jika DPR tetap tidak mengindahkan suara rakyat, ia justru akan kehilangan kehormatannya sebagai anggota DPR yang terhormat.
Menurutnya, DPR seharusnya tidak perlu menafsirkan apa yang sudah cukup jelas diatur oleh putusan MK. Kalau DPR mengatur yang berbeda itu, artinya cukup jelas sebagai sebuah potensi pelanggaran konstitusi. DPR jelas telah melakukan pelanggaran konstitusi.
"Kalau saya menyarankan regulasi pilkada yang diatur di dalam UU Pilkada hanya perlu dibenahi dan disesuaikan dengan Putusan MK tersebut. Bukan dibuat berbeda dengan Putusan MK tersebut. Sebab dari putusan MK tersebut saja telah dapat memastikan tersedianya calon yang beragam. Kalau calonnya beragam, maka pilihan-pilihan pemimpin daerah itu lebih mungkin untuk diketahui," terangnya.
Pembatalan revisi UU Pilkada 2024 ini memiliki implikasi terhadap pelaksanaan Pilkada mendatang. Dengan dibatalkannya revisi, maka acuan yang akan digunakan untuk pelaksanaan Pilkada 2024 adalah putusan MK yang bersifat final dan mengikat.
Dibatalkannya revisi UU Pilkada 2024, maka peluang bagi calon-calon kepala daerah untuk berpartisipasi dalam Pilkada menjadi lebih terbuka lebar. Partai-partai kecil atau partai baru mempunyai kesempatan yang sama untuk mengusung calon, sesuai dengan putusan MK yang menghapus ambang batas 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah, serta batas usia minimum dihitung saat penetapan oleh KPU, bukan saat pelantikan.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Mochamad AAfifuddin menyatakan pihaknya sebagai penyelenggara Pilkada siap untuk menindaklanjuti putusan MK tersebut. Langkah-langkah KPU untuk mengimplementasikan putusan MK ke dalam Peraturan KPU (PKPU) sedang dipersiapkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI