Sepasang remaja duduk di pojok warung mi ayam. Tidak seperti kebanyakan orang, Emilia, demikian nama yang kubaca pada seragamnya, tidak membuka-buka gawai saat duduk menunggu pesanan. Gawainya tergeletak begitu saja di meja. Kulihat layarnya berkelap-kelip, menyiratkan pesan masuk berkali-kali.
Berbeda dengan Ikram, temannya yang tak lepas dari gawainya. Nama ini juga berhasil kueja dari seragam sekolahnya saat kuperhatikan keberadaan mereka. Sepertinya keduanya sama sepertiku, penyuka mi ayam Kang Cecep.
"Buka, tuh! Dari tadi Sinta ngechat terus!" ujar Ikram seraya mempertegas dengan isyarat kepala. Matanya kembali pada gawai yang dipegangnya. Suara latar game kutangkap dari gawai remaja itu.
"Boleh dong, sesekali aku punya waktu buat me time!" jawab Emilia sedikit ketus.
"Waah... yang lagi pengen me time!" Ikram tergelak dengan nada menggoda. Mukanya dimiringkan mengarah pada wajah teman perempuan di sampingnya.
"Kayaknya puitis banget, deh, Em. Me time with mi Kang Cecep!"
Ikram makin tergelak, sementara Emilia masih cemberut.
Aku yang tengah membuka-buka gawai jadi ikut tersenyum mendengar kelakar mereka.
"Bukannya Sinta bestimu? Ngapain juga dicuekin. Kalian lagi masalah?"
Obrolan mereka terhenti saat datang hidangan yang ditunggu, mi ayam panas, plus toping olahan ayam kecap yang menggugah selera. Aromanya membuat perutku bergejolak. Bagianku juga datang bersamaan dengan hidangan untuk mereka. Kuhirup dulu aromanya sebelum isi mangkok yang menggunung itu kubahas hingga tandas.
"Besti sih, iya. Dalam banyak hal dia emang asyik buat temenan. Cuma ya... itu. Dia mah kalo ngomong, maunya didengerin. Gak boleh disela. Tapi kalau aku yang curhat, eh, dia mah suka ngambil alih. Bukannya nyimak omonganku, malah ngerebut balik curhatan. Jadi aku terus yang harus ngedengerin," katanya sambil mengaduk mi ayam dan menambahkan perasa lainnya.