"Emang Aa tidak mau berusaha bilang sama Ayah?"
"Neng Dilla kan tahu. Udah tiga kali Aa berusaha meyakinkan keluarga Eneng. Sayang, orang tua Neng Dilla terikat perjanjian dengan keluarga calon suami Eneng."
"Iya, A. Duh, maaf ya?"
Ardi hanya mengangguk pelan. Ia tidak ingin menambah beban pikiran kekasih hatinya dengan menyampaikan kekecewaan dirinya. Ia ingin meringankan langkah Dilla untuk menuruti kehendak orang tuanya. Ditelannya rasa sakit hingga tak terlihat secara kasat mata. Ia ingin terlihat tegar. Seberat apa pun beban yang menggelayuti hatinya.
Sejak itu, tempat pertemuan terakhir dengan kekasihnya selalu menjadi tempat persinggahan Ardi saat ia tak bisa menahan kerinduannya. Ia telah melewati malam-malam panjang selama bertahun-tahun hanya karena bayangan Dilla selalu menari-nari di pelupuk matanya. Senyum berlesung pipit itu menjadi pengganti kantuk, penghias malamnya.
Siang itu, saat angin bertiup lembut, Ardi telah duduk di batu ampar yang biasa mereka gunakan untuk bertemu. Ia bahagia karena beberapa bulan terakhir ini bisa berkomunikasi dengan Dilla, walaupun hanya melalui gawai.
"Ya, Neng Dilla, syukurlah kalau keadaanmu baik-baik saja. Aa baru saja beli HP baru biar bisa ngobrol sama Eneng," Ardi tersenyum bahagia. "Lesung pipimu masih ada, kan? Awas, jangan kauhilangkan ya? Karena itulah ciri khas cantikmu yang sesungguhnya."
Ardi mendengarkan jawaban Dilla dengan saksama.
"Oh, anakmu mirip aku? Syukurlah. Pandangi terus ya? Aa juga tak pernah bosan memandangi gambarmu setiap saat. Kalau anakmu tersenyum, berarti ia bahagia. Seperti Aa sekarang. Benar-benar bahagia bisa mendengar suaramu yang selalu kurindukan."
Ardi kembali mengangguk-angguk sambil tertawa senang. Namun tak lama kemudian raut mukanya menampakkan kekecewaan.
"Halo! Halo! Neng, Neng Dilla! Kok putus gak ada suaranya."