Mohon tunggu...
Teti Taryani
Teti Taryani Mohon Tunggu... Guru - Guru

Guru yang suka menulis. Author novel: Rembulan Merindu, Gerai Kasih, Dalam Bingkai Pusaran Cinta. Kumcer: Amplop buat Ibu, Meramu Cinta, Ilalang di Padang Tandus. Penelitian: Praktik Kerja Industri dalam Pendidikan Sistem Ganda. Kumpulan fikmin Sunda: Batok Bulu Eusi Madu, Kicimpring Bengras.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mengapa Aku di Sini?

6 Januari 2023   16:15 Diperbarui: 6 Januari 2023   16:22 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku hanya diam. Tak kuhiraukan kelucuan Ray yang ingin memecah kebekuan sikapku. Dia mengangkat tubuhku seakan begitu ringannya, padahal bobotku 57 kilogram. Postur tubuh dan usia kami hampir sama, di usia 17-an ini. Ray mendudukkanku pada dahan pohon jambu air yang cukup tinggi. Aku tetap bergeming. Malam yang berbintang tak membuat pandang mataku terlena. Kali ini aku benar-benar marah. Marah atas perlakuan Ray terhadap Nisa, gadis manis yang membuat hatiku berbunga-bunga.

Entah apa yang mendorongnya begitu usil hingga mengganggu kenyamanan gadis itu. Dua kali Ray menarik rambut Nisa saat tengah kuhampiri. Tentu saja gadis itu menjerit histeris karena tak melihat siapa pun di sekitarnya tetapi terasa ada yang menjambak rambutnya. Sekali dia mendorong Nisa saat masuk kelas hingga tubuhnya jatuh tertelungkup. Ray juga menyembunyikan buku tugas milik Nisa yang harus dikumpulkan hari itu.

Padahal kami sudah berjanji, siapa pun yang kami sayangi akan selalu dijaga perasaan dan ketenangannya. Mengganggu orang yang disayangi berarti siap melepas persahabatan yang sudah terjalin sekian lama.

Ray menatap awan yang mulai menghitam. Angin bersiur menunjukkan keberadaannya. Dahan pohon yang kududuki bergerak-gerak hampir tak terkendali. Ray membiarkan tanganku berpegangan kuat pada dahan pohon agar tidak terjatuh. Biasanya dia segera memegangku dan membawa turun dengan caranya. Kali ini aku turun sendiri tanpa berharap bantuannya.

Karena marah dan kesal, aku jadi kurang hati-hati. Kakiku menginjak bagian yang rapuh hingga rantingnya patah. Badanku sakit terkena dahan dan ranting yang memarut tubuhku saat meluncur jatuh. Ingin rasanya meminta tolong Ray. Tapi aku masih marah. Maka hatiku pasrah jika harus menimpa tanah dan bebatuan. Mungkin ini akhir hidupku. Biarlah, pikirku sedikit putus asa.

Ternyata aku terjatuh di tempat yang empuk. Ray menjadikan tubuhnya sebagai alas tempatku jatuh. Dia bisa mengubah dirinya serupa kasur yang empuk hingga aku terjerembab tanpa rasa sakit. Aku pergi begitu saja tanpa ucapan terima kasih. Segera masuk kamar dan menenggelamkan diri dalam diam. Berusaha tidur dan tak peduli pada Ray yang terus mengikutiku. Aku ingin Ray tahu, kemarahanku bukan main-main.

Sebagai anak tunggal, sering banget ibu mengkhawatirkan kesendirianku di rumah. Ayah juga demikian. Keduanya seakan berlomba mencurahkan perhatian saat berada di rumah. Semua hal yang menarik perhatianku, mereka fasilitasi dengan baik. Kedua orang tuaku sama-sama bekerja. Ayah menjadi karyawan swasta dengan posisi yang cukup baik, sedangkan ibu pemilik salon yang ramai pengunjung.

Sebenarnya, di rumah aku tinggal bersama Bi Yam yang begitu sayang dan perhatian kepadaku dan Bi Sum yang selalu siap dengan masakan yang lezat. Ayah dan ibu tidak perlu mencemaskanku karena selain ada Bi Yam dan Bi Sum, aku pun memiliki 'teman istimewa'.

Ya, awal perkenalan dengan teman istimewaku terjadi saat usiaku empat tahun. Aku pernah jatuh terperosok ke dalam parit di depan rumahku. Saluran air selebar enam puluh sentimeter itu mengalirkan air limbah rumah tangga.

Meski dangkal, aku tetap ketakutan karena pikiranku sibuk membayangkan seekor cacing yang bakal muncul dari perut saluran air. Cacing itu membesar dan akan membelitku dengan kuat hingga aku tak berdaya. Bayangan itu membuat tangisku menguar tak karuan. Sayang, tangisan kerasku tak berhasil mengundang Bi Yam atau Bi Sum untuk datang menolong.

Di tengah kepanikan itu, tetiba datanglah seorang anak kecil seusiaku yang mengangkat tubuhku dari parit. Ringan sekali sepertinya saat dia mengangkatku dengan sebelah tangannya. Sejak itu kami berteman.

"Kamu siapa?" tanyaku.

"Aku Ray," jawabnya tanpa senyum.

"Aku Dandi," sahutku senang karena mendapat teman.

Meski tak pernah senyum, sikapnya membuatku betah main berlama-lama. Apalagi jika aku sedang sendirian, Ray selalu siap menemaniku. Hanya saja, orang-orang di rumahku tak bisa melihat Ray. Mereka hanya tahu, aku sering bermonolog. Padahal aku asyik mengobrol dengan Ray. Di usia lima tahun baru kusadari, ternyata Ray bukan makhluk kasat mata.

Pernah beberapa kali ibu dan ayah membawaku ke psikiater karena khawatir dengan keasyikanku bermonolog saat sendirian. Bahkan sempat pula aku dirukyah agar terlepas dari gangguan makhluk halus. Nyatanya aku baik-baik saja dan persahabatanku dengan Ray semakin lekat.

"Pergilah, Ray. Mungkin sudah saatnya kita harus mengakhiri persahabatan ini. Kau carilah teman di duniamu. Aku akan melanjutkan hidup seperti orang pada umumnya," ujarku memecah kediaman yang tidak nyaman ini.

"Aku tak bisa jauh darimu, Dandi. Kamu perlu aku, sampai kapan pun," jawabnya sok berjasa.

"Aku ingin dewasa dengan caraku. Pergilah!"

Kuusahakan suaraku tidak disertai emosi. Aku ingin membujuk Ray agar dia menjauh dariku.

"Aku tak akan mengganggu perempuan itu lagi. Tapi jangan menolakku begitu. Apa kaulupa, tanpa aku, kamu selalu kesepian?" lanjutnya.

"Iya, sih. Tapi kita harus hidup dengan cara masing-masing. Ayolah, kamu punya duniamu, aku pun begitu."

Entah berapa lama aku membujuk Ray. Namun hingga malam semakin menua, belum menunjukkan tanda-tanda kesepakatan. Karena kesal, aku pun keluar rumah dan mengendarai motorku membelah malam secepat yang aku bisa. Tujuanku hanya satu, menjauh dari Ray. Entah mengapa lama-lama tubuhku terasa begitu ringan dan kecepatan motorku tak bisa kukendalikan. Aku terjatuh dan tak kuingat apa-apa lagi.

Aku bingung saat terbangun entah di mana. Begitu gelap dan berkabut. Dingin dan hampa. Lengang dan kosong. Rasa takut mulai merayapi tubuhku. Desau pucuk bambu menimbulkan suasana mistis. Pandanganku kabur. Aku sendiri didera suasana mencekam.

"Ray! Ray!"

Berulang kuteriakkan namanya. Saat ini aku benar-benar mengharap kehadirannya.

"Mengapa memanggilku? Bukankah kauingin aku pergi?" Tetiba suaranya menyentuh telingaku.

"Tidak! Jangan! Aduh, mengapa aku di sini?" tanyaku kebingungan.

"Kamu udah nyampe. Inilah tempatmu sekarang," jawabnya tak acuh.

"Jangan main-main Ray! Aku mau pulang. Antarkan sekarang!" Entah mengapa aku jadi panik sendiri.

Ray membawaku pulang ke rumah. Aku terpana melihat ayah ibuku menangis sedih di tengah orang-orang yang duduk memenuhi ruang tengah. Sepertinya mereka sedang asyik membaca buku kecil serupa majmu.

Kuhampiri ibu hendak kupeluk. Tetapi aku tak bisa menyentuhnya dan ibu tak melihat kedatanganku.

Kutatap Ray. Aku mengiba meminta penjelasannya. Dia hanya mengangkat bahu dan bergerak melayang meninggalkanku.

Tasikmalaya, 6-1-2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun