Semua yang mendaftar menjadi guru CPNS pasti merasakan hal yang sama saat dinyatakan lulus dari ujian tertulis. Dunia rasanya begitu cerlang dan berwarna indah. Segala perjuangan mencapai titik puncak yang diharapkan. Semua peluh dan keluh berubah jadi senyum merekah.
Bukan hal yang mudah mengikuti tahapan saat melamar menjadi CPNS. Mulai melakukan daftar akun dengan mengakses portal yang ditentukan, melakukan daftar formasi, seleksi administrasi, tes kompetensi dasar, hingga tes kompetensi bidang studi sudah tentu memerlukan kesabaran, kesungguhan, dan kemampuan yang optimal. Hingga akhirnya dinyatakan lulus.
Begitu pelamar dinyatakan lulus seleksi, CPNS tersebut menjalani masa percobaan selama satu tahun, sebelum diangkat menjadi PNS. Dalam masa itu, mereka mengikuti Latsar (dulu prajabatan) sebagai syarat untuk diangkat menjadi PNS.
Latsar ini dilaksanakan untuk memberikan pengetahuan, pembentukan wawasan kebangsaan, kepribadian, dan etika Pegawai Negeri Sipil, pengetahuan dasar tentang sistem penyelenggaraan pemerintahan negara, bidang tugas, dan budaya organisasinya supaya mampu melaksanakan tugas dan perannya sebagai pelayan masyarakat.
Melalui proses Latsar, diharapkan dapat membangun pribadi guru yang memiliki integritas moral, kejujuran, semangat, motivasi nasionalisme, membentuk pribadi unggul dan bertanggung jawab serta memperkuat profesionalisme. Dengan cara ini, setiap guru akan memahami perannya sebagai pelayan publik yang ikut membangun kejayaan NKRI.
Namun, apa yang terjadi saat seorang guru yang telah lulus latsar kemudian masuk dan menjadi bagian dari instansi yang dituju?
Ternyata kenyataan di lapangan tidak selalu sesuai ekspektasi. Nilai-nilai yang ditanamkan saat latsar sering berlawanan dengan realita sesungguhnya. Meski masih ada beberapa instansi yang masih memegang teguh nilai-nilai unggul, bertanggung jawab, serta profesional, yang sering menjadi sorotan justru lembaga yang tidak sejalan dengan kondisi yang diharapkan.
Seorang guru baru pernah menyampaikan hal ini dalam sebuah obrolan saat sama-sama menempuh perjalanan menggunakan kereta api Bandung -- Surabaya.
Bulan pertama hingga ketiga, dia merasa sedikit syok mengetahui keadaan yang jauh dari perkiraan. Saat masuk dan menjadi bagian suatu sekolah di sebuah SMP, dia harus menyaksikan rekan seniornya yang begitu antusias menyambut kedatangannya. Suasana awal yang menyenangkan ini ternyata hanya terlihat di bagian luarnya saja.
Selanjutnya, secara perlahan tapi pasti, berbagai tugas tambahan seperti mengikuti kegiatan organisasi profesi tingkat kabupaten, membina literasi siswa, menjadi Pembina ekstrakurikuler, hingga melakukan home visit kepada siswa bermasalah, menjadi beban yang harus dipikulnya. Belum lagi menyusun administrasi pembelajaran menjadi tugas utama yang tidak boleh diabaikan.
Padahal kedatangannya ke sekolah itu disertai segudang harapan. Dia bakal mendulang ilmu dan pengalaman dari para senior agar bisa membantunya menjadi guru profesional. Kenyataannya, dia langsung beroleh beban kerja yang luar biasa.
Kubesarkan hatinya dengan menyampaikan bahwa seharusnya dia bersyukur atas keadaan tersebut. Sebab dengan menggeluti segudang tugas yang harus diselesaikan, berarti dia mendapat ilmu dan pengalaman langsung yang akan menuntunnya ke ranah positif. Dia tidak perlu lama menunggu untuk menjadi guru yang terampil, berdedikasi, serta profesional.
Hanya saja, guru baru itu masih kesulitan saat harus membina kegiatan ekstrakurikuler bidang literasi. Hambatan utamanya hanya satu, dia sendiri kurang suka membaca dan menulis. Saat bersekolah di SD hingga menyelesaikan kuliah, dia hanya membaca buku wajib sesuai tuntutan mata pelajaran dan mata kuliah, tanpa tambahan buku sastra atau yang lainnya.
Mendengar curhat lanjutannya, aku tersenyum lagi.
"Membaca dan menulis bagi guru hendaknya ditempatkan menjadi bagian aktivitas utama," ujarku.
"Tapi saya tidak suka membaca," elaknya.
Kuberi sebuah buku kumpulan cerpen milikku terbitan tahun 2019 yang tersedia di dalam tas. Wajahnya datar saja lalu membuka-buka isi buku. Rupanya dia tengah berselancar membaca judul-judul cerpen yang terdapat dalam Amplop buat Ibu.
Tidak terasa kantuk menyerang hingga aku terkulai dalam tidur yang lelap. Saat terbangun, kulirik teman ngobrolku tengah mengusap air mata. Kenapa menangis?
Kutatap wajahnya dengan pandang heran. Dia melihatku sambil tersipu.
"Ternyata membaca bikin baper ya, Bu," katanya.
"Oh, ya?" kutunjukkan senyum meski masih heran dengan air matanya.
"Iya. Tamu Malam Hari di buku ini bikin saya sedih. Ternyata ada ya, orang yang kayak gini," lanjutnya sambil menunjukkan cerpen yang baru selesai dibacanya.
Aku mengangguk sambil mataku mengikuti arah yang ditunjuknya.
"Ternyata baca buku asyik juga," katanya sambil tersenyum.
Hingga turun dari kereta, kami tak sempat mengobrol lagi karena guru muda itu tenggelam dalam bacaan yang kuberikan.
Yang kuingat hanya satu: ternyata baca buku asyik juga.
Alhamdulillah.
*
*
Tasikmalaya, 29-12-2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H