Mohon tunggu...
Teti Taryani
Teti Taryani Mohon Tunggu... Guru - Guru

Guru yang suka menulis. Author novel: Rembulan Merindu, Gerai Kasih, Dalam Bingkai Pusaran Cinta. Kumcer: Amplop buat Ibu, Meramu Cinta, Ilalang di Padang Tandus. Penelitian: Praktik Kerja Industri dalam Pendidikan Sistem Ganda. Kumpulan fikmin Sunda: Batok Bulu Eusi Madu, Kicimpring Bengras.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Tepatkah Menakar Kesuksesan Melalui Peringkat?

24 Desember 2022   00:51 Diperbarui: 24 Desember 2022   11:01 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ikustrasi Siswa Belajar (KOMPAS.com)

Bagaimana hasil belajar anak saya, Bu? Peringkat berapa? Apakah masuk sepuluh besar? Karena di sekolah sebelumnya anak saya selalu masuk lima besar. Boleh saya tahu lebih awal, anak saya peringkat keberapa?

Pertanyaan klise yang selalu mewarnai hari menjelang pembagian rapor itu kembali terulang dan selalu berulang. Keingintahuan orang tua dalam grup yang saya buat setiap kali menjadi wali kelas, terus berlanjut. Dari tahun ke tahun, pertanyaan itu tidak pernah hilang. Mengetahui keberhasilan anak melalui 'peringkat' masih melekat dalam pikiran orang tua.

Sepertinya, masih banyak orang tua yang memandang keberhasilan akhir dari kegiatan pembelajaran hanya dari segi peringkat. Kebanggan hanya menjadi milik orang tua yang anaknya masuk lima atau sepuluh besar di kelas. Pikiran ini berbanding lurus dengan kekecewaan orang tua manakala anaknya mendapat peringkat yang jauh dari harapan.

Padahal, standar kesuksesan itu tidak dapat dipandang dari satu sisi. Sukses itu harus dimaknai dengan benar dan dilihat dari berbagai sudut. Artinya, siapa pun tidak bisa men-judge anak sebagai siswa gagal hanya karena tidak mendapat peringkat bagus.

Sesuai pendapat Nana Sudjana (1989: 5), belajar merupakan suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang. Perubahan sebagai hasil proses belajar mengajar tersebut dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk seperti perubahan pengetahuan, pemahaman, sikap dan tingkah laku, keterampilan, kecakapan, kebiasaan, serta perubahan aspek-aspek lain yang ada pada individu yang belajar.

Pendapat ini memiliki makna bahwa belajar merupakan proses perubahan tingkah laku pada seseorang. Bisa jadi, tadinya tidak tahu menjadi tahu, dari tidak memiliki keterampilan menjadi memiliki keterampilan, dan yang asalnya tidak bisa mengerjakan sesuatu menjadi bisa.

Mempersiapkan rapor siswa. Dokpri
Mempersiapkan rapor siswa. Dokpri

Saya pernah memiliki siswa yang kelewat percaya diri. Sebut saja Kenanga (sebab kalau Mawar cenderung masuk ranah kriminal atau cerita menyedihkan, ups!). Di kelas, anak ini sangat mandiri. Dia tidak pernah ikut ngobrol atau bercanda dengan temannya. 

Dia juga tidak suka bekerja kelompok. Nilai pengetahuannya selalu di atas rata-rata. Namun nilai sikap yang menyangkut kerja sama, tanggung jawab, menghargai pendapat orang lain, jelas masih jauh dari harapan. Teman-temannya pun tidak ada yang mau mendekat karena sikapnya yang agak angkuh dan sering menyepelekan pendapat orang lain.

Jika hanya melihat perolehan angka nilai pengetahuan, anak ini lebih unggul dibandingkan teman-temannya. Tetapi belajar bukanlah semata-mata mengejar angka, tetapi harus berhasil juga menjadi pribadi yang membuat orang lain nyaman berada di dekatnya.

Pernah pula memiliki murid yang saya sebut Melati. Simbol bunga ini saya buat karena seharum perilakunya. Siswa ini memiliki kemampuan kognitif yang biasa-biasa saja, namun di kelas dia menjadi tempat curhat teman-temannya.

Kemampuannya dalam mendengar dan memberi pandangan bijak membuat anak ini dinobatkan jadi siswa terfavorit. Bahkan beberapa guru memercayakan banyak hal kepadanya terutama dalam mengondisikan kelas dan memimpin kegiatan kelas. Sikapnya sangat santun, suka menolong, dan ekspresi wajanya membuat warga kelas merasa nyaman.

Ternyata, siswa di kelasnya lebih memilih Melati daripada Kenanga. Semua merasa nyaman berada di dekat Melati. Sedangkan di dekat Kenanga, teman-temannya merasa terancam dan tidak berharga karena semua pendapat selalu didebatnya. Di kelas ini para siswa tidak lagi memedulikan masalah peringkat. Mereka lebih memilih teman hebat dan menjauhi lawan debat.

Penyampaian informasi kepada orang tua siswa saat pembagian rapor. Dokpri
Penyampaian informasi kepada orang tua siswa saat pembagian rapor. Dokpri

Dalam satu pembelajaran, saat siswa diminta menulis artikel tentang kriteria sukses, saya benar-benar tercengang akan wawasan yang mereka kemukakan. Jika disimpulkan dari berbagai pendapat dan analisis anggota kelas, siswa sukses itu menurut mereka, hendaknya memiliki empat hal.

  • Selalu berubah ke arah pribadi yang lebih baik.
  • Memiliki wawasan luas dan menghargai pendapat orang lain.
  • Percaya diri sambil tetap menjaga hubungan baik dengan sekitarnya.
  • Mendorong orang lain agar sukses.

Nah, ternyata mereka tidak memasukkan unsur peringkat sebagai takaran kesuksesan.

Jika demikian, apakah Bapak/Ibu masih menganggap 'peringkat' sebagai kriteria kesuksesan? Sepertinya hal ini harus disikapi dengan bijak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun