Jika kita menarik garis ke titik awal kiprah budaya punk di dunia ini, kita akan terbawa ke London, Inggris, dimana punk saat itu menjadi subkultur atau budaya yang berbeda dari budaya dominan masyarakatnya kala itu. Â Permasalahan ekonomi dan keuangan yang didasari oleh menguapnya moral dari dalam kepala tokoh-tokoh politik di Amerika mengakibatkan timbulnya kriminalitas, pengangguran serta oretan sindiran lewat lagu-lagu lantunan pemuda punk yang merupakan anak dari kaum pekerja saat itu dan kemudian membuat punk itu sendiri menjadi lebih diketahui oleh orang banyak, tetapi mengetahui belum tentu mengenal.Â
Potongan rambut mohawk ala suku Indian atau dipotong ala feathercut dan diwarnai dengan warna-warna yang terang, sepatu boots, rantai dan duri, jaket kulit, celana jeans ketat, dan baju yang lusuh yang terlewat pada mata adalah syarat masyarakat untuk menyebut seseorang atau sekelompok orang atau kelompok sebagai punker. Tak jarang juga diikuti dengan sikap diskriminatif terhadap mereka karena stigma negatif tentang sifat dan perilaku yang telah melekat dari ujung sepatu boots hingga ke ujung rambut mereka yang memang cenderung menyimpang dari norma-norma yang ada pada masyarakat.
Di Indonesia punk memiliki stereotip yang dekat dengan anak jalanan juga hal-hal negatif. Akan tetapi, punk bukanlah soal berpenampilan nyentrik dan bernyanyi untuk mengharapkan uang di antara riuh warung kaki lima kala malam dan uang hasil mengamennya entah dipakai untuk apa. Punk jauh lebih dalam dari itu dan perlu dipikirkan dengan pikiran terbuka dan jelas dalam keadaan sehat.Â
Punk memiliki filosofi sendiri dan tidak bisa kita pahami mentah-mentah atas apa yang ada di dalamnya. Punk adalah bagaimana cara menjadi manusia yang lebih baik, Â begitulah yang digambarkan oleh Komunitas Taring Babi, sebuah komunitas punk independen yang bergerak di bidang sosial dan kreatif.
Memiliki rumah singgah di Gang Setiabudi No.39, Jagakarsa, RT.11/RW.8, Srengseng Sawah, Jagakarsa, di selatan Jakarta, Komunitas Taring Babi dikibarkan oleh Mikail Israfil dan Bobi. Berdiri pada awal tahun 1997, kegelisahan dan juga tidak tercapainya harapan yang cenderung terabaikan pada saat rezim Soeharto membuat Mike dan Bobi memutuskan untuk membuat komunitas Taring Babi yang juga dipicu oleh semangat perubahan dan demokrasi yang sama. Mereka ingin Taring Babi menjadi tempat dimana semua orang bisa menjadikannya sebagai ruang belajar bersama, bekerja sama dalam membagi kreativitas baik dalam bermusik, seni gambar dan lain-lain yang semua dinaungi oleh harapan dan rasa keinginan untuk mengekspresikan kegelisahan yang ada.
Taring Babi bukanlah sebuah komunitas yang diharapkan menjadi suatu organisasi besar. Itu karena orang-orang di dalamnya tidak ada kepentingan apa-apa. Ini semua hanya inisiatif dari individu-individu yang tidak berorientasi pada kekuasaan dan partai yang cenderung ada kepentingan yang bersemayam. Taring Babi hanya rumah dengan pintu yang terbuka lebar bagi siapapun yang ingin belajar.Â
Harapannya, dengan semangat yang mereka dapati, dapat ditularkan kepada pihak lain yang semoga bisa bermanfaat untuk setiap tempat yang dimana mereka pijak. Jadi tidak ada keinginan untuk membangun basis dan memperbanyak anggota dengan program yang tak kalah banyaknya seperti organisasi-organisasi masyarakat pada umumnya, hanya ingin menularkan nilai-nilai positif.
Kegiatan di Komunitas Taring Babi disebutkan oleh Mike adalah sama seperti orang-orang berkeseharian dan hidup pada umumnya. "Kita kalau ada yang bisa dilakukan ya dilakukan aja," ujarnya santai. Komunitas Taring Babi berupaya menjadi masyarakat yang baik dan juga tidak menggangu ataupun meresahkan. Sebaliknya mereka ingin menjadi masyarakat yang dapat berkontribusi dan memotivasi juga membangun kepercayaan dan kenyamanan masyarakat. Hal itu terlihat dari mereka yang turut mengikuti kegiatan gotong royong untuk membersihkan kali di lingkungan sekitar. Selain itu mereka juga membuat berbagai macam karya bernilai ekonomis seperti poster, cukil kayu dan sablon untuk kain serta pemanfaatan barang bekas yang dijual di distro mereka sendiri bernama Blaut Store yang tak jauh dari rumah singgah Komunitas Taring Babi.Â
Ilmu yang mereka miliki juga mereka tanamkan lewat  workshop yang mereka adakan, dengan itu semoga masyarakat bisa termotivasi untuk membangun ekonomi kemandirian dan jelas itu sangat membantu masyarakat. Tembok rumah singgah juga menunjukkan bukti kontribusi berupa berbagai macam penghargaan yang telah didapatkan, contohnya piagam penghargaan sebagai pembicara di salah satu talkshow. juga Mike menjadi salah satu teman baik Najwa Shihab yang menyandang predikat sebagai salah satu pembicara terkenal akan prestasi dan intelektualitasnya .Â
Hal itu dikarenakan Mike sebelumnya pernah diundang sebagai narasumber di acara Mata Najwa Metro TV. Adapun hal yang biasanya Taring Babi lakukan bagi khalayak banyak baik lokal ataupun internasional, Taring Babi mempunyai grup musik yang sudah menginjak tanah Jepang dan Eropa bernama Marjinal yang mereka anggap sebagai media komunikasi. Marjinal telah menorehkan prestasinya dibidang musik dengan terciptanya 5 album yang dimana 2 album dirilis di Jepang. Pembajakan sering terjadi terhadap karya yang telah mereka buat.Â
Uniknya mereka tak pernah mempermasalahkan itu. Mereka berfokus dan berharap tentang apa yang mereka lakukan bisa membawa rasa kebersaman, kekeluargaan, dan kepeduliaan kepada sesama manusia sehingga terciptalah perdamaian. Taring Babi juga akan terus berafiliasi dan bekerjasama dengan siapa saja selagi memiliki harapan dan tujuan yang sama di bidang edukasi dan pendidikan yang semoga bisa menyelesaikan permasalahan dengan cara yang baik dan bermanfaat, bukan dengan kekerasan dan mengesampingkan akal dan pikiran.