Mohon tunggu...
Teten Sang Pemoela
Teten Sang Pemoela Mohon Tunggu... -

Ini adalah catatan-catatan kecil pemikiran saya. Semoga bermanfaat untuk semua dan bisa turut membangun peradaban yang lebih baik.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Fenomena Politik Suap Kepala Daerah: Masalah dan Solusinya

1 Mei 2012   01:54 Diperbarui: 4 April 2017   18:31 24970
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

I.Pendahuluan

Praktik suap menyuap di Indonesia sudah menjadi kebiasaan yang lumrah. Khususnya dalam institusi pelayanan yang berkaitan dengan publik. Memberikan uang atau barang dalam rangka mempercepat proses yang berkaitan dengan birokrasi. Pemberian itu sebagai tanda agar dipercepat urusannya tanpa melalui mekanisme yang berlaku.

Terlalu lumrahnya praktik kotor ini, Deputi Bidang Informasi dan Data KPK DRM Syamsya Ardisasmita DEA menyebutkan, Transparency International, sebuah organisasi non-pemerintah yang giat mendorong pemberantasan korupsi, menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara paling korup di dunia. Berdasarkan hasil surveynya, Indonesia nilai Indeks Persepsi Korupsinya (IPK) pada tahun 2005 adalah 2,2 (nilai nol sangat korup dan nilai 10 sangat bersih. Indonesia jatuh pada urutan ke-137 dari 159 negara yang disurvei. IPK ini merupakan hasil survei tahunan yang mencerminkan persepsi masyarakat internasional maupun nasional (mayoritas pengusaha) terhadap tingkat korupsi di suatu negara.

Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan Survey Nasional Korupsi yang dilakukan oleh Partnership for Governance reform yang dikutip Demartoto (2007). Hampir setengahnya atau 48 persen dari jumlah pejabat yang ada di Indonesia pernah menerima pembayaran tidak resmi alias suap.

Baru-baru ini, contoh pejabat publik yang terjerat kasus suap adalah Wali Kota Bekasi Mochtar Muhammad.Pada Oktober 2011 lalu, Wali Kota Bekasi Moctar Muhammad sujud syukur setelah Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung memvonis bebas. Namun kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, Mahkamah Agung (MA) menganulir keputusan bebas Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pindana Korupsi (7/3/2012). MA berdalih bahwa politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu terbukti menyuap dan menerima suap.

MA menjelaskan, Mochtar terbukti melakukan penyuapan kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Jawa Barat. Modusnya, ia meminta pimpinan satuan kerja di Pemerintah Kota Bekasi untuk menyisihkan dua persen uang proyek sampai terkumpul Rp 4,5 miliar. Atas perintah Mochtar, Rp 4 miliar itu diberikan kepada anggota DPRD Jawa Barat agar Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Bekasi segera disetujui.

Kasus serupa menimpa Soemarmo, wali kota Semarang. Pria yang juga diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini menjadi tersangka dalam kasus suap pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan 2012. Pria yang sebelumnya berkarir sebagai sekretaris daerah ini telah ditahan di Rumah Tahanan Kelas I Cipinang selama 20 hari Sejak 30 Maret lalu.

Kasusnya teruangkap setelah Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap 2 Anggota DPRD Sumartono dan Agung Pumo Sarjono serta Sekda Akhmat Zaenuri pada Oktober 2011 lalu. Ketiganya telah ditahan lebih dulu.

II.Suap: Pengertian dan Faktor Penyebabnya

Muladi (dalam Alkostar, 2008, h.10) menjelaskan, suap (bribery) bermula dari kata briberie (Prancis) yang artinya begging (mengemis) atau vagrancy (penggelandang). Dalam bahasa Latin disebut briba, yang artinya ‘a piece of bread given to beggar’ (sepotong roti yang diberikan kepada pengemis. Seiring dengan berjalannya waktu, bribe bermakna “sedekah’ (alms), blackmail atau extortion (pemerasan) dalam kaitannya dengan pemberian atau hadiah yang diterima atau diberikan dengan maksud untuk mempengaruhi secara jahat atau korup.

Tidak jauh berbeda, Campbell (dalam Alkostar 2008, h.10) bribery juga bisa berarti the offering, giving, receiving or soliciting of someting of value for the purpose of influence the action an official in the discharge of his of her public or legal duties. Penawaran, pemberian, penerimaan atau pengumpulan sesuatu yang berharga dengan tujuan untuk mempengaruhi tindakan pegawai dalam pelaksanaan tugasnya secara umum atau legal.

Sementara Transparansi International (dalam Simanjuntak, 2008, h.1) mendefinisikan secara operasional, suap itu merupakan tindakan membayar uang secara ilegal untuk mendapatkan keuntungan atau kemudahan dalam proses birokrasi.

Muladi menilai, suap menyuap yang dilakukan secara bersama-sama dengan penggelapan dana-dana publik sering disebut sebagai inti dari tindak pidana korupsi. Wikipedia Indonesia menjelaskan (dalam www.wikipedia.org), korupsi dalam bahasa Latin berarti corruptio. Kata kerjanya corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik dan menyogok. Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat baik politikus atau politisi maupun pegawai negeri yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Dari sudut pandang hukum, unsur-unsur yang mencakup tindak pidana korupsi; perbuatan melawan hukum; penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana prasana; memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi; merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Selain itu, masih merujuk pada Wikipedia, yang masuk dalam tindak pidana korupsi: memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan); penggelapan dalam jabatan; pemerasan dalam jabatan; ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara; terakhir, menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara).

Menurut Juniadi Soewartojo (dalam Demartoto, 2007, h. 22-35), korupsi adalah tingkah laku atau tindakan seseorang atau lebih yang melanggar norma-norma dengan menggunakan atau menyalahgunakan kekuasaan atau kesempatan melalui proses pengadaan, penetapan pungutan, penerima atau pemberian fasilitas atau jasa lainnya, yang dilakukan dalam kegiatan penerimaan dan atau pengeluaran uang atau kekayaan, penyimpanan uang atau kekayaan, serta dalam perizinan atau jasa lainnya dengan tujuan pribadi atau golongannya sehingga langsung atau tidak langsung merugikan kepentingan dan atau keuangan dan atau kekayaan negara atau masyarakat.

Wertheim (dalam Revida, 2003, h.2), seseorang pejabat publik dikatakan melakukan tindakan korupsi bila ia menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah. Kadang-kadang, orang yang menawarkan hadiah dalam bentuk jasa juga termasuk dalam korupsi.

Sedangkan Masyarakat Transparansi Indonesia (dalam Renaldi, 2007, h.54) memberikan pengertian bahwa tindakan disebut korupsi apabila suatu perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena adanya suatu pemberian. Dalam praktiknya, korupsi lebih dikenal sebagai menerima uang yang ada hubunganya dengan jabatan tanpa ada catatan administrasi.

Ada pun menurut sudut pandang hukum, suatu tindakan dinyatakan sebagai korupsi telah dijelaskan secara jelas dalam 13 pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan pasar-pasal tersebut korupsi dirumuskan kedalam 30 jenis tidak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara gamblang mengenai perbuatan yang bisa dikenalkan sanksi pidana korupsi. Ketigapuluh bentuk tindak pidana korupsi itu dikelompokan menjadi tujuh:

1.Kerugian keuangan negara

2.Suap menyuap

3.Penggelapan dalam jabatan

4.Pemerasan

5.Perbuatan curang

6.Benturan dalam pengadaan

7.Gratifikasi.

Ciri-ciri korupsi ini, menurut Alatas (1981)dalam Demartoto (2007, h.89-102), diantaranya: pertama, dilakukan secara berjamaah. Kedua, bersifat rahasia dalam bertindak. Ketiga, melibatkan kewajiban dan timbal balik, dimana kewajiban atau keuntungan itu tidak melulu berupa uang. Ada pun penyebab tumbuh suburnya korupsi adalah adalah:

a.Ketiadaan kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mampu memberikan ilham dan mempengaruhi tindakan laku yang menjinakan korupsi.

b.Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika.

c.Peninggalan jaman kolonial.

d.Kurangnya pendidikan.

e.Tiadanya tindakan hukum yang keras

f.Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi.

Penelitian Sing (1974) dalam Revida (2003, h.2) menemukan bahwa terjadinya korupsi di India adalah karena kelemahanmoral (41,3 %), tekanan ekonomi (23,8 %), hambatan struktur administrasi (17,2%) hambatan struktur sosial (7,08 %). Merican (1971) dalam Revida (2003, h.3) mengurai sebab-sebab korupsi adalah peninggalan pemerintahan kolonial, kemiskinan dan ketidaksamaan, gaji yang rendah, pengaturan yang bertele-tele dan pengetahuan yang tidak cukup dari bidangnya. Sementara Ainan (1982) dalam Revida (2003, h.3), tindakan korupsi yang begitu marak bisa disebabkan karena;

a.Perumusan perundang-undangan yang kurang sempurna.

b.Administrasi yang lamban, mahal dan tidak luwes.

c.Tradisi untuk menambah penghasilan yang kurang dari pejabat pemerintah dengan upeti atau suap.

d.Korupsi dianggap biasa, tidak dianggap bertentangan dengan moral, sehingga orang berlomba-loma untuk korupsi.

e.Di India, misalnya menyuap jarang dikutuk selama menyuap tidak dapat dihindarkan.

f.Lain dengan di Nigeria, orang tidak dapat menolak suapan dan korupsi kecuali menganggap telah berlebihan harta dan kekayaannya.

g.Ketika orang tidak menghargai aturan-aturan resmi dan tujuan organisasi pemerintah, mengapa orang harus mempersoalkan korupsi.

Dari pendapat para ahli itu, bisa penulis bisa menyimpulkan bahwa sebab-sebab tumbuh suburnya korupsi tidak lepas dari: income atau pendapatan seorang pegawai yang kurang sehingga untuk menambah pengahasilannya, ia berkorupsi atau menerima sogokan. Kedua, masih ada kaitannya dengan faktor yang pertama, adalah mental pegawai yang ingin cepat kaya dengan cara instan sehingga melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan peraturan yang berlaku.

Ketiga, tindakan korupsi tidak bisa lepas dari sejarah masa lalu, atau peninggalan kolonialisme. Bangsa Indonesia telah dijajah selama 3,5 abad oleh Belanda. Tidak bisa lepas dari masa lalu. Keempat, nilai-nilai atau pemahaman etika yang minim dari para pelaku pengambil kebijakan atau pegawai. Kelima, penegakan hukum yang masih kurang. Setumpuk peraturan baik itu perundang-undangan atau peraturan lain dibuat, namun tidak dilaksanakan sehingga menjadi macan kertas saja yang tidak berfungsi apa-apa.

III.Dampak Suap-Menyuap

Korupsi termasuk di dalamnya suap-menyuap memberikan dampak yang sangat luar biasa terhadap tatanan roda pemerintahan. Nye (dalam Revida, 2003, h.3) menjelaskan bahwa akibat dari tindak pidana korupsi menjadikan: pertama, pemboroan sumber-sumber, modal yang lari, gangguan terhadap penanaman modal, terbuangnya keahlian serta bantuan yang lenyap. Kedua, ketidakstabilan, revolusi sosial,pengambilalihan kekuasaan oleh militer, menimbulkan ketimpangan sosial budaya. Ketiga, pengurangan kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan kapasitas administrasi, hilangnya kewibawaan administrasi.

Sedangkan Mc Mullan (1961) dalam Revida (2003, h.3) menyatakan bahwa korupsi memiliki dampak yang sangat signifikan. Pertama, ketidakefisienan, ketidakadilan, rakyat tidak mempercayai pemerintah, memboroskan sumber-sumber negara, tidak mendorong perusahaan untuk berusaha terutama perusaah asing, ketidakstabilan politik, pembatasan dalam kebijakan pemerintah dan tidak represif.

Dari uraian tersebut bisa disimpulkan bahwa bila suap-menyuap tidak diberantas, maka kepercayaan masyakarat terhadap pemerintah akan berkurang. Sehingga mereka akan melakukan caranya sendiri-sendiri dalam menyelesaikan setiap masalah terutama yang berurusan dengan hukum.

Selain itu, suap menyuap juga menjadikan biaya operasional pemerintahan menjadi membengkak. Anggaran yang seharusnya diprioritaskan untuk kesejahteraan masyarakat, malah masuk ke kantong-kantong pribadi pejabat, atau memperkaya diri.

IV.Solusi

Lalu bagaimanakah menindak pola suap dan korupsi ini? World Bank(dalam Demartoto, 2007, h. 89-102) memberikan tiga rekomendasi bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi dibutuhkan penyelesaian yang komprehensif. Yaitu, pertama, membangun birokasi yang berdasarkan ketentuan hukum dengan struktur penggajian yang menghargai para pegawai negeri atas kejujurannya. Rekrutmen berdasarkan prestasi dan sistem promosi haruslah diberdayakan sehingga dapat mencegah intervensi politik. Kontrol keuangan yang kredibel juga harus diberdayakan untuk mencegah terjadinya penggunaan dana publik secara arbitrasi.

Kedua, menutup kemungkinan bagi para pegawai untuk melakukan tindakan-tindakan koruptif dengan mengurangi otoritas penuh mereka, baik dalam perumusan kebijakan maupun dalam pengelolaan keuangan. Ketiga, menegakan akuntabilitas para pegawai pemerintah dengan memperkuat monitoring dan mekanisme hukuman, lembaga-lembaga publik juga hendaknya memberdayakan fungsi kontrol dan pengawasan publik.

Sedangkan Organisation for Economic Co-Operation Development (OECD)(dalam Jeremy Pope, 2008) telah mengembangkan prinsip-prinsip untuk memberantas korupsi secara sistematik. Prinsip-prinsip ini dapat disesuaikan dengan keadaan setiap negara. Sekalipun tidak memadai, prinsip-prinsip ini bisa digunakan acuan. Prinsip tersebut adalah:

a.Standar etika pelayanan publik harus jelas.

b.Standar etika ini harus tercermin dalam kerangka hukum.

c.Harus tersedia pedoman etika bagi pegawai negeri.

d.Pegawai negri harus tahu hak dan kewajiban ketika dihadapkan pada prilaku tercela.

e.Dukungan kemauan politik pada etika dapat memperkuat perilaku etis pada pegawai negeri.

f.Proses pengambilan keputusan harus transparan dan terbuka untuk diuji.

g.Harus ada pedoman yangjelas untuk interaksi sektor publi dengan sektor swasta.

h.Pimpinan harus memberikan teladan dan mendorong perilaku beretika.

i.Kebijakan pengelolaan perilaku prosedur dan praktik beretika harus mendorong perilaku beretika itu sendiri.

j.Persyaratan kerja pelayanan publik dan pengelolaan sumber daya manus harus dapat mendorong perilkau beretika.

k.Harus ada mekanisme pertanggungjawaban yang memadai dalam pelayanan publik.

l.Harus ada prosedur dan sanksi yang tepat untuk menghadapi perilaku tercela.

Kartono (1983) dalam Revida (2003, h.4) memberikan saran untuk pembasmian korupsi sebagai berikut: Pertama,adanya kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial, dengan bersifat acuh tak acuh. Kedua, menanamkan aspirasi nasional yang positif yang mengutakan kepentingan bangsa. Ketiga, para pemimpin dan pejabat memberikan teladan, memberantas dan menindak korupsi.

Keempat, adanya sanksi dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan menghukum tindak korupsi. Kelima, mereorganisasi dan merasionalisasi dari organisasi pemerintah, melalui penyederhanaan jumlah departeman beserta jawatan di bawahnya. Keenam, adanya sistem penerimaan pegawai berdasarkan achievment dan bukan berdasarkan ascription. Tujuh, adanya kebutuhan pegawai negeri yang non-politik demi kelancaran administrasi pemerintah. Delapan, menciptakan aparatur pemerintah yang jujur. Sembilan, sistem budget dikelola oleh pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung jawab etis tinggi dibarengi sistem kontrol yang efisien; terakhir, pencatatan ulang terhadap kekayaan peroraan yang mencolok dengan pengenaan pajak yang tinggi.

Achmad Fauzi SHI calon hakim di Pengadilan Agama Balikpapan secara spesifik memberikan solusi atas suburnya suap, dengan tranparenscy. Baginya, tumbuh suburnyapraktik suapkarena tersumbatnya kran informasi sehingga menghambat hak publik untuk mengontrol secara langsung etos kerja aprat. Mengutif Jeremy Bentham, Fauzi menjelaskan bahwa setiap budaya ketertutupan selalu ada kepentingan jahat yang menungganginya. Jadi sepanjang tidak ada keterbukaan, selama itu pula keadilan tidak akan tegak.

V.Kesimpulan

Suap menyuap merupakan tindakan menyalahgunakan kekuasaan dalam rangka tujuan pribadi atau kelompoknya dalam rangka mempercepat proses birokrasi. Tindakan ini tidak dibenarkan karena bisa merugikan negara. Disamping itu, bisa menghambat pembangunan. Anggaran yang seharusnya digunakan untuk kepentingan masyarakat jadi beralih untuk kepentingan sendiri atau kelompok.

Untuk itu, cara penanggulangannya adalah dengan supremasi hukum. Artinya, institusi penegak hukum harus bertindak terhadap para penyelenggara pemerintahan bila mana ada yang melakukan suap menyuap. Keterbukaan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Di samping itu, peran serta masyarakat dalam membasmi penyakit ini sangat dibutuhkan.

Daftar Pustaka

Buku

Alkostar, SH LLM, DR, 2008, Korupsi Politik di Negara Modern,FH UII Press, Yogyakarta

Jeremy, Pope, 2008, Strategi Memberantas Korupsi, Tansparansi Internasional dan Transparansi Internasional Indonesia, Jakarta

Renaldi, Taufik, dkk, 2007, Memerangi Korupsi di Indonesia yang Terdesentralisasi: Studi Kasus Penanganan Korupsi Pemerintah Daerah, Bank Dunia

Simanjuntak, Frenky, Mengukur Tingkat Korupsi di Indonesia: Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2008 dan Indeks Suap, Transparansi Internasional Indoensia, USAID dan Millenium Challenge Corporation

Artikel Jurnal

Demartoto, Argiyo, 2007, Perilaku Korupsi di Era Otonomi Daerah: Fakta Empiris dan Strategi Pemberantasan Korupsi di Indonesia, Jurnal Spirit Publik, No. 2 Tahun 2007,

Makalah

Ardisasmita DEA, M Syamsa, Dr, Definisi Korupsi Perspektif Hukum dan E-Announcement untuk Tata Kelola Pemerintahan yang Lebih Terbuka, Transparan dan Akuntabel, disampaikan dalam Seminar Nasional Upaya Perbaikan Sistem Penyelenggaraan Pengadan Barang/Jasa Pemerintah, Jakarta, 23 Agustus 2006.

Revida, Erika Dra, MS, 2003, Korupsi di Indonesia: Masalah dan Solusinya, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumetera Utara.

Fauzi SHI, Achmad, Membendung Godaan Suap Penegak Hukum

Majalah dan Koran

Majalah Tempo, 25 Maret 2012.

Harian Detik Sore, 11 April 2012.

Website

http://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi

Menurut Ketua Muda Pidana Khusus Mahkamah Agung Djoko Sarwoko, kasus lainnya, dia terbukti menerima upeti proyek di Kota Bekasi. Misalnya proyek di Dinas Kesehatan dan Pendidikan. Mocktar memakai uang Rp 1 milir. Uang itu membayar utangnya ke sebuah bank. Majalah Tempo (25/3/2012)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun