Mohon tunggu...
Okti Li
Okti Li Mohon Tunggu... Freelancer - Ibu rumah tangga suka menulis dan membaca.

"Pengejar mimpi yang tak pernah tidur!" Salah satu Kompasianer Backpacker... Keluarga Petualang, Mantan TKW, Indosuara, Citizen Journalist, Tukang icip kuliner, Blogger Reporter, Backpacker,

Selanjutnya

Tutup

Kurma Artikel Utama

Ngaladog, Nostalgia Masa Kecil Saat Ramadan

19 April 2021   23:55 Diperbarui: 23 April 2021   15:00 6427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi jalan-jalan sore. (sumber: jacoblund via kompas.com)

Jangankan Urang Sunda, hampir semua warga Indonesia sudah tidak asing dengan istilah ngabuburit, bukan? 

Tapi sebaliknya saya yakin, jangankan orang di luar suku Sunda, asli urang Sunda saja apalagi generasi milenial-nya belum tentu tahu dengan istilah ngaladog. Apalagi istilah ngaladog ini kalah populer dibandingkan dengan istilah ngabuburit yang sudah menasional.

Hayo, apa itu ngaladog? Kalau secara bahasa bakunya saya juga artinya tidak tahu pasti. Hanya kalau diibaratkan, istilah ngaladog dari bahasa Sunda yang kerap kami (anak-anak kelahiran tahun 80-an di Bandung) pakai itu, kurang lebih artinya berpetualang. 

Istilah ngaladog bisa digambarkan dengan aktivitas berjalan rame-rame tanpa tujuan pasti sambil menghabiskan waktu, menunggu saat berbuka.

Maksud tanpa tujuan pasti di sini adalah setiap ngaladog tidak pernah direncanakan mau berangkat ke mana, atau mau main apa. 

Tapi biasanya ngaladog kami ujungnya mentok di persawahan, kebun, atau perumahan markas Seskoad di Turangga dimana di sana ada sebuah taman umum yang bagi anak-anak kampung seperti saya dan teman-teman

Taman yang di dalamnya ada ayunan dan sosorodotan itu masih cukup wah, karena saat itu taman sejenis belum ada di tempat lain.

Oya, sebelumnya perkenalkan saya anak perempuan yang jalingkak (artinya mirip tomboy mungkin ya) kelahiran tahun 80 dan menghabiskan masa kecil di Gumuruh Batununggal Kodya Bandung. 

Teman ngaladog saat itu, selain Agus adik kandung saya yang usianya beda setahu lebih, juga ada teman main satu kampung yang sama-sama jalingkak juga yaitu Nia, adik kakak Angga dan Anggi, adik kakak Hani dan Desti, serta Ari, Mimi, Hendi, Sadikin dan Upi.

Kami sekolah di SDN Kridhawinaya (sekarang sekolah itu sudah tidak ada) di Maleer, Binong. Hanya Nia yang beda sendiri, dia sekolah di SD swasta yang saat itu kami menyebutnya SD tingkat, merujuk pada bangunannya yang mewah dan bertingkat. 

Nia memang termasuk orang berada. Yang saya ingat neneknya bekerja di perumahan Seskoad di Turangga. Namun kalau soal ngaladog Nia juga tidak pernah absen. Meski sesekali pulangnya dimarahin orang tuanya.

Pada tahun 1990an, liburan sekolah SD itu bisa sebulan lebih. Selain bertepatan dengan bulan Ramadan juga bertepatan dengan masa kelulusan anak kelas 6. Jadi hampir sebulan full setiap harinya waktu kami habiskan dengan ngaladog.

Beda dengan anak zaman sekarang yang lebih suka menghabiskan waktu di dalam rumah dengan menonton televisi hingga bermain gadget, anak jaman dulu --sekarang sudah jadi orang tua di usianya yang sudah kepala empat sekian-sekian---lebih banyak menghabiskan liburan di lingkungan sekitar kampung atau daerahnya dengan bermain bersama anak-anak sekampung yang tidak mudik ke handai taulannya.

Pada masa itu, Kota Bandung masih banyak lahan sawah dan rawa. Belum banyak tempat pelesir seperti mall atau wahana permainan anak apalagi gadget. Rawa dan makam Cibangkong yang sekarang jadi lokasi Trans Studio Mall dulu adalah tempat ngaladog saya dan barudak gang masjid At Taufik dari Gumuruh.

Dulu jalan Gatot Subroto masih sepi. Kami ngaladog menyusuri jalan kecil dari Gumuruh ke Terusan Martanegara, lalu ke Turangga dan menyusuri rel kereta hingga sampai di Cibangkong.

Perumahan Rancamanyar, dulu masih berupa persawahan dan kebun-kebun yang banyak pohon dengan buah yang bisa dipetik seperti mangga, kersen atau jambu biji. Entah milik siapa tapi kami anak-anak kampung selalu merasa bebas untuk memetik dan membawa pulang untuk dijadikan camilan saat berbuka tiba.

Saat ngaladog di persawahan, Ari yang suka memimpin ngajak kami ngurek atau mencari belut hanya dengan menggunakan tangan. Anak perempuannya tidak mau kalah juga, biasanya mencari keuyeup atau kepiting sawah. 

Terus dimasukkan ke dalam kaleng dan dibawa pulang. Tidak bosan mencari kepiting sawah dan membawanya pulang meski sesampainya di rumah isi kaleng selalu dibuang oleh si mamah. Wkwkwkwkkk...

Jika mengingat semua itu, betapa rindunya saya dengan kebersamaan masa kecil di Bandung. Rindu dengan teman-teman yang kini entah berada di mana. Hanya Nia yang masih bisa berkomunikasi karena kebetulan saya menemukan akun sosial medianya.

Ngaladog memiliki arti yang sangat dalam untuk saya. Tidak sebatas pengisi liburan saat bulan puasa sekaligus kenaikan kelas tapi juga memiliki aktivitas yang penuh kenangan karena semakin ke sini permainan saat ngaladog itu kini susah untuk dijumpai lagi.

Beberapa permainan yang jadi kenangan ketika ngaladog bersama anak kampung gang masjid At Taufik Gumuruh saat itu:

Ngalodong

Istilah ngaladog kalah populer dibanding ngabuburit. Dok pribadi
Istilah ngaladog kalah populer dibanding ngabuburit. Dok pribadi

Lodong terbuat dari bambu besar yang berongga. Ujungnya diberi lubang untuk diisi karbit dan air. Kalau dinyalakan api akan menimbulkan suara berdebum akibat dari tekanan gas karbit. Mirip senjata meriam gitulah, hehehe.

Permainan tradisional lodong ini kami lakukan kalau tidak pagi hari ya sore hari di tegalan atau tanah lapang. Tidak hanya anak kecil sepantaran saya saat itu saja yang suka main, tapi paman dan orang dewasa lainnya juga. Bahkan ayahnya Hendi suka ikut main juga.

Sekarang permainan lodong meski di kampung sudah jarang dimainkan. Lahan kosong semakin berkurang. Kalau main lodong dekat perumahan pasti banyak yang komplain karena suaranya yang dahsyat bisa mengganggu ketenangan warga.

Adu jangkrik

Meski anak perempuan, saya sering menang kalau bermain adu jangkrik atau kasir, pada masanya. Ketika anak lelaki mencari jangkrik saya bareng Hani dan adiknya Desti tidak mau kalah. 

Saat itu hanya rumah saya dan rumah Hani yang halamannya masih berupa kebun. Jadi masih mudah mencari jangkrik atau kasir di sana.

Sekarang di perkotaan mau mendengar suara jangkrik sudah sulit. Dok pribadi
Sekarang di perkotaan mau mendengar suara jangkrik sudah sulit. Dok pribadi

Cukup bawa golok, lalu gali tanah dimana diperkirakan sebagai sarang jangkrik. Setelah dapat jangkrik dimasukkan ke kaleng yang sudah diisi daun kering.

Ari dan anak laki-laki lainnya, biasanya mereka mencari jangkrik ke pemakaman di Gumuruh. Atau di tanah gundukan sepanjang sungai yang banyak ditumbuhi pohon-pohon. Mereka sering dapat banyak karena memang menemukan sarang jangkriknya.

Jangkrik yang bunyinya nyaring disebut jangkrik kalung, biasanya dipelihara untuk diadu atau tukaran dengan teman. Kalau kasir biasanya dijadikan mainan saja, kalau banyak bisa dijual untuk makanan ikan di akuarium.

Gatrik

Kalau secara modern, permainan gatrik ini mirip dengan permainan kricket (ituloh olah raga asal Inggris). Cuma dalam gatrik versi jadul yang suka kami mainkan, media yang digunakan berupa tongkat bambu untuk memukul tongkat yang dilempar oleh lawan.

Gatrik jaman 90-an dimainkan menggunakan alat dua potongan bambu (kadang kami ngambil pagar kandang ayamnya Bu Umar, tetangga rumah di Gumuruh saat itu). 

Yang satu ukurannya agak panjang sekitar 30 cm dan satunya lagi berukuran lebih pendek. Halaman masjid At Taufik jadi lahan gatrik setiap hari.

Gatrik, boy-boyan, galah, berbagai permainan anak jaman dulu yang sekarang terlupakan. Dok pribadi
Gatrik, boy-boyan, galah, berbagai permainan anak jaman dulu yang sekarang terlupakan. Dok pribadi

Cara mainnya kami membagi pemain jadi dua kelompok. Setelah suten (suit) kelompok yang menang memukul potongan bambu yang kecil ditaruh melintang di antara dua batu. Pukul bambu kecil itu oleh tongkat bambu yang lebih panjang tadi. Lalu pukul bambu kecil tersebut sejauh mungkin.

Anak yang kebagian memukul bambu yang kecil akan terus melakukannya sampai pukulannya meleset tidak mengenai bambu kecil tersebut.

Karena gagal, anak yang main berikutnya dari kelompok tersebut akan meneruskan. Sampai giliran orang dalam kelompok terakhir. 

Kalau pemain sudah habis, kelompok lawan akan menggendong semua pemain dari kelompok yang memukuli tongkat pendek tadi. Menggendong sejauh dari bambu kecil yang terakhir hingga ke batu awal permainan dimulai.

Pastinya semakin jauh memukul bambu yang kecil, maka semakin jauh jarak digendong dan kelompok lawan akan kecapean menggendong. Tidak jarang sambil menggendong satu sama lain saling menyuraki atau mengejek.

Masih banyak lagi permainan dan kebiasaan anak jaman dulu saat ngaladog sekitar tahun 90-an. Main kelereng, sapintrong (lompat tali) ucing sumput (petak umpet), sondah, bebedilan, dan masih banyak lainnya. 

Sekarang, teman ngaladog jaman saya sudah pada menikah dan entah berada di mana. Jika kebetulan kalian membaca artikel ini, tolong kontak saya ya.

Nostalgia dengan ngaladog Dok. Pribadi
Nostalgia dengan ngaladog Dok. Pribadi

Mungkin kalau kita --barudak jaman 90-an-- yang mengalaminya menceritakan, atau justru memberikan contoh melakukannya, siapa tahu anak milenial jaman sekarang selain menjadi tahu pun bisa tertarik dan tergerak untuk mencoba praktik memainkannya?

Meski sulit, tapi tidak menutup kemungkinan jika kita ceritakan dan contohkan, anak milenial juga mau mengisi libur Ramadan dengan ngaladog.

Yuk, ah kita isi libur Ramadan ini dengan bernostalgia kembali ke kaulinan masa kecil saat Ramadan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun