Dalam satu keluarga, terdiri dari orang tua dan beberapa anak dengan berbagai kepentingan merasa keberatan ketika orang tua membuat aturan bahwa dalam rumah, diadakan piket kebersihan yang harus dipatuhi oleh semua anggota keluarga.
Anak sulung, merasa sudah besar dan tahu segalanya, menolak dan mengajak adik-adiknya untuk bersama-sama menentang aturan yang dibuat ayah ibunya tersebut.
Anak kedua, merasa selalu kebagian memasak membantu ibunya di dapur, merasa senang dengan aturan piket itu, karena dengan tidak langsung tugas ia akan sedikit lebih ringan. Ia pun menyetujui aturan yang akan diterapkan.
Pertentangan dalam keluarga pun terjadi. Padahal orang tua mereka selalu terbuka, menerima masukan dan siap menerima kritikan, supaya aturan tugas piket yang dibuat itu tidak memberatkan seluruh anaknya. Melainkan bisa menjadikan keluarga mereka harmonis, seiring sejalan dan setiap anggota keluarga bisa melaksanakannya dengan penuh tanggung jawab.
Namun entah bagaimana, anak sulung tetap dengan pendiriannya, menentang tugas piket dan menyibukkan diri dengan segala agenda kegiatannya.Â
Yang dalam pandangannya sikapnya itu yang terbaik. Sementara anak kedua dan adiknya yang lain, santai saja. Apa yang diperintahkan orang tua tetap dijalankan. Sesuai dengan usia serta kemampuannya.
Ilustrasi tersebut, ibarat kondisi negara kita saat ini. Pemerintah selaku orang tua menerapkan undang-undang cipta kerja yang tujuannya memangkas aturan sebelumnya yang berbelit, dan atau mengganti aturan yang sudah tidak relevan dengan aturan sapu jagat yang lebih mengena dan cocok dengan berbagai macam perundangan. Namun masyarakat selaku anggota keluarga, ada yang menentang, ada pula yang santai saja.
Sejak beberapa hari lalu, lingkaran pertemanan saya yang terdiri dari kaum buruh sudah ramai membicarakan terkait aksi demonstrasi yang akan diselenggarakan. Ada yang pro, ada yang kontra. Ada yang diam saja seolah tidak tahu menahu. Semua memiliki kapasitas masing-masing.
Beruntung (bagi saya) lingkungan buruh terdekat saya, lebih banyak yang menolak demonstrasi, sisanya acuh alias cuek bebek, seolah ada atau tidak ada demo, tidak ada pengaruhnya. Saya sendiri, jelas menolak untuk ikut aksi demo. Mungkin bisa baca tulisan saya sebelumnya, di sini.
Bukan tidak solidaritas, bukan tidak memperjuangkan hak buruh (sebagaimana dibilang teman-teman bagi buruh yang menolak ikut aksi) tapi dalam kondisi seperti sekarang, saya masih mengedepankan nalar dan pikiran.Â