Tapi saya pikir kenapa tidak? Dengan mendaki gunung, saya akan mengetahui banyak sifat dan karakter suami yang sejujurnya tidak (belum) banyak saya ketahui.Â
Ya meski sudah mengenal beberapa bulan tapi untuk bertemu langsung kan kami hanya empat kali itupun bareng keluarga. Banyaknya kami saling diam. Jadi deal, anggap saja mau bulan madu, keesokan harinya Jumat pagi kami berangkat naik Gunung Gede, melalui jalur Gunung Putri.
Pernah dengar saat pacaran disayang-sayang, setelah menikah dan punya anak malah ditelantarkan? Mungkin mendaki gunung bisa jadi miniatur uji coba kehidupan untuk membuktikan apakah benar dia yang kita sayang menyayangi dalam arti sebenarnya? Dan saya jadikan itu sebagai ajang pembuktian.
Alhamdulillah, meski selama berumah tangga pasti ada cekcok, salah paham dan kadang timbul rasa ingin menang sendiri, tapi selama 7 tahun lebih saya diperistri olehnya, ketenangan hati yang tidak bisa dibeli oleh apapun ini sangat terasa begitu nyata.Â
Entah kenapa meski hidup pas-pasan, bahkan bisa dibilang kekurangan jika mengandalkan uang honorer suami yang hanya sebesar Rp seratus ribu per bulan (3 tahun pertama) tapi Tuhan selalu saja memberi kami jalan untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup.Â
Mungkin itu yang dinamakan keberkahan. Kami selalu merasa cukup meski jika dibandingkan dengan harga dan kebutuhan, secara logika tentu saja sangat tidak mencukupi.
Tujuh tahun berumah tangga, dikaruniai seorang putra saya merasa masih saja jadi pacar sang suami. Menjadi pacarnya dalam arti saya tetap diperlakukan seperti seorang gadis yang sedang ditaksir. Diperhatikan, diperjuangkan, bahkan dipujanya. Alhamdulillah.
Boleh tanya teman seperjalanan saat kami mendaki gunung, meski saya team pendaki kura-kura, alias merayap dengan lambatnya, dan suami termasuk team Gundala alias mampu berjalan cepat, namun sebentar pun ia tidak pernah jauh dari saya.Â
Jangankan meninggalkan, mendahului saja kalau kepepet, suami selalu lebih dahulu meminta izin kepada saya. Nikmat mana lagi yang kan kau dustakan?