Mohon tunggu...
Okti Li
Okti Li Mohon Tunggu... Freelancer - Ibu rumah tangga suka menulis dan membaca.

"Pengejar mimpi yang tak pernah tidur!" Salah satu Kompasianer Backpacker... Keluarga Petualang, Mantan TKW, Indosuara, Citizen Journalist, Tukang icip kuliner, Blogger Reporter, Backpacker,

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Travelling ke Rumah Si Pitung dan Menengok Masjid Cagar Budaya Al Alam Marunda

19 Juli 2019   14:26 Diperbarui: 19 Juli 2019   14:32 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kompasianer Cianjur pun naik commuterline. Dok foto semua milik pribadi 

"Bu, Si Pitung teh saha?" Tanya Fahmi ketika saya bilang kita akan jalan-jalan ke rumah Si Pitung, Sabtu 13 Juli 2019 bersama rombongan komunitas Click. Komunitas Kompasianer pengguna commuterline di ibu kota.


Oalah, saya garuk kepala. Siapa sih sebenarnya Si Pitung? Saya balik tanya ke diri sendiri. Anak jaman now pada tahu gak ya siapa itu Si Pitung?

Saya pun mencoba menjelaskan sebisa dan sesederhana mungkin. Jangankan anak usia 5 tahun seperti Fahmi putra saya, lulusan SLTA jaman now saja belum tentu tahu dan paham, siapa itu Pitung.

Saya sendiri tahu tentang Si Pitung masih jaman sekolah SD dan SMP. Saat itu di televisi sering diputar film lepas Si Pitung. Saya jadi tahu kalau Si Pitung adalah pahlawan dari Betawi, yang selalu melawan penjajah Belanda. Si Pitung jagoan pembela rakyat dan tidak pernah kalah karena meski ditembak ia anti peluru. Kelemahannya adalah ditembak dengan peluru emas.

Generasi milenial saat ini mungkin banyak yang tidak tahu akan kisah kepahlawanan Si Pitung. Si Pitung sebagai pembela petani dan buruh di Rawa Belong yang selalu bermusuhan dengan tuan tanah dan orang Belanda. Kelompok yang selalu memeras dan menindas petani dan buruh.

Maka sebuah kesempatan baik menurut saya, ketika Kompasianer Senior, Ibu Muthiah Alhasany memfasilitasi kami untuk bisa mengunjungi Rumah Si Pitung yang saat ini menjadi salah satu cagar budaya di Jakarta. Ini kesempatan saya untuk bertemu sejumlah tokoh masyarakat di Marunda, Jakarta Utara guna mendapat informasi lebih banyak terkait Si Pitung.

Akhirnya kami sampai di Rumah Si Pitung 
Akhirnya kami sampai di Rumah Si Pitung 

Iya, meski saya urang Sunda, tapi saya tertarik ingin mengetahui sejarah Si Pitung dari Betawi. Dan semoga Fahmi, putra saya juga bisa kecipratan informasinya.

Mengendarai sepeda motor kami dari Cianjur menuju Stasiun Bogor. Naik kereta listrik jurusan Tanjung Priok dengan lebih dulu transit di Stasiun Kota. Setelah rombongan komplit, kami menuju Marunda naik Transjakarta.

Anak saya terlihat senang melihat kendaraan besar lalu lalang di sepanjang jalan menuju Marunda. Tidak sabar kami ingin segera "berguru" di Rumah Si Pitung, nih.

Si Pitung berasal dari Kampung Rawa Belong. Wilayah yang pada akhir abad ke-19 termasuk Ommelanden (pinggiran Batavia). Maksudnya wilayah yang tidak bisa dikuasai oleh Belanda.

Nama asli Si Pitung adalah Salihoen. Ayah Si Pitung bernama Piung dan ibunya Pinah. Orangtua mengirim Si Pitung belajar di pesantren milik Haji Naipin. Di luar kegiatan pesantren, Si Pitung membantu jualan kambing milik ayahnya. Suatu hari Si Pitung kena musibah. Seorang bandit mencuri uang hasil jualan kambingnya.  

Hal itu jadi pemicu Si Pitung melakukan pencarian pelaku pencuriannya sendiri. Si Pitung mempelajari silat demi menemukan bandit pencuri hasil jualan kambingnya. Dari sinilah awal mula Si Pitung menjadi jagoan yang melegenda.

Si Pitung menggunakan kemampuan beladirinya untuk membela orang-orang lemah. Si Pitung harus berhadapan dengan jago dari kelompok bandit demi menuntaskan misinya.

Rawa yang berada di depan lokasi Rumah Si Pitung 
Rawa yang berada di depan lokasi Rumah Si Pitung 

Kemenangan berpihak pada Si Pitung. Banyak bandit, tuan tanah, dan orang Belanda takluk pada kemampuan beladiri Si Pitung. Harta benda mereka diambil dan dikasih kembali oleh Si Pitung kepada penduduk.

Bandit, tuan tanah, dan orang Belanda ketakutan dengan sepak terjang Si Pitung. Mereka ingin mengalahkan Si Pitung. Maka bersekutu mencari kelemahan Si Pitung yang selalu membawa golok  di pinggangnya dan sarung tersampir di lehernya itu.

Si Pitung sempat tertangkap, masuk penjara, kabur dari penjara, dan menyamar selama pelarian. Pada suatu hari naas, penyamarannya ketahuan polisi. Dia baku tembak dengan Schout Hinne yang memiliki peluru emas.

Matahari sore terlihat dari mushola Rumah Si Pitung 
Matahari sore terlihat dari mushola Rumah Si Pitung 


Tubuh Si Pitung tertembak. Polisi membawanya ke rumah sakit. Tapi Pitung akhirnya meninggal. Begitulah gambaran Si Pitung dalam catatan tertulis pers dan arsip Belanda yang saya kutip. Si Pitung memang jawara, tapi sama seperti kita pada umumnya, ada masanya berjaya, ada saatnya kena apes.

Pada akhirnya Si Pitung pun gugur. Tertembak peluru emas oleh A.M.V Hinne, seorang Schout atau Kepala Polisi Karesidenan Batavia. (Ceritafilm pada 1970-an dengan judul Si Pitung Banteng Betawi)

Meski Si Pitung seorang pahlawan, namun ia bukanlah pahlawan nasional. Karena itu mungkin ia tidak banyak dikenal. Karena itu saya dan keluarga merasa beruntung banget bisa menggali sejarah Si Pitung, masuk ke rumahnya, beserta cagar budaya Betawi lainnya.

Karena setelah mengunjungi Rumah Si Pitung di Marunda, Cilincing, Jakarta Utara, kami sebelas orang Kompasianer, dua belas bersama anak saya, lanjut mengunjungi Masjid Al Alam yang lokasinya dekat dengan cagar budaya Rumah Si Pitung. Konon sejarah menceritakan karena dekat itulah maka dikisahkan Si Pitung sering mengunjungi masjid tersebut.

Setelah dari Rumah Si Pitung rombongan jalan kaki menuju Masjid Al Alam Marunda 
Setelah dari Rumah Si Pitung rombongan jalan kaki menuju Masjid Al Alam Marunda 


Legenda yang namanya santer terdengar sebagai jagoan Betawi sejak abad ke-19 ini dikabarkan sering mengunjungi Masjid Al Alam untuk menunaikan ibadah salat serta belajar lebih dalam tentang agama Islam. Setidaknya demikian yang disampaikan Pak Kusnadi, sesepuh di Masjid Al Alam.

Tidak heran jika ada yang mengatakan kalau mau menelusuri sejarah peradaban Muslim di Jakarta, tengoklah Masjid Al Alam yang berada di Jalan Marunda Kelapa No 1, Cilincing, Jakarta Utara.

Masjid ini berdiri pada abad ke-16. Tidak heran bila menyimpan kisah menarik baik dari sejarah maupun asal muasal namanya.

Konon awal mula adanya Masjid Al Alam ketika pasukan Mataram yang dipimpin oleh Adipati Bahurekso menyerang tentara VOC yang menguasai Batavia pada waktu itu. Percaya atau tidak, katanya masjid ini dibangun dalam waktu sehari semalam oleh para auliya yang dipimpin oleh Pangeran Fatahillah saat mereka singgah di daerah Marunda pada waktu itu.

Masjid legenda Betawi 
Masjid legenda Betawi 

Nama Marunda sendiri katanya berasal dari singkatan Markas Penundaan. Marunda sendiri dahulunya masih termasuk wilayah Bekasi. Pada pertengahan 1970, Marunda akhirnya ditetapkan masuk wilayah Jakarta Utara.

Hingga saat ini, Marunda merupakan sebuah kelurahan di Jakarta Utara yang termasuk dalam Kecamatan Cilincing.

Nama Masjid Al Alam sempat beberapa kali berubah. Sebelum Al Alam, nama masjid ini adalah Masjid Agung Auliya. Nama Auliya diberikan oleh sesepuh yang dahulu tinggal di sekitaran masjid tersebut.

Menurut Pak Kusnadi, para sesepuh menamai Masjid Agung Auliya lantaran masjid dibangun pada abad ke-16 oleh para Auliya atau orang-orang yang memiliki ilmu tinggi. Setelah nama Auliya, masjid tersebut berubah nama menjadi Masjid Al Alam setelah Marunda masuk ke wilayah Jakarta Utara setelah sebelumnya masih menjadi wilayah Bekasi Jawa Barat.

Al Alam diberikan karena menurut kisah masjid ini dibangun hanya dalam satu malam. Pembangunan masjid ini tiba-tiba muncul begitu saja secara alami. Seiring berjalannya waktu, karena dekat dengan Rumah Si Pitung masjid ini namanya lebih dikenal Masjid Al Alam Si Pitung.

"Biar orang lebih mudah mengenali Masjid Al-Alam sama Rumah Si Pitung. Karena kalau di bilang Masjid Al Alam itu banyak. Jadi kalau dibilang Masjid Al Alam Si Pitung sudah jelas itu di Marunda. Itu ciri khasnya, Masjid Al Alam Si Pitung," kata Pak Kusnadi.

Sejak berdiri abad ke 16 interior Masjid Al Alam Si Pitung belum pernah direnovasi. Hanya perawatan rutin seperti mengecat tembok dan kayu bangunan masjid.

Ketika rombongan Kompasianer datang, suasana di halaman masjid yang luas tampak lengang bersih.  Dinding dicat putih dan kayu-kayunya coklat tua. Di dalam masjid ada empat pilar yang kokoh menopang bangunan masjid. Lantainya tertutup karpet merah.

Penambahan bagian masjid dilakukan pada ruangan salat khusus perempuan yang luasnya 3 meter persegi. Berada di belakang masjid utama yang digunakan untuk jemaah pria. Ada juga pendopo yang dibangun tahun 1997. Fungsinya untuk bersantai saat berziarah ke masjid itu.

Di belakang lokasi masjid, sekaligus jalan menuju pantai Marunda terdapat makam yang salah satunya adalah makam keramat Kyai Haji Jamiin bin Abdullah.

Dengan adanya Rumah Si Pitung dan juga kisah seputar berdirinya masjid yang cukup menarik, banyak pengunjung dari dari berbagai daerah mengunjungi Masjid Al Alam Si Pitung untuk sekedar wisata atau berziarah.

Pantai Marunda
Pantai Marunda

Jelang matahari terbenam, seluruh rombongan diajak Bu Muthiah melipir ke belakang masjid. Kami sampai juga di Pantai Marunda. Sayang kami tidak bisa melihat matahari terbenam karena awan yang sangat tebal. Sore itu kami habiskan dengan menikmati suasana pantainya ibu kota. Sambil menikmati makan malam ikan bakar komplit di Pondok Betawi.

Makan malam ikan bakar. Mantap!
Makan malam ikan bakar. Mantap!


Selepas isya, kami kembali menaiki Transjakarta menuju Stasiun Kota. Berpisah untuk selanjutnya kembali ke tempat masing-masing. Alhamdulillah perjalanan lancar, sampai jumpa di acara Keluarga Petualang bareng Kompasianer selanjutnya ya...

Keceriaan sepulang dari Marunda
Keceriaan sepulang dari Marunda

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun