Meski Tanggal Merah Guru-guru di Pakidulan ini Tetap Masuk Kelas Mengikuti Pelatihan Kurtilas
Mungkin hanya di Cianjur Selatan saja para guru tetap "belajar" meski Kamis, 25 Mei ini jelas-jelas tanggal merah alias Hari Libur Nasional? Rajin amat ya bapak-bapak serta ibu-ibu honorer dan PNS ini.
Masih untung (mungkin) guru-guru yang diharuskan "belajar" itu di KTP nya tercantum agama: Islam. Dan mayoritas peserta pelatihan Kurtilas itu sepertinya memang Muslim. Coba kalau ada yang non muslim dan merayakan Hari Kenaikan Isa Almasih, apakah harus mengorbankan hari sakral itu hanya demi pemadatan pelatihan supaya saat bulan puasa nanti semua pelatihan itu selesai dan tinggal bernafas lega?
Di saat mayoritas pegawai negeri sipil menikmati masa libur tanggal merah, tidak demikian bagi sebagian Guru PNS dan honorer di Cianjur Selatan, karena Kamis 25 Â Mei 2017 ini yang bertepatan dengan Hari Libur Nasional Kenaikan Isa Almasih tetap diharuskan ikut pelatihan Kurtilas dengan lokasi yang cukup berjauhan (bukan di sekolah tempat mengajar).
Padahal tahu sendiri jarak antar kecamatan di Cianjur selatan, dengan jalan dilalui kendaraan saja itu minimal butuh waktu setengah jam. Bayangkan jika jalannya jago alias kependekan jalan gobet (jelek), dan lokasi sekolah berada jauh di pedalaman. Tidak heran meski orang-orang pada santai liburan (atau papajar/munggahan) jelang Bulan Ramadhan seperti kebiasaan pada umumnya warga masyarakat di Tatar Sunda, seentara para guru yang ikut pelatihan Kurtilas ini mulai subuh sudah pada berangkat menuju sekolah dimana pelatihan diadakan.
Contoh yang saya lihat sebagian guru-guru dari Kecamatan Pasirkuda (perbatasan Kab. Bandung dengan Kab. Cianjur) setelah subuh segera meluncur menuju SMPN 3 Sukanagara, yang berada di Pasirnangka dengan jarak tempuh sekitar 1,5 jam kendaraan. Bahkan ada guru dari Pasirkuda yang mengikuti pelatihan Kurtilas yang sesuai mata pelajarannya bertempat di Kecamatan Sindangbarang, lebih jauh lagi daripada ke Sukanagara. Pulangnya? Saat bubar pelatihan jam 4 sore, tidak sedikit guru-guru yang sampai rumahnya menjelang magrib bahkan lebih.
Saya sendiri heran, ini pemerintah dinas terkait kok bisa ya menggunakan hari libur nasional sebagai hari pelatihan? Full Day lagi. Apakah karena kejar target menjelang bulan Ramadhan sehingga saat puasa nanti pelatihan ini sudah selesai? Lagian Kurtilas (Kurikulum Tahun 2013) baru "diajarkan" kepada guru-guru pemegang mata pelajaran baru tahun ini, 2017, empat tahun tertinggal gitu lho! Yah maklum ke daerah kali...
Kalau kita amati, mungkin kita berpikir segitu rajin dan giatnya ya mereka para guru di daerah ini demi menjalani profesi tenaga pengajar yang berkualias. Padahal, tidak sedikit dari mereka sering mengeluh dan merasa tidak nyaman dengan posisi yang tidak enak di lingkungan yang tidak cocok dengan hati nurani.
Seorang guru curhat ke saya, katanya "Di Cianjur Selatan saat ini guru lagi digodok buat kurtilas selama seminggu. Tanggal merah pun tetap pelatihan. Apa-apaan coba sampai merampas hak hari libur nasional jadi hari "belajar"? Padahal gaji honor teramat kecil, habis sudah dipakai ongkos pulang pergi."
Terkait gaji honorer guru di Cianjur yang sangat kecil memang sudah jadi rahasi umum. Beberapa teman saya yang jadi tenaga guru honorer sering bilang gaji yang diterima cuma seratus ribu rupiah per bulan, sementara di kwitansi yang ditanda-tangan tertera nominal minimal Rp. 500.000. Saat saya sarankan untuk berontak, teman-teman honorer tidak berani. Karena alasannya kalau ketahuan dia akan dipecat dan mungkin tidak akan bisa mengajar lagi ke sekolah manapun di sekitar tempat tinggal karena sesama kepala sekolah sudah saling menginformasikan, mana guru (honorer) yang "patuh" dan mana yang "pemberontak". Jadi para honorer itu memilih diam meski cuma dapat bayaran disunat besar-besaran secara masal oleh oknum pihak sekolah.
Sepertinya dana bantuan operasional siswa (BOS) dari pemerintah kepada pihak sekolah di tempat saya itu masih jadi lahan basah bagi sebagian oknum untuk pemenuhan kepentingan pribadi. Buktinya dalam laporan kertas untuk pemerintah nilai pengeluaran segala macam sangat fantastis termasuk pengeluaran biaya (gaji) tenaga guru honorer. Tapi kenyataannya honorer menjerit, tidak bisa berontak. Yang mengajar di swasta mending dapat tunjangan profesi yang dibayarkan setahun sekali. Lah yang jadi honorer di sekolah negeri? Gigit jari dan makan hati!
Saya pernah disarankan teman yang tinggal di luar kota, untuk melaporkan kondisi ini kepada pemimpin daerah. Halah, panas-panas tahi ayam. Sudah jadi rahasia umum juga kalau ada masalah dan kita laporkan, bukannya akan ditindaklanjuti, justru suara kita akan dibungkam.
Sebelumnya bulan puasa tahun lalu saya mengantar teman dan teman saya itu "dipalak" oleh oknum BKD Cianjur sebesar Rp. 200.000. (perorang lho!) Saya tulis pemerasan itu di Kompasiana ini, terus link tulisan saya share ke Pemerintah pusat termasuk KPK, dll. Sebulan kemudian, di gedung BKD dan disemua tempat instansi pemerintah Cianjur banyak dipasang spanduk dilarang pungli, kalau ada laporkan ke nomor/email/pihak Pemkab Cianjur. Intinya Pemkab Cianjur menjelaskan kalau mereka anti pungli dan sebagainya.
Saya dan teman saya nyengir kuda saja. Mereka boleh cuci tangan bilang tidak KKN, tapi saya juga meningkatkan kewaspadaan berjaga-jaga kalau penerima pengaduan yang dipasang di spanduk itu siapa tahu jebakan. Makanya, saya ogah lapor ke kandang macan. lebih baik curhat di Kompasiana, dan semoga dibaca para penegak hukum atau pejabat yang benar-benar masih memiliki hati nurani.
Tak salah jika pada akhirnya tahun ajaran baru nanti seorang teman saya yang selama ini memegang guru kelas di sebuah SD, memilih menjadi guru komputer ketimbang jadi guru kelas SD lagi. Ya iyalah, bayangkan gimana gak rumit administrasi nilai anak-anak bejibun bingits. Itu baru administrasi nilai saja. Belum buat RPP, Â belum penilaian-penilaian harian lain.
Menyaksikannya saya sungguh teramat sedih. Jadi blogger yang kerjanya cuma nulis, datang ke acara kalau diundang itu happy banget. Dapat gudibeg dan uang transpoer pula. Lah ini guru honorer, pakaian saja perlente. Make up honorer wanita pada kinclong, sementara ternyata tugas guru (terutama yang masih honorer) menumpuk segunung. Jelas tidak tak sebanding dengan honornya.
Kang Sandza salah satu guru guru di kabupaten tetangga Cianjur juga bilang di lain pihak, guru dituntut all out tapi dengan banyak ngurus administrasi macam ini itu justru akan lebih menyita waktu dan mengikis kualitas kegiatan di kelas karena mungkin di masa tertentu harus banyak begadang.
Sama seperti Kang Sandza, saya juga tidak mengerti dengan pola pikir pemerintah. Yang di pusat mungkin enak, tapi pernahkan membayangkan bagaimana kondisi di kampung? Di pedesaan seperti di Cianjur Selatan ini?
Mengutip doa Kang Sandza, semoga kelak urusan administrai guru kembali lagi ke jaman dulu ya semisal tak usahlah ada KKM-KKM an biarkan saja nilai mah seadanya. Toh justru kalau guru lebih fokus ke urusan kelas, akan lebih cepat mengetahui mana anak yg bermasalah dan harus segera ditangani. Anak rangking pun sudah bisa lebih cepat diprediksi. Daripada misal pake KKM sekarang yang minimal misal 75, haduhhh itu nilai anak harus dipaksa segitu minimal jadi rapotnya hambar antara nilai anak satu dengan yang lain tak jauh beda, tak natural padahal kemampuannya jauh berbeda.
Miris memang kondisi di pedesaan kami ini. Tak habis pikir mengapa pendidikan dan kesejahteraan begitu sulit hanya karena terjegal para oknum yang memakmurkan diri selagi berkuasa (menjabat sebagai kepala sekolah). Padahal kalau terjadi hal tidak diinginkan terhadap generasi muda, tidak sedikit yang dengan mudah menyalahkan gurunya. Hello, jadi tahukan sekarang kenapa banyak guru perkotaan yang tidak mau ditempatkan di pedalaman? Banyak PNS numpukdi kota dan honorer yang ada di pedesaan jadi sasaran empuk para oknum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H