Jangan kesal jika mengubungi Safri tidak diresponnya karena ia baru akan bisa merespon balik saat ia berada di luar Baduy Dalam. Dan untuk keluar kampung itu memerlukan waktu paling cepat dua jam perjalanan. Bagaimana tidak takjub dengan semangat serta kegigihannya juga pengorbanannya dalam belajar, coba?
Beruntung saya pernah datang berkunjung ke Kampung Baduy Dalam, berkenalan dengan anak mudanya yang meski memegang teguh tradisi leluhurnya tapi cerdas dan punya pandangan maju tak kalah dengan anak-anak kota.Â
Beruntung saya hingga kini masih bisa bersahabat dengannya. Beruntung bukan hanya karena keramah-tamahannya yang sangat tinggi, pun juga bukan karena mereka pandai berjalan dalam gelap malam tanpa bantuan cahaya senter sebagaimana kita menggunakannya di kota jika listrik mati.Â
Bukan pula karena telapak kaki mereka kuat-kuat mampu berjalan kaki sepanjang hidupnya tanpa alas kaki karena memakai sendal atau sepatu serta naik kendaraan adalah sebuah larangan keras untuk warga Baduy Dalam, tapi terlebih beruntung karena kepandaian mereka dalam mensyukuri serta penghormatan yang sangat tinggi atas karunia yang diberikan-Nya terhadap mereka.
Warga Baduy tidak memeluk agama. Mereka mempercayai kepercayaan secara turun temurun yang disebut Sunda Wiwitan. Tapi rasa syukur mereka terhadap karunia sangat tinggi dan benar-benar direalisasikannya. Kejujuran, toleransi, kerukunan, gotong royong, hidup damai saling membantu sangat tinggi mereka junjung. Jauh dari sifat egois apalagi serakah kekuasaan sebagaimana orang kekinian di kota.
Sebuah paragraf yang saya salin dari tulisan saya sebelumnya bahwa bagaimana seorang Safri warga Baduy Dalam yang terikat oleh tradisi serta adat istiadat yang sangat kuat namun bisa menjejeri kehidupan modern sehingga tak tertinggal atau justru tergerus zaman. Karena sesungguhnya Safri dan warga Baduy Dalam lainnya mereka itu sebetulnya orang yang berilmu, tetapi sikap mereka selalu rendah hati.
[caption caption="Pulang dengan kendaraan bak terbuka"]
Rumah hanya diterangi oleh satu buah lampu tradisional. Terbuat dari tempurung kelapa yang diberi satu sendok minyak goreng sebagai bahan bakarnya. Untaian kapas atau kain secukupnya sebagai penahan nyala api. Sudah. Dengan penerangan sederhana itu mereka bertahan dalam mengarungi malam.
Merindukan jernih dan dinginnya air yang masih terawat serta dijaga kebersihannya. Tak akan lupa saat Safri dan Jali mengantar saya, Edita, Stefani dan Devi ke pancuran (tempat mandi umum) untuk membersihkan diri. Malam itu pertama kali seumur hidup bagi Edita, Stefani dan Devi membersihkan diri tidak menggunakan shampoo maupun sabun. Menyikat gigi juga tanpa pasta gigi.
Bentuk penghargaan warga Baduy terhadap karunia serta berkah dari Yang Maha Kuasa. Mereka menjaga supaya alam serta isinya tidak tercemari produk-produk luar dan tetap berorientasi pada kemurnian alam. Itulah Baduy Dalam yang sebenar-benarnya asli alam Indonesia. Mereka tidak pernah menyakiti alam, karena menurutnya apapun harus dijaga dengan baik.
Jika berada dalam suasana gerah dan berada dalam kondisi macet saya jadi teringat saat bermalam di Cibeo. Merindukan suasana keceriaan saat makan bersama dan ngobrol ramai-ramai. Tidak hanya keluarga Safri yang menjadi tuan rumah, tapi juga saudara Safri lainnya dari rumah sebelah berdatangan dan ikut ngobrol.Â