Mohon tunggu...
Okti Li
Okti Li Mohon Tunggu... Freelancer - Ibu rumah tangga suka menulis dan membaca.

"Pengejar mimpi yang tak pernah tidur!" Salah satu Kompasianer Backpacker... Keluarga Petualang, Mantan TKW, Indosuara, Citizen Journalist, Tukang icip kuliner, Blogger Reporter, Backpacker,

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

[Mudasiana] Sepuluh Tahun Jadi Pembantu Hasilnya Apa?

28 Oktober 2015   16:45 Diperbarui: 28 Oktober 2015   16:45 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Waduh! Masa mudaku tahun berapa ya? Saat ini usiaku sekitar 35 tahun. Apa kalau begitu masa mudaku saat aku berumur 20 sampai 30 tahun? Jika iya, maka masa mudaku itu aku habiskan sepenuhnya untuk membabu di luar negeri. Membabu? Jadi pembantu?

Iya, aku lulus sekolah tahun 99 bertepatan saat krisis moneter melanda negara kita. Saat itu kerusuhan terjadi dimana-mana, pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran menimbulkan dampak sosial yang sangat luar biasa. Boro-boro bisa lamar pekerjaan, yang sudah pada bekerja saja malah jadi pengangguran. Kacau.

Buat aku yang baru lulus sekolah apalagi. Para sarjana saja berserakan seolah ijazahnya tidak bernilai. Meski tinggal di kampung biaya hidup dan kehidupan tetap harus berjalan. Pemasukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tidak bisa ditangguhkan. Posisiku yang menjadi anak pertama dan berperan sebagai tulang punggung keluarga menyeretku berpikir keras bagaimana cara supaya secepat mungkin bisa mendapatkan kerja.

Akhirnya pilihan itu datang dan dengan ikhlas disertai kesadaran diri aku ambil. Aku memilih menjadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia) dan karena aku perempuan maka istilahnya menjadi lebih sempit menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) alias pembantu. Negara yang pertama kali aku datangi yaitu Singapura. Disaat teman-teman sibuk memasuki masa-masa awal perkuliahan maka aku beda sendiri sedang kerepotan menyesuaikan diri memasuki masa-masa perkulian.

Kehidupan yang biasa aku jalani di kampung seratus delapan puluh derajat berbeda dengan rumah majikan di luar negeri. Mulai dari bahasa, kebiasaannya, aturan rumah, system bekerjanya sampai gaya hidup semua beda dan aku harus menyesuaikan diri mengikutinya. Dua tahun masa kontak kerjaku berhasil aku lewati meski dengan perjuangan yang berdarah-darah. Aku pulang dan meski jauh dari kata sukses tapi aku bisa melunasi semua utang-utang keluarga dan kami bisa hidup dengan tenang.

Masa kerjaku selanjutnya di negara beton, Hong Kong. Meski berstatus pembantu, kehidupanku jauh terasa lebih baik. Waktu libur aku gunakan untuk ikut berorganisasi, ikut kursus, dan mengunjungi beberapa tempat yang tidak mungkin bisa aku kunjungi jika aku tidak bisa menyelam sambil minum air saat bekerja.

Sedikit demi sedikit aku bisa menabung. Selain memenuhi kebutuhan hidup aku dan keluarga di kampung, aku juga belajar keras untuk bisa mengumpulkan hasil keringat sendiri untuk membangun rumah sebagai tempat tinggal saat kelak aku pulang ke kampung halaman. Tidak mungkin aku selamanya tinggal di rumah majikan meski kehidupannya sangat nyaman dan melenakan. Suatu saat aku akan pulang dan karenanya aku harus punya bekal.

Kehidupan dinamis di Hong Kong semakin membukakan mata hati dan pemikiranku untuk terus menjadi jiwa yang aktif, berdaya guna serta poduktif. Tidak mungkin selamanya aku jadi pembantu di luar negeri. Sepulangnya ke kampung aku harus mempunyai usaha atau kegiatan supaya aku masih bisa mempunyai penghasilan. Tidak bergantung kepada siapapun, termasuk suami jika aku menikah nanti.

Ilmu kehidupan yang aku serap dari gemerlapnya dunia Hong Kong semakin membuatku dahaga akan ilmu-ilmu kehidupan lainnya yang tidak mungkin bisa didapatkan dari bangku kuliah perguruan tinggi manapun. Pelajaran hidup yang sangat berharga itu telah menempaku untuk terus menjadi pribadi yang berpikir ke depan. Mendidikku untuk terus aktif selagi masih muda dan mencari peluang dari berbagai kesempatan.

Aku tidak malu saat berdiskusi di berbagai forum mengatakan statusku sebagai domestic worker alias pekerja rumah tangga. Aku justru merasa harus memperkenalkan kepada dunia jika dari sektor pembantu pun ada jiwa-jiwa yang berhasil serta mampu mengharumkan nama --baik pribadi, organisasi maupun bangsa dan negara. Dengan menjadi TKW aku sekaligus bisa belajar berorganisasi, menambah teman dan jejaring, mengasah bakat serta menjalankan hobi, sampai membantu perekonimian keluarga.

Enam tahun di Taiwan selanjutnya menjadi masa yang aku pilih sebelum memutuskan untuk kembali ke tanah air dan memulai kehidupan baru. Pengalaman di Taiwan lebih mengajariku kepada membentuk diri dalam memahami anak dan keluarga, selain juga aku berhasil mengukir beberapa prestasi yang membawa nama harum bangsa saat mengikuti lomba antar pekerja asing. Berbagai ilmu serta karakter dalam keluarga dan sosial terus aku perdalam sebagai bekal. Ini sangat penting untukku yang tidak mungkin selamanya akan melajang. Sekembalinya ke Indonesia aku pasti menemukan belahan jiwa dan membentuk keluarga kecil yang diimpi-impikan.

Tiba saatnya finish contract aku teramat bersyukur berhasil menghabiskan masa selama sepuluh tahun untuk bekerja dan tinggal di tiga negara yang kesemuanya telah memberiku berbagai pelajaran hidup. Aku merasa tidak sia-sia menghabiskan satu dasa warsa dari masa mudaku untuk terus menyerap berbagai ilmu hidup dan kehidupan yang belum tentu bisa aku dapat jika aku hanya pasrah akan nasib dan berdiam diri saja di rumah. Masa muda dengan sekolah/kuliah mungkin itu lebih baik daripada bekerja. Tapi jika kondisiku yang tidak memungkinkan, maka bekerja pun menjadi satu-satunya pilihan.

Ya, jika aku hanya diam menghabiskan masa muda di rumah belum tentu kehidupan dan keluargaku saat ini bisa lebih baik. Jika aku hanya mengandalkan rasa malu bekerja sebagai TKW tidak akan ada yang bisa menolongku untuk membayarkan utang. Kalau aku mengikuti gengsi berprofesi sebagai pembantu di rumah majikan tidak mungkin aku menjadi pribadi yang tahan banting serta bermental baja. Jika aku hanya diam saat masa muda, negara pun tidak mungkin bisa membantku!

Pilihanku menjadi pekerja keras ke luar negeri selepas sekolah mengantarkanku kepada pribadi blasteran. Mungkin ini sebagian hasilnya. Aku orang kampung asli Indonesia tapi aku terbiasa hidup disiplin sebagaimana aturan di rumah majikan tempat aku bekerja. Itu sebabnya aku sangat risih melihat tetangga yang membuang sampah sembarangan. Kebiasaan keluarga majikan dan lingkungannya di luar negeri  yang sangat ketat menjaga kebersihan mendorongku untuk menularkan kebiasaan itu. Paling tidak untuk keluarga kecilku lebih dulu sebelum merambat ke lingkungan yang lebih luas.

Aku sangat marah kepada orang di kampung saat mereka terbiasa menyerobot ketika ada pembagian beras raskin baik di rumah Pak RT maupun pemeriksaan anak balita di posyandu desa. Aku langsung bicara kepada yang bersangkutan, berusaha untuk mengajarkan budaya antri dan menjelaskan manfaatnya. Begitu juga saat akan membayar belanjaan di mini market yang sudah masuk ke desa-desa. Masih banyak orang yang nyelonong ingin lebih dulu membayar, padahal banyak konsumen yang sudah lama menunggu giliran. Gatal rasanya tidak ngomong lengsung kepada mereka yang --mungkin karena belum tahu tentang budaya antri yang menyebabkan mereka asal-- nyelonong saja.

Budaya antri, soal buang sampah, dan hal sepele lain tapi sangat krusial di luar negeri sudah kuat melekat dalam diriku dan aku ingin kembali menularkan budaya itu kepada orang terdekat di sekelilingku supaya tercipta kehidupan yang bersih, aman dan saling menghormati. Begitu juga kepada kebiasaan mencuci tangan sebelum makan dan atau setelah bermain kepada anakku dan anak tetangga. Aku menjadi salah satu yang sangat cerewet dalam soal ini.

Banyak kebiasaan baik yang aku temui selama 10 tahun di rantau ingin aku temukan juga di kampung halaman. Meski caranya perlahan, tidak bisa instan.
Kehidupan dan gaya hidup yang lebih baik memang sulit diterapkan secara spontan terlebih kepada masyarakat kampung yang sudah terbiasa dengan kebiasaan lamanya. Namun seiring perkembangan  dan tuntutan jaman hal itu harus diterapkan. Aku yang telah mendapatkan ilmunya secara langsung mempunyai kewajiban moral untuk teus menyampaikannya. Tidak muluk-muluk karena sasaran utamaku adalah keluarga kecilku lebih dahulu. Jika lingkungan sekitar ikut kena imbasnya, anggap saja itu mah bonusnya…

Pengalaman masa muda selama sepuluh tahun di luar negeri harus bisa memberikan nilai positif terhadap kehidupanku kini yang memasuki masa tua di kampung. Mungkin bernilai kecil di mata orang, tapi itu lah yang bisa aku lakukan. Bukan tidak mau mengisi masa muda dengan sekolah dan karya yang spektakuler. Tapi aku percaya setiap orang sudah punya jalannya masing-masing dan mungkin inilah caraku mengisi masa muda yang aku bisa. (ol)

Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Mudasiana 
Informasi lengkap bisa dilihat di Facebook Mudasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun