Setelah melaksanakan shalat Idul Adha butiran keringat deras mengucur. Sinar matahari yang semestinya menjadi sumber vitamin baik untuk kesehatan seolah menjelma menjadi bara api yang hendak menghanguskan penghuni kampung. Padahal saat itu jam belum sampai di angka delapan pagi. Hanya memang dahan pohon yang asalnya menaungi halaman mesjid beberapa hari sebelumnya ditebang (dirapihkan) dengan alasan tidak membahayakan panitia pemotongan hewan qurban.
Baru kehilangan dahan pohon panas kegerahan tidak nyaman itu sudah terasa. Bagaimana kalau banyak pohon yang tumbang atau sengaja ditebang? Ini terjadi di kampung yang wilayahnya masih banyak terdiri hutan dan perkebunan. Bagaimana dengan wilayah kota besar seperti Jakarta yang sudah jelas tidak banyak ada lagi lahan untuk dijadikan ruang lahan terbuka?
[caption caption="Halaman Mesjid Pagelaran Cianjur menjadi ruang publik (semua foto dok. pribadi)"][/caption]
Idealnya sebuah kota mempunyai ruang publik hijau minimal 30% dari luas perkotaannya. (KTT Bumi) terdiri dari 20% ruang terbuka hijau publik dan 10% nya ruang terbuka hijau privat. Namun pada kenyataannya hal itu sulit direalisasikan. Jumlah penduduk yang terus meningkat menggeser lahan terbuka beralih fungsi jadi pemukiman, pelebaran jalan, dan kebutuhan sarana dan prasarana kota lainnya. Padahal bagi manusia sebagai mahluk sosial tentu saja ruang publik itu sangat banyak gunanya. Selain tempat berinteraksi antar sesama manusia juga memiliki nilai sosial budaya dan ekonomi.
Teringat pengalaman membawa anak menginap di rumah saudara di ibu kota, saat ingin membawa anak bermain ke luar, cukup bingung karena tidak ada arena bermain khusus untuk anak-anak. Kalaupun ada arena bermain berbayar –dan secara tidak langsung mengajarkan hidup konsumtif— berada di toserba atau mall.
Terbayang pula wilayah kampung terpadat di Jakarta yang berada di sekitar Johar. Luas 3 Hektare dihuni oleh enam ribu jiwa. Boro-boro lahan untuk ruang publik, halaman rumah saja tidak ada. Anak-anak bermain di gang-gang yang lebarnya kurang dari satu meter. Itu pun berebutan tempat dengan parkiran sepeda motor.
Anakku sekarang tidak lagi punya tanah lapang dan atau ladang menghampar seperti yang aku alami saat kecil sebagai ruang publik untuk bermain. Mungkin karena itu penyebabnya anak jaman sekarang cenderung bersikap egois, sulit berbagi dan tidak pedulian baik terhadap teman sebayanya maupun terhadap alam.
Mengacu pada buku Kevin Lynch, “The Image of The City”, 1960, ruang publik berfungsi sebagai pemandu di dalam kota. Ruang publik dapat berkembang menjadi sebuah icon kota. Contoh ruang publik Jakarta ialah Monas. Ruang publik Bandung adalah Taman Masjid Raya Bandung. Ruang publik kota Surabaya ialah Taman Bungkul, dan masih banyak ruang publik lain yang sekaligus menjadi ciri atau identitas sebuah kota atau daerah. Dari semua ruang publik itu yang menjadi point utamanya adalah tidak hanya berfungsi sebagai penyedia ruang publik, namun juga ruang dimana di dalamnya dapat berinteraksi dan mempunyai makna.
SDM Penggerak Ruang Publik
Misalnya Monas di Jakarta harus tetap pada fungsi dan peruntukannya sebagai ruang terbuka hijau sekaligus sebagai ruang publik. Ruang yang semakin hari terasa semakin sulit ditemui. Saat Joko Widodo menjabat Gubernur DKI Jakarta, programnya mengembalikan fungsi Monas sebagai ruang publik dinilai cukup berhasil. Segala kegiatan warga dipusatkan di Monas. Mulai olahraga, hiburan masyarakat,sampai peringatan HUT Jakarta.
[caption caption="Ruang Publik di Bandung yang jadi favorit masyarakat baik siang maupun malam"]
Begitu juga Walikota Bandung Ridwan Kamil yang sudah mengembalikan fungsi taman dan halaman Mesjid Raya Bandung. Tanah lapang yang sebelumnya sumpek oleh sampah dan pedagang kaki lima, kini menjadi lahan hijau rumput sintetis. Warga benar-benar dibuat nyaman dan merasa mempunyai ruang publik yang mengasyikan. Termasuk lahan-lahan lain di setiap sudut kota yang awalnya tidak produktif kini disulap menjadi ruang publik yang banyak digemari para tukang foto selfie/wefie.
Dari sana terlihat ada peran penting sumber daya manusia (SDM) yang menjadi motor penggerak berjalan tidaknya sebuah ruang publik. SDM itu terdiri dari pemerintah, tokoh dan masyarakat. Masyarakat itu sendiri terbagi menjadi anak-anak, remaja dan orang tua.
Ya, tokoh ruang publik kota itu adalah Wagiman. Meminjam istilah dari Kompasianer Teh Deliana, wagiman adalah kependekan dari walikota gila taman. Walikota Gila Taman yang sudah ternama seperti : Ibu Tri Rismaharini, Bapak Ridwan Kamil, dan mungkin masih banyak tokoh wagiman lain yang saja belum/tidak terekspos media. Diakui atau tidak, peranan para wagiman ini sedikit banyak turut mempengaruhi perencanaan dan tata kota sekaligus pembangunan ruang publik di kota/kabupaten lain. Hasil karya serta penerapan ide para wagiman ini menjadi rolemode/percontohan bagi penggila-penggila taman di kota/kabupaten lainnya.
[caption caption="Sebelumnya ruang publik Taman Joglo adalah terminal dalam kota Kabupaten Cianjur. Gayanya mirip-mirip nama taman di Bandung ya?"]
Beberapa kota/kabupaten yang sempat saya singgahi sudah banyak yang berubah. Halaman mesjid besar (kaum) sudah dibuat taman yang diperuntukan sebagai ruang publik kota. Bisa jadi atau mungkin salah jika saya menduga taman kaum Sukabumi dan taman kota Cianjur mempunyai nama dengan pemasangan huruf namanya itu mirip-mirip seperti taman-taman di kota Bandung.
Penyalahgunaan Ruang Publik
Tidak bisa dipungkiri peran pemerintah khususnya Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sangat aktif dalam penyediaan ruang publik khususnya di wilayah kota. Namun pada kenyataannya masih ada kesalahan masyarakat dalam pemanfaatan ruang terbuka atau ruang publik kota. Ruang publik yang seharusnya digunakan oleh masyarakat keseluruhan dan untuk bersama sangat banyak kita jumpai penyalahgunaannya
Taman atau bangunan yang dibangun diperuntukkan untuk ruang publik pada kenyataannya digunakan orang yang tidak punya tempat tinggal untuk berteduh, menginap, dan membuat tempat tinggal (sementara) bahkan mencari nafkah dangan usaha berdagang. Hal ini secara langsung mungkin tidak mengganggu pengguna ruang publik lainnya, namun tentu saja sudah menyalahi nilai estetika ruang publik itu sendiri yang sebenarnya. Ruang publik untuk semua bukan berarti seenaknya bisa numpang tinggal dan melakukan aktivitas harian di situ.
[caption caption="Sebelum dipagar, ruang publik bekas Terminal AKAP Muka Cianjur ini kerap jadi tempat bermalam para pengemis. Kini berkat upaya pemerintah daerah yang maksimal bisa terawat dan menjadi ruang publik yang seutuhnya"]
Karena kurang sadarnya SDM, banyak ruang publik kota menjadi arena dimana sampah berserakan. Menjadi tempat mangkal pedagang kaki lima, menjadi lahan parkir kendaraan, bahkan ruang publik kota menjadi lahan usaha musiman. Bulan Ramadhan atau saat peringatan HUT Kemerdekaan RI (Agustusan), tanah lapang atau taman sebagai ruang publik selalu dipenuhi para pedagang yang sengaja datang untuk mencari kentungan. Saat tertentu ruang publik dijadikan sebagian warga untuk mencari keuntungan dengan berjualan makanan atau mainan anak sampai kebutuhan rumah tangga lainnya.
Bahkan ada lokasi bekas SPBU (POM bensin) yang dibuat menjadi taman (ruang publik) namun sama sekali tidak menciptakan lingkungan yang dapat digunakan berbagai kalangan untuk kegiatan positif. Yang ada taman ini justru digunakan oleh para pengemis untuk berkumpul. Otomatis warga jadi tidak mau menggunakan taman sebagai ruang publik tersebut. Melintas saja sudah enggan.
Trotoar sebagai ruang publik pun sering disalahgunakan. Dulu sebelum ada pembatas pengaman, trotoar sering dipakai oleh pengendara sepeda motor yang ingin ambil jalan pintas. Lalu, trotoar bahkan juga jembatan penyebrangan sebagai ruang publik juga digunakan para pemulung dan peminta-minta sebagai tempat tinggal dan berteduh/bermalam.
[caption caption="Mari kita bersama menjaga ruang publik yang sudah dibangun. Bagaimanapun, ruang publik adalah tempat tinggal kita. Lokasi: Ruang publik terbuka hijau depan sebuah mall pertama besar di Kabupaten Cianjur"]
Ruang publik jadi tempat mereka bergantung. Mereka tinggal di taman. Tidur gelar tikar di bawah pohon. Kegiatan rumah tangga makan, masak, cuci sampai jemur baju dilakukan di taman. Bekerja pun di taman atau di situ-situ juga di sekitar taman. Ibu mencuci, ayah memilah sampah. Anak lelap tidur di bawah pohon tidak jauh dari aktivitas orangtuanya. Padahal ruang yang mereka gunakan adalah ruang publik.
Adanya penyalahgunaan fasilitas ruang publik ini memperlihatkan ketidakberdayaan pemerintah dan warganya untuk menegakkan kepentingan bersama atas ruang publik. Ketiadaan kesepakatan mengenai apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan di ruang publik. Ketidakberdayaan pengaturan yang jelas mengenai penggunaan ruang publik yang seharusnya di bawah pengaturan dan pengelolaan pemerintah. Tapi mungkin juga lebih banyak pada ketidakberdayaan warga. Ketiadaan pilihan karena tidak ada lahan usaha lain. Mungkin juga mereka malah merasa nyaman di sana.
Ruang Publik Layak Anak
Saat pemerintah melakukan pembangunan tata ruang kota menuju kota layak yang mempunyai ruang publik, hendaknya ikut memikirkan jika ruang publik yang terdiri dari masyarakat itu terbagi atas usia anak-anak, remaja dan dewasa serta orang lanjut usia. Satu hal yang terpenting adalah bagaimana menciptakan ruang publik yang dapat diterima oleh anak-anak. Sebagai generasi bangsa, anak bisa dianggap asset bangsa yang sangat berharga. Karakter anak terbentuk sejak kecil yang salah satunya dipengaruhi oleh lingkungan tempat mereka bermain.
[caption caption="Senang saat anak betah bermain di habitatnya. Tidak ingin pulang menandakan anak cocok, menerima dan menyukai ruang publik. Kementrian PUPR semoga terus memperluas Kota (ruang publik) layak anak. Demi tercipta generasi bangsa yang berkarakter baik."]
Karenanya supaya tumbuh kembang anak mengarah kepada hal positif, pemerintah bisa mengembangkan ide pada ruang terbuka hijau atau ruang publik yang memiliki potensi guna membangun ruang publik yang mendorong perkembangan anak yang mendidik. Semoga pemerintah bisa terus memperluas perencanaan kota layak anak. Tidak hanya pada kota-kota besar tertentu tapi meluas hingga ke pelosok. Karena anak-anak Indonesia ada di setiap jengkal tanah bumi pertiwi. Dan di sana habitat mereka tempat untuk kembali. (ol).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H