Seandainya dia tak mencoba untuk terus nikreuh (kata dalam Basa Sunda, dengan arti lain memaksakan untuk terus berjalan walau pelan atau lelah karena rintangan) mungkin tak akan seperti dia yang sekarang. Walau hanya seorang anak kampung yang miskin, dia tak malu-maluin saat bergaul dengan orang kota. Walau terlahir dari keluarga tak punya tapi kini dirinya nyaman dan merasa cukup dengan hidupnya yang sederhana.
Sebagai anak sulung, meski jiwa seorang perempuan dia dijadikan tulang punggung bagi keluarganya, terlebih setelah bapaknya yang bekerja sebagai tukang dagang es dan sol sepatu kelilling meninggal dunia pada saat ia berusia 13 tahun.
Keprihatinan kehidupan disekelilingnya sejak kecil itu telah ikut menempa dia menjadi pribadi yang cukup tangguh. Walau perempuan, jangan dikira dia tak bisa melakukan pekerjaan yang bisa dilakukan kaum laki-laki saja. Membetulkan atap bocor, mencangkul, menembok, sampai membuat kandang ayam dia bisa walau awalnya karena terpaksa. Ya, terpaksa ia lakukan karena jika bukan ia yang melakukan tak akan ada orang lain yang bisa melakukan untuknya. Untuk membayar tukang jelas tak mungkin, umpama ada uang pun lebih baik dipakai untuk hal yang lebih penting untuk adik serta ibunya.
Kondisi perekonomian negara yang tidak stabil kala itu, serta pendidikannya yang kalah rendah dibanding pesaing pelamar kerja mengharuskan ia bisa mengambil keputusan terberat meski beresiko besar. Tahun 1999 ia nekat berangkat ke Singapura sebagai buruh migran demi bisa menghidupi keluarganya. Meski seorang perempuan, demi bisa menghidupi adik dan ibunya yang sudah tua ia memberanikan diri menjadi petualang keluarga.
Sambil menyelam minum air, tetap nikreuh menjalani segala cobaan hidup bagaimanapun kondisinya. Cobaan di luar negeri teramat banyak, ia berusaha membagi waktu supaya bisa sambil belajar dan menambah pengalaman. Segala kemampuannya termasuk menjadi seorang "tukang" sebagaimana pernah ia lakoni selagi di kampung membawa berkah saat tinggal bekerja di rumah majikan.
Begitu juga saat kembali bekerja dengan profesi yang sama di Hongkong dan Taiwan. Ia berusaha untuk terus belajar dari apa yang bisa dipelajari selama berada di negeri orang. Etos kerjanya, kedisiplinannya, bahasa, sampai tingkah laku serta pola hidup orang luar dipelajarinya untuk ia terapkan kelak. Dia yakin, meski hanya seorang perempuan desa dia bisa maju sebagaimana kemajuan orang-orang di luar negeri sana.
Dengan pengetahuan yang ia punya --buah dari proses pembelajarannya mengenai peraturan ketenagakerjaan di negara tempat bekerja-- sedikit banyak membuat ia bisa membantu memberi solusi terhadap teman-teman sesama buruh yang mempunyai permasalahan dengan ketenaga kerjaan.
Kesempatan untuk belajar yang ada selama di luar negeri selalu dicobanya. Sedikitpun tidak merasa minder dengan statusnya yang hanya sebagai babu atau pendidikannya yang tak memadai. Kegagalan dan ketidaktahuan dijadikan cambuk dan pelajaran untuk perbaikan kedepannya.
Peran serta majikan yang sangat mengerti terhadap keaktifan dia dalam dunia ketenaga kerjaan serta tulis-menulis membuahkan hasil. Ide serta karyanya makin lama makin bisa disejajarkan dengan orang lain. Tak disangkanya saat finish kontrak, ia direkrut kerja oleh orang yang mengetahui bagaimana dedikasi, perjuangan hidup serta keinginan kuat dalam dirinya selama ini dalam meraih cita-cita.
Hanya bermodalkan kepercayaan --saat dia kembali ke tanah air setelah hampir sepuluh tahun merantau di luar negeri-- dia bisa bergabung bekerja dan terus berkarya dalam bidang yang disukainya. Karena jika melihat syarat dan ketentuan diterima kerja di sebuah perusahaan tanah air jaman sekarang ini, tentunya ia kalah dibanding pelamar kerja lainnya di posisi yang sama dengan basic pendidikan mereka yang lebih tinggi dan sesuai.
Dia bisa membuktikan jika ia bukan (mantan) TKW Biasa... Perempuan yang terus nikreuh demi pencapaian dalam perbaikan kehidupannya.
Jika ia hanya diam diri pasrah menerima nasib, tentunya tak akan ada dia sekarang ini yang meski tak banyak diketahui orang apa dan bagaimana prestasinya saat menjadi buruh di negara orang namun paling tidak bagi keluarganya, dialah satu-satunya anak perempuan sebagai pahlawan kehidupan penyambung nyawa keluarga.
Status babu atau TKW yang selama ini kerap dipandang sebelah mata oleh masyarakat justru dengan bangga diakuinya. Apa yang salah dengan seorang tenaga kerja wanita? Bukankah sama-sama perempuan, sama-sama berkontribusi dalam perekonomian dan pendapatan? Bukannya justru berterimakasih kepada para babu yang sudah ikut berperan dalam pembangunan peradaban bangsa ini?
Jika dulu dia tidak nekat untuk tetap nikreuh demi bisa menafkahi keluarganya walau hanya dengan menjadi seorang babu maka sampai kapan pun tak akan ada saya beserta keluarga di rumah seperti sekarang ini...
Ya, dialah saya yang saya ceritakan itu. Saya yang baru pulang dari rantau setelah hampir sepuluh tahun menjadi babu di negara orang dengan membawa segala kelebihan dan kekurangan.
Saya menceritakan sosok saya pribadi sebagai sisi perempuan yang berusaha bangkit dari keterpurukan kehidupan yang menderanya. Saya sendiri sebagai sosok perempuan di sekitar yang paling dekat dan saya kenal baik mewakili jutaan perempuan Indonesia yang berani memilih menjadi babu di luar negeri alias TKW; para perempuan perkasa, mau mengambil resiko demi kesejahteraan keluarga di kampungnya.
Tak berlebihan rasanya jika saya identikkan profesi babu yang saya jabat dengan istilah profesi perempuan perkasa. Dibanding perempuan lain yang bekerja dengan mapan serta terhormat karena mereka memang sudah punya perbekalan segalanya dari keluarga.
Pagelaran, 31 Mei 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H