Mohon tunggu...
Okti Li
Okti Li Mohon Tunggu... Freelancer - Ibu rumah tangga suka menulis dan membaca.

"Pengejar mimpi yang tak pernah tidur!" Salah satu Kompasianer Backpacker... Keluarga Petualang, Mantan TKW, Indosuara, Citizen Journalist, Tukang icip kuliner, Blogger Reporter, Backpacker,

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Bulan Madu Seru ke Puncak Gede Pangrango

30 April 2012   15:12 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:54 1689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_174643" align="aligncenter" width="300" caption="Bulan Madu Seru bag. 1 (Dok. Pribadi/Okti Li)"][/caption] Kepergian saya bersama Kang Iwan yang pertama kalinya seumur hidup kami untuk mendaki Gunung Gede mendapat tentangan keras orang tua beserta keluarga. Bagaimana tidak, Kamis pagi tanggal 5 April 2012 jam 8.55 kami melangsungkan akad nikah di Sukanagara, siangnya setelah sholat dhuhur kami merencanakan langsung berangkat menuju Gunung Putri, Pacet - Cianjur; tempat yang dijanjikan seorang kawan --yang baru kenal dua hari, itu pun lewat milis-- untuk bertemu dan bersama-sama melakukan pendakian ke Gunung Gede! Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) merupakan salah satu dari taman nasional tertua di Indonesia dan termasuk kedalam 21 Taman Nasional Model yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan. Saat ini TNGGP merupakan perwakilan hutan hujan pegunungan di pulau Jawa yang paling utuh. TNGGP lataknya mencakupi tiga wilayah kabupaten yaitu Bogor, Sukabumi dan Cianjur. Semenjak kecil jika melewati ruas jalur Puncak baik mau ke Bogor atau Jakarta dan sebaliknya, ketinggian Gunung Gede Pangrango selalu terlihat sepanjang jalan yang dilewati. Gunung dengan ketinggian 2.958 mdpl itu setiap kali terlihat dari dalam kendaraan yang ditumpangi seakan sedang melambai-lambai mengajakku mencapai puncaknya. Kabut yang hampir setiap hari menutupi permukaan bagian kawah serta sekelilingnya semakin membangkitkan rasa penasaranku untuk segera mengetahui bagaimana kondisi serta keadaan sesungguhnya di puncak gunung tersebut. Saat pulang merantau keinginan untuk mengunjungi TNGGP sangat kuat. Tapi mungkin memang waktunya belum tepat, karena meski berdasarkan hasil laporan dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Pos Pengamatan Gunungapi Gede yang berada di Desa Ciloto Kecamatan Cipanas - Cianjur yang menjelaskan bahwa bulan Nopember kegiatan Gunung Gede dalam keadaan normal, (Berdasarkan Surat Nomor : 11/43.02/BGV.P.GDE/2011 Tanggal 1 Desember 2011 perihal Laporan Kegiatan Gunung Gede) namun tak lama kemudian disusul dengan informasi lanjutan yang menerangkan adanya penutupan kegiatan pendakian dalam rangka pemulihan ekosistem hutan di TNGGP mulai 1 Januari sampai dengan 31 Maret 2012. (Surat Keputusan Kepala Balai Besar TNGGP Nomor : SK.341/11-TU/3/2011 tanggal 8 Desember 2011) [caption id="attachment_175232" align="aligncenter" width="300" caption="Abah Idris (Dok. Pribadi/Okti Li)"]

133606361546468553
133606361546468553
[/caption] Yah, dengan kata lain berarti rencana mendaki yang sudah diancang-ancang sejak saya masih di Taiwan itu terpaksa kembali diundur. Sebagai sedikit bentuk pelampiasan rasa penasaran, setiap hari libur kerja saya dan Kang Iwan mengusahakan mendatangi lokasi wisata yang berada di sekitar kaki TNGGP, Cianjur, Bogor dan Sukabumi. Taman Wisata Cibodas, Kebun Raya Bogor, Taman Bunga Nusantara dan lokasi wisata sekitar lainnya. Paling tidak, dari lokasi wisata sekitar tersebut saya bisa melihat kokohnya Gunung Gede Pangrango dengan jelas. Senang sekali saat saya kemukakan ingin mendaki Gunung Gede ternyata Kang Iwan pun mempunyai niat yang sama. "Sebagai warga Cianjur secara pribadi merasa malu jika seumur hidup tidak pernah mencapai puncak Gunung Gede," begitu opini Kang Iwan. Apalagi katanya saat Kang Iwan masih kuliah, merasa iri juga mendapati teman-teman dari luar kota, luar provinsi bahkan luar Jawa dan luar negeri mengatakan pernah menjajakan kaki di puncak Gunung Gede. Sementara Kang Iwan sendiri belum pernah sama sekali. Padahal ia banyak berteman dengan mahasiswa pencinta alam dan sering keluar masuk hutan Cianjur Kidul sejak kecil (ikut almarhum ayah yang bertugas sebagai pegawai Perhutani). Ibarat mendapatkan dukungan, keinginan saya untuk mendaki Gunung gede pun semakin menggebu. Saat main ke Taman Wisata Cibodas, Senin 2 April 2012, tidak sengaja kami bertemu dengan beberapa pemuda yang akhirnya kami ketahui mereka baru saja melakukan pendaftaran untuk melakukan pendakian ke Gunung Gede. Oh, iya! Kami baru sadar kalau mulai April jalur pendakian TNGGP memang sudah dibuka. Tanpa membuang-buang waktu lagi saat itu pula kami mendatangi Kantor TNGGP untuk mendapatkan informasi dan sekaligus mendaftar melakukan pendakian. Sayangnya, sesuai informasi dari petugas jalur pendakian ke TNGGP yang terdiri dari tiga pintu itu untuk setiap akhir pekan bulan April kuotanya sudah penuh. Para calon pendaki itu, mereka sudah terlebih dahulu daftar melalui jalur online sebulan sebelum hari pendakian.Tentu saja saya dan Kang Iwan merasa kecewa. Pulang menuju parkiran dengan langkah gontai. Saat di tempat parkir, iseng saya menyapa tiga orang pemuda yang dialeknya bukan dari Sunda. Ternyata mereka dari Yogyakarta. Baru datang pagi itu dari Yogya, langsung mendaftar untuk mendaki dan saat itu juga mendapatkan surat izin. Sore itu juga mereka akan melakukan perjalanan malaui pintu Cibodas. Menurut informasi dari ketiga pemuda yang sepertinya sudah sering melakukan pendakian ke TNGGP itu, petugas tidak akan memberikan surat izin jika tidak didampingi guide atau pendaki yang telah berpengalaman. Ketika saya katakan kalau saya masih awam banget dalam hal mendaki, mereka dengan antusias mengajak kami untuk mendaki bersama sore hari itu juga. Tentu saja hal itu tidak mungkin kami sanggupi meski keinginan sangat kuat dan peluang ada di depan mata. Saya dan Kang Iwan tidak cukup waktu untuk mempersiapkan segalanya. Kami pun berpisah dan berharap suatu saat jika mereka mendaki kami bisa ikut. [caption id="attachment_174603" align="aligncenter" width="300" caption="Dalam angkot yang mengkhawatirkan menuju Gunung Putri (Dok. Pribadi/Okti Li)"]
13357980671897763196
13357980671897763196
[/caption] Dalam perjalanan, iseng saya 'curhat' lewat email dan mengirimkannya ke milis Indonesia Backpacker (IBP). Menceritakan keinginan mendaki yang (lagi-lagi) tak kesampaian, meminta info lengkap tentang pendakian TNGGP dan prosedurnya, serta meminta kepada kawan-kawan di IBP siapa tahu ada yang mau mendaki dan mau mengajak kami. Disibukkan dengan segala persiapan pernikahan, saya terlupa akan email 'curhat' itu. Sampai dua hari berikutnya, Rabu 4 April 2012 pukul 10 lebih saya mendapat email dari anggota milis IBP bernama Ary. Dalam emailnya Mas Ary memberikan informasi prosedur pendakian TNGGP dengan lengkap dan detail. Saya yang sangat awam soal pendakian pun langsung mengerti. Di bagian akhir emailnya, Mas Ary memberitahukan kalau ia dan teman-temannya akan mendaki TNGGP dari pintu Gunung Putri dan turun di Cibodas pada tanggal 5-8 April 2012. Jika berminat ikut, katanya Mas Ary dengan senang hati mengajak bergabung bersama mereka. Membaca email itu saya dan Kang Iwan melongo untuk sekian waktu. Tanggal 5 kan hari pernikahan kami! Aduuuh, bagaimana ini?! Setelah berdiskusi cukup alot dan mempertimbangkan banyak hal, kesepakatan akhirnya kami dapatkan. Ya, kami akan ikut mendaki dengan kelompok Mas Ary dari pintu Gunung Putri. Berangkat pada kesempatan ini atau kembali gagal dan belum tentu mendapatkan kesempatan yang sama. Tekad kami bulat sudah. Orang tua serta keluarga hanya bisa mengelengkan kepala melihat setelah akad nikah kami langsung bersiap-siap mengecek segala perbekalan pendakian. Bulan Madu ke Puncak Gede pun jadi bahan selorohan untuk kami. Meski rada gak enak --malu-- tapi kami terima saja. Toh memang wajar dibilang bulan madu ke Puncak Gede karena setelah akad nikah kami memang langsung berangkat untuk pendakian. Meski sebenarnya tentu saja bukan tujuan kami ke Gunung Gede untuk berbulan madu. Hari Kamis sore (5 April 2012) itu, hujan tak henti-hentinya turun di wilayah Cianjur Selatan. Saya dan Kang Iwan sempat meragukan apakah akan jadi ikut mendaki dengan cuaca buruk seperti itu? "Kalau hujan, kita harus bawa bekal baju lebih," ujar Kang Iwan. Kami pun menambahkan beberapa baju untuk ganti. Tenda, matras, sleeping bag, jas hujan, lampu senter, nesting, kompor, parapin; perlengkapan mendaki seperti diinformasikan Mas Ary lewat email serta sms semua lengkap siap dibawa. Kecuali matras dan sleeping bag, semua perlengkapan masuk ke carrier yang dibawa Kang Iwan. Iseng saya mengangkat tas gede itu. Wadduh! ternyata berat juga! [caption id="attachment_174601" align="aligncenter" width="300" caption="Basecamp dan mushola di Gunung Putri yang tertutup kabut. (Dok Pribadi/Okti Li)"]
13357979461126300408
13357979461126300408
[/caption] Sementara saya, hanya membawa tas gendong biasa. Isinya hanya perlengkapan sholat, alat-alat pribadi, botol minum serta kamera yang meski mempunyai tas tersendiri tapi terlebih dahulu saya masukkan ke dalam daypack . Rencananya, di Cianjur Kota atau di Cipanas mau membeli makanan dan perbekalan, akan dimasukkan ke tas yang saya bawa itu. Menjelang magrib, kami mendapat informasi dari Mas Ary kalau teman lainnya yang masih di Jakarta sore itu tidak bisa berangkat dan diperkirakan besok pagi (Jumat, 6 April 2012) baru bisa tiba di Cianjur. Mas Ary dan dua teman lainnya yang sudah sampai di Gunung Putri memberitahukan juga kalau pendakian kamis sore itu dibatalkan, bergeser menjadi jumat sore keesokan harinya. Kami yang tak tahu apa-apa soal pendakian tentu saja manut dan mengikuti keputusan mereka. Baru keesokan paginya, dengan gaya dan penampilan seperti pendaki beneran --yang sering kami lihat di tv dan gambar-gambar-- dari Pagelaran, Cianjur Selatan kami berangkat menuju Cipanas, Cianjur. Cuaca hari itu cerah. Sudah panas, membawa tas gendong berat pula. Belum apa-apa sudah capek... Di pertigaan jalan raya dekat Istana Presiden kami turun, lalu menuju terminal angkutan yang letaknya agak ke dalam dari jalan raya Istana Cipanas untuk mencari mobil jurusan ke Gunung Putri. Mobil yang dimaksud menurut tukang parkir yang kami tanyai katanya sedang jalan. Tukang parkir menyarankan kami untuk menungguinya, "Sebentar lagi kembali, kok!" janjinya. Sambil menunggu angkutan, saya sempatkan belanja makanan dan minuman. Roti tawar, mie instant, cereal , cemilan serta air akhirnya menambah beban tas punggung yang saya gendong. Usut punya usut, ternyata angkutan kota dari Cipanas menuju Gunung Putri itu hanya ada dua! Pantas si tukang parkir menyuruh menunggu, mau tidak mau calon penumpang memang harus menunggu mobil tersebut kembali dulu. Setelah mobil yang dimaksud datang, sempat kaget juga dengan kondisinya. Tempat duduknya sudah rusak, kacanya sudah ada yang diganti dengan triplek. Wah, jangan-jangan nanti ini mobil mogok nih? Tapi alhamdulillah, meski kami duduk umpel-umpelan dengan penduduk setempat yang berbelanja sembako serta bahan dasar usaha dagangnya (Sebagian laki-laki ada yang rela bergelantungan di pintu) dengan ongkos lima ribu rupiah per orang akhirnya kami selamat sampai di jalan kecil yang menanjak menuju pos pemeriksaan para pendaki TNGGP dari pintu Gunung Putri. Turun dari mobil angkutan Mas Ary memberitahukan kalau ia dan teman-temannya berada di basecamp para pendaki milik Abah Idris. Meski jalannya sempit berkelok-kelok dan menanjak tapi tak sulit mencarinya karena penduduk yang ditanyai dengan mudah pula menunjukkan letaknya. Akhirnya kami sampai di sebuah rumah dengan mushola Al Mubharrokah di depannya. Untuk pertama kali itu saya bertemu Mas Ary, Odi, serta James. Mereka kenalan dari milis IBP yang sudah berpengalaman mendaki di TNGGP dan bersedia membawa kami untuk bersama-sama mendaki. Saat itu juga Odi memperkenalkan kami kepada Abah Idris, sesepuh yang juga bisa dibilang kuncen daerah itu. [caption id="attachment_174604" align="aligncenter" width="300" caption="Siap melakukan pendakian (Dok. Pribadi/Okti Li)"]
13357981331489635931
13357981331489635931
[/caption] Tak berselang lama, kawan-kawan dari Jakarta --sebanyak tujuh orang laki-laki-- pun tiba. Luar biasa, tim kami menjadi 12 orang dengan saya sendiri sebagai satu-satunya anggota tim perempuan diantara mereka! Setelah teman-teman selesai shalat jumat di mesjid yang letaknya agak jauh dari basecamp (saya sendiri menjama sholat duhur dan ashar di mushola) cuaca yang panas tiba-tiba berubah menjadi mendung. Kabut yang semakin menebal menutupi jangakaun pandang kami. Abah Idris bilang di Kampung Gunung Putri yang wilayahnya masuk ke Desa Sukatani Kecamatan Pacet hal itu sudah biasa. Hawa panas pun drastis menjadi dingin. Sesaat sebelum memulai perjalanan, teman-teman dari Jakarta --yang saat itu belum saya ingat benar siapa nama satu per satunya-- berfoto di sebuah batu yang menjorok dari kebun wortel di halaman mushola. Kabut yang tebal menghalangi hamparan wilayah Kecamatan Pacet di bawah sana menjadi latar yang punya ciri khas tersendiri, khas dataran tinggi. [caption id="attachment_174644" align="aligncenter" width="300" caption="Narsis di kebun wortel depan basecamp (Dok. Pribadi/Okti Li)"]
1335807313711623106
1335807313711623106
[/caption] [caption id="attachment_175229" align="aligncenter" width="300" caption="Belum menanjak masih pasang wajah ceria (Dok. Pribadi/ Okti Li)"]
13360634731392733197
13360634731392733197
[/caption] [caption id="attachment_175230" align="aligncenter" width="300" caption="Kang Iwan beserta kabut Gunung Putri (Dok. Pribadi/Okti Li)"]
13360635331843930789
13360635331843930789
[/caption] Saat mengecek perlengkapan dan bekal masing-masing, saya dan Kang Iwan sempat heran juga kok bawaannya mereka sedikit-sedikit ya? Tas mereka kempes-kempes jauh beda dengan tas kami yang gembrot seperti mau pindahan saja. "Untuk melakukan pendakian, usahakan tidak membawa barang yang tidak penting. Kalau harus bawa pun sesedikit mungkin. Perbanyak bekal makanan saja," saran Mas Ary yang kalem itu sambil agak mesem-mesem saat melihat sleeping bag 'jumbo' yang kami bawa. Benar juga, ya. Persiapan saya dan Kang Iwan ini salah, membawa baju banyak dengan alasan buat ganti kalau hujan, padahal sebagaimana dikatakan Mas Ary, "Antisipasi hujan cukup siapkan jas hujan yang baik saja, gak perlu bawa baju banyak." Saya lihat juga teman-teman dari Jakarta malah ada yang tidak bawa baju ganti. Mereka ada yang hanya pakai celana pendek, sendal jepit dan kaos tanpa lengan. "Di puncak nanti, gue cukup pake jaket aja," alasannya simple. Saya dan Kang Iwan yang baru tahu hanya bisa manggut-manggut. Pelajaran pertama untuk kami dalam hal dunia pendakian. Saat saya terengah-engah membawa dua botol air mineral yang dibeli di Cipanas, Tebo --salah satu teman dari Jakarta-- malah membagi-bagikan botol kosong kepada teman lainnya untuk dibawa masing-masing. Setelah saya bertanya, Tebo yang berkacamata dan sudah sering pula mendaki Gede Pangrango itu menjelaskan mereka akan mengisi botol itu dengan air yang akan ditemui nanti dalam perjalanan. "Air di pegunungan itu cukup bersih dan bisa menjadi bekal minum kita," jelasnya. Hem, benar juga ya. Pantas beban mereka tak seberat beban yang saya dan Kang Iwan bawa. Pelajaran lagi nih... Setelah berdoa dan berpamitan kepada Abah Idris dan keluarganya yang ada di rumah itu, kami 12 orang beriringan menapaki jalan kecil yang menanjak. Habis melewati kebun sayur-mayur lalu memasuki jalan setapak yang tetap menanjak. Dengan beban yang dibawa cukup berat nafas mulai terasa ngos-ngosan, otot paha juga rasanya capek banget. [caption id="attachment_174605" align="aligncenter" width="300" caption="Menelusuri kebun milik warga Gunung Putri (Dok. Pribadi/Okti Li)"]
13357981862056307075
13357981862056307075
[/caption] [caption id="attachment_175236" align="aligncenter" width="300" caption="Menyusuri jalan setapak (Dok. Pribadi/Okti Li)"]
1336063703509843282
1336063703509843282
[/caption] Beruntung meski saya satu-satunya perempuan namun tak kalah jalan dibanding teman lainnya. Saya masih bisa terus berjalan walau lambat. Kalau pun berhenti itu hanya sekitar dua menit untuk melancarkan nafas, setelah lancar lalu jalan lagi. Asyik juga berapa kali kami berhenti agak lama untuk menunggu kawan yang tertinggal. Ada seorang teman asal Jakarta yang bernama Revo, sepertinya mudah kelelahan. Selain ia bertubuh agak gemuk, katanya pendakian itu adalah pendakian untuk pertama kalinya juga. Hingga sampai di sebuah sungai kecil yang harus kami sebrangi untuk melanjutkan perjalanan, kami beristirahat agak lama. Tebo dan teman-teman mengisi botol kosongnya sampai penuh. Tebo bilang air yang dibawa itu cukup tidak cukup harus cukup sampai di Alun-alun Suryakencana. Diperkirakan jam sembilan malam nanti baru bisa kembali mengisi air perbekalan. [caption id="attachment_175237" align="aligncenter" width="300" caption="Sungai yang airnya untuk air minum (Dok. Pribadi/Okti Li)"]
13360639901126131856
13360639901126131856
[/caption] Jalanan selanjutnya yang dilalui tanah dengan tanjakkan bertangga dengan sebatang bambu yang dipasang di setiap ujung tangga tanah itu sebagai penahannya. Meski udara mulai sejuk karena matahari sudah tidak menampakkan sinarnya, namun saya mulai merasa panas. Saya sering merasakan kelelahan, sakit paha serta dada saat pernafasan sudah tidak teratur. [caption id="attachment_174645" align="aligncenter" width="300" caption="Sebelum mencapai pos 1, jalan menanjak dan berkabut (Dok. Pribadi/Okti Li)"]
13358074201140375146
13358074201140375146
[/caption] Mas Ary berjalan di belakang saya. Odi dan Kang Iwan yang berjalan bareng saya selalu memberikan semangat. Sesekali Odi yang oleh teman-temannya dipanggil Odong juga berbagi tips serta cerita pengalaman saat mendaki. Membuat saya terkagum-kagum dan kembali bersemangat melangkahkan kaki. [caption id="attachment_174606" align="aligncenter" width="300" caption="Narsis di pos pertama (Dok Pribadi/Okti Li)"]
13357982632030651659
13357982632030651659
[/caption] Saat kabut mulai menghalangi pandangan, Odi memberitahukan kalau sebaiknya kamera dibungkus terlebih dahulu oleh handuk, lalu dimasukkan ke dalam tas kamera dan baru dibungkus lagi oleh tas plastik. Pengalamannya pernah saat mendaki dan membawa kamera tapi kamera itu sama sekali tidak bisa berfungsi karena lensanya berembun parah sehingga tidak bisa menangkap bayangan objek. Saya pun langsung melakukan apa yang Odi sarankan. Tak terasa, akhirnya kami tiba di pos satu. ada tanda panah bertuliskan Legok Leunca di dekat bangunan tua. Tebo dan teman-teman lainnya yang sudah lebih dahulu jalan tengah menunggu kami. Meski Odi bilang sisa perjalanan belum ada seperlimanya, tapi saat berkumpul di pos itu rasa lelah rasanya langsung hilang. [caption id="attachment_174607" align="aligncenter" width="300" caption="Ngobrol bersama porter dan pendaki lain (Dok. Pribadi/Okti Li)"]
1335798316168965867
1335798316168965867
[/caption] Saat kami beristirahat dan sempat berfoto, puluhan pendaki laki-laki dan perempuan tiba-tiba datang secara ramai-ramai. Informasi dari James yang sempat ngobrol dengan ketua panitianya saat masih di bawah bilang mereka adalah pendaki yang tergabung dalam kelompok LARVA. "Gue ngobrol tadi sama salah seorang panitianya mereka yang naik malam ini mencapai seratus orang lebih, lho!" jelas James. Bukan hanya para pendaki LARVA itu saja, yang lewat di hadapan kami juga ada pendaki asal Korea yang sudah cukup tua. Dengan menggunakan dua tongkat sebagai penyangga dan penguat, laki-laki paruh baya itu terlihat tidak merasakan lelah sedikitpun. Ia terus berjalan melewati kami. Padahal, dua porter serta dua temannya yang asli orang Indonesia bergabung istirahat dahulu bersama kami dan mengaku kelelahan. Saat diajak ngobrol, mereka geleng-geleng kepala menyerah tidak bisa menyusul si lelaki asal Korea itu tadi. "Heran tuh orang Korea, meski udah tua tapi kuat banget jalannya," ucap salah satu temannya yang mengaku dari Bekasi. Mereka bilang orang Korea itu atasan kerja mereka di sebuah perusahaan di Bekasi. Saat itu saya juga iseng berkeliling area sekitar pos satu. Duh, ternyata di sebelah pos dan belakang pos banyak banget sampah plastik serta botol-botol bekas minuman. Mumpung masih belum gelap, sebelum melanjutkan pendakian dengan menggunakan kamera ponsel saya foto dulu gundukan sampah-sampah itu beberapa kali. [caption id="attachment_174646" align="aligncenter" width="300" caption="Gundukan sampah di pos pertama (Dok. Pribadi/Okti Li)"]
13358075072073477187
13358075072073477187
[/caption] Selanjutnya saya berjalan bareng Kang Iwan dan mas Ary yang setia di belakang. Odi dengan langkah cepat seperti tak merasakan capai mengatakan akan berjalan terlebih dahulu. Beberapa teman yang lain memang sudah agak jauh. Sementara James masih ada di belakang kami, menemani Revo yang sepertinya hampir-hampiran menyerah karena kelelahan. Setelah sekian kali berhenti sekedar untuk mengatur nafas, melewati pos Buntut Lutung dengan ketinggian 2250 mdpl adzan magrib yang saya instal di ponsel berkumandang. Kami pun tak lama tiba di pos selanjutnya. Beberapa orang pendaki laki-laki tampak tengah menjalankan sholat. Magrib itu untuk pertama kalinya saya alami berada di hutan belantara dengan kegelapan yang begitu pekat. Setelah cukup istirahat (bahkan menurut salah seorang teman satu tim mengatakan kalau kita istirahat kelamaan) perjalanan dilanjutkan. Lampu senter dengan berbagai model dan ukuran mengeluarkan cahaya dengan indahnya. Cahaya saling berkelebat diantara besar dan rapatnya diameter pepohonan . Kami berjalan merapat dan mempersilahkan pendaki lain berjalan terlebih dahulu saat jalan yang dilalui semakin terjal. Kang Iwan mengambil alih tas yang saya gendong. Saya memang kelelahan dan sering tak sanggup untuk menaiki akar sehinga harus didorong atau ditarik oleh teman yang ada di depan saya. Kasihan juga melihat Kang Iwan sudah berat dengan carrier-nya yang digendong di belakang, ditambah berat pula oleh tas saya yang digendongnya di depan. Belum lagi sleeping bag yang ditentengnya. Kami sering berhenti karena saya yang tidak kuat naik atau merasa kehabisan nafas. Salah satu teman dari Jakarta yang dipanggil Bule (karena mirip orang bule) sepertinya tahu kalau Kang Iwan kena kram kaki. Bule menyuruh kami beristirahat dan memanggil Tebo. Dengan bantuan Tebo, kaki Kang Iwan yang diselonjorkan dan dipijit perlahan-lahan tidak sakit lagi. Diam-diam Kang Iwan bilang, sebenarnya sakit kaki itu sudah sejak dari bawah, hanya ia tak berani bilang karena gak enak sama teman lainnya. Saya ingin menangis mendengarnya. Sudah sakit kaki, Kang Iwan masih juga membawakan tas gendong saya yang lumayan berat itu. Sementara bagaimana saya bisa menolongnya saya sendiri sudah tidak kuat membawa tas dengan trek yang sangat sulit dan kondisi gelap. Saya hanya bisa berdoa saat itu, semoga diberi jalan keluar. Luar Biasa! Tuhan langsung mengabulkan doa saya. Seorang teman dari Jakarta yang saya belum ketahui siapa namanya dengan cepat mengambil alih tas serta sleeping bag dari tangan Kang Iwan. Ia saat itu memang hanya menggendong tas kecil dan sepertinya tak berat. "Sudah Mas-nya tenang saja, biar saya yang bawain tas ini. Nanti bawaannya berat kakinya bisa kram lagi..." ujar teman dari Jakarta dengan kaos kuning itu ramah saat saya dan Kang Iwan mengucapkan terimakasih. Kami pun kembali berjalan walau dengan merayap pelan. Sambil jalan, saya sangat bersyukur mempunyai teman satu tim yang benar-benar baik hati. Mereka dengan ikhlas membantu saya dan Kang Iwan, padahal kami kenal saja baru hari itu. [caption id="attachment_174608" align="aligncenter" width="300" caption="Sempat narsis sebelum hari gelap (Dok. Pribadi/Okti Li)"]
1335798397659121631
1335798397659121631
[/caption] "Kita satu tim, kita keluarga. Saat mendaki, keselamatan dan keamanan setiap pendaki adalah tanggung jawab pendaki lainnya juga. Saat mendaki kita diajarkan untuk tidak egois, terhadap teman satu tim, terhadap sesama pendaki juga terhadap alam." Ujar Tebo memasang wajah serius sambil membetulkan letak kaca matanya. Sinar bulan yang saat itu menerobos lewat daun pepohonan samar-samar menerangi kami yang pada saat beristirahat mematikan senter. "Kita satu tim, jadi bekal Mbak adalah bekal saya juga, ya?" lanjut Tebo kembali mencandai saya. Semua tertawa. Padahal, saat itu justru ia yang membagikan obat pencegah masuk angin yang ia bawa kepada kami. Kang Iwan mengakui ia merasa lebih enakan badannya setelah meminum satu sachet cairan hangat pemberian Tebo itu. Terimakasih ya Allah, Engkau pertemukan saya dan kang Iwan dengan sepuluh orang yang baik hati. Iseng sambil terus merayap dalam gelap, setiap ada pendaki yang menyusul kami atau berpapasan hendak turun kami selalu bertanya, "Mas, ini ke Surken masih jauh ya?" Jawaban mereka (entah sudah menjadi tradisi atau hanya kebetulan) selalu sama, "Dekat kok! Sebentar lagi! Surya Kencana paling 25 menit lagi sampai..." "Gile, setiap kali nanya jawabannya deket-deket dan sebentar-sebentar lagi terus, tapi ini dari tadi jalan kita kok gak sampai-sampai yah?" Ujar Revo sambil bersungut-sungut. Lalu ia terduduk mengajak istirahat. Kami yang mendengar kontan tertawa-tawa. Memang iya sih, setiap kita nanya jawaban mereka selalu senada. "Mungkin mereka itu cuma nyenengin ati lo aja, Vo..." timpal Mas Ary sambil tertawa juga. "Gue capek, ah! Udah kita bikin tenda di sini aja!" Idih, Revo ngambek rupanya. "Nih, gue kasih sosis biar semanget lagi," canda seorang teman lainnya menggoda Revo. Yang saya lihat dan perhatikan sih, sejak dari bawah tadi, Revo memang ngemil terus. "Nah, gitu dong! Yok kita jalan lagi.." Revo menyambar sosis lalu dengan semangat dadakan tubuhnya yang gemuk berdiri mengajak jalan lagi. Hahaha, ada-ada saja ulahnya. Membuat semua tertawa disaat gelap dan kelelahan. Pukul Sepuluh lewat, saat perbekalan air habis, kami yang terengah-engah terus merayap dalam gelap tiba-tiba mendengar suara teriakan dari atas. "Ayo semangat, kalian sudah sampai di Alun-alun Surya Kencana...!" Rupanya itu suara salah seorang panitia pendaki kelompok LARVA yang selalu menyemangati para anggotanya. Tapi kali itu benar, lho! Setelah habis tanjakan yang penuh akar dan tanahnya agak berpasir, kami mulai berjalan dengan posisi tanah melandai. Bukan pepohonan yang menjulang tinggi lagi yang kami lewati melainkan perdu serta tanaman yang pada malam hari lebih menyerupai seperti semak-semak. Suara-suara para pendaki mulai terdengar semakin ramai. Benar, akhirnya kami sampai di dataran luas Surya Kencana di sisi baratnya. Saya dengar dari pintu Gunung Putri rata-rata waktu perjalanan normal sampai ke Surya Kencana berkisar selama lima jam. Jika dari pintu Cibodas, jarak 11,8 km itu bisa ditempuh selama 6 jam perjalanan. Sinar bulan menerangi hamparan dataran yang sangat luas berada di ketinggian 2.750 mdpl malam itu. Banyak para pendaki yang sudah mendirikan tenda di lokasi yang kami lewati. Suhu udara terasa jauh lebih dingin. Saya pun inginnya segera tidur dan melepas lelah. Tapi Tebo bilang tim kami tidak akan membuat tenda di daerah itu, "Kita akan mendirikan tenda di tengah sana, supaya besok tinggal manjat ke puncak Gedenya. Odong sudah di sana nunggu kita." Setelah menunggu semuanya sampai di lokasi pintu barat Alun-alun Surya Kencana, kami sebelas orang kembali beriringan berjalan di atas jalan setapak di tengah hamparan padang nan luas. Sebelah kiri dan kanan kami tampak menjulang hitam dinding kokoh. "Di sebelah itu puncak Gede berada," tunjuk Tebo ke dinding sebelah kanan. Kami terus menyimak informasi dari Tebo sambil terus berjalan membelah dataran seluas 50 hektar yang ditutupi hamparan bunga edelweiss. Sambil berjalan, saya terus menggerak-gerakkan tangan yang rasanya mulai membeku meski sudah mengenakan sarung tangan. Bulan semakin lama semakin memperjelas pandangan, menyibakkan kabut yang menutupi. Sampai akhirnya pohon edelweiss terlihat di sepanjang jalan setapak yang kami lewati. Suara gemericik air sayup-sayup juga terdengar terbawa angin. Tiba-tiba ada seseorang berjalan berlawanan arah dengan kami, ternyata itu Odi alias Odong. Ia memakai jas hujan lengkap. Bukan karena di atas itu ada turun hujan, melainkan karena dingin yang mengigit. Karena Odi tidak membawa jaket, maka sebagai penghangat badan jas hujan yang ia kenakan. Odi menjemput kami dan membawa ke lokasi mendirikan tenda di sebelas kanan agak atas. Lumayan cukup jauh juga dari mata air di lahan agak rendah sebelah tengah. "Jika ada angin kencang, tenda kita dipastikan akan tetap aman," jelas Odi saat diantara kami ada yang bertanya kenapa mendirikan tenda di sekitar pepohonan itu. bukan di dekat air di bawah sana. Tanpa banyak bicara, kami pun mendirikan tenda. Udara dingin yang kata Odi malam itu mencapai suhu 4 derajat Celcius membuat kami enggan bicara banyak. Pengennya cepat selesai mendirikan tenda dan segera tidur! Kami mendirikan tiga tenda yang cukup besar. Dua tenda dipakai untuk sepuluh orang masing-masing berisi lima orang dan satu tenda lagi diisi oleh saya dan Kang Iwan serta ransel-ransel bawaan kami. Malam itu saking capeknya, saat Tebo memberitahu makanan hasil ia memasak sudah siap terhidang, saya dan Kang Iwan memilih tidak keluar dari tenda. Selain udara sangat dingin, rasanya saya tidak merasakan lapar. Yang ada hanya ingin segera tidur dan berharap keesokan harinya pegal di kaki dan paha sudah hilang. Bersambung ke sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun