Mohon tunggu...
Okti Li
Okti Li Mohon Tunggu... Freelancer - Ibu rumah tangga suka menulis dan membaca.

"Pengejar mimpi yang tak pernah tidur!" Salah satu Kompasianer Backpacker... Keluarga Petualang, Mantan TKW, Indosuara, Citizen Journalist, Tukang icip kuliner, Blogger Reporter, Backpacker,

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Truly Asia Part 2: Seharusnya Diusung Indonesia dengan Keanekaragaman Budaya dan Seni Kulinernya

4 Agustus 2011   01:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:07 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hi, ketemu lagi di bincang sambil puasa hari ini.

Oke! Kembali lagi pada iklan tv yang wara-wiri di layar kaca kemarin, lagi-lagi aku harus merasa kecewa dan menghela nafas. Tak berhak menyalahkan siapa-siapa memang karena tidak tahu pula semua itu salah siapa. Jadi buatku ini hanya sebagai bahan renungan saja.

Membicarakan pariwisata Indonesia (selain Pulau Bali) apakah dikenal di luar negeri atau tidak itu membuatku senyum miris. Seringkali melihat di stasiun televisi baik di Travel Channnel maupun channel lainnya sebuah acara liputan (atau promosi) pariwisiata suatu negara (jelas bukan Indonesia) tampak keren dan menakjubkan. Saya gemas sendiri menyaksikannya!

Bayangkan, negara Vietnam yang kita tahu bagaimana kondisinya (bahkan warganya juga banyak yang merantau mengadu nasib ke Taiwan seperi halnya WNI yang menjadi TKI) diliput segitu eloknya. Kuliner khas negara itu dikupas habis sampai penjual mie rebus berlapak kali lima di pinggir jalan saja diulas segitu dahsyatnya!

Ada juga liputan dari Thailand, jajan pasarnya dicicipi dan dipuji-puji setinggi langit. Padahal itu cemilan gak jauh beda dari makanan "orang biasa" di Indonesia: bakwan!

Tak kalah gaya, dari tetangga Malaysia mengulas dan menceritakan dengan sempurna tentang warganya yang berprofesi sebagai pengrajin gerabah dan ukiran.

Alahmak! Padahal bukankah dari semua yang tergambar itu kita juga memiliki semuanya? Malah jauh lebih berseni dan bagus! Makanannya lebih enak dan bervariasi, kerajinannya lebih unik dan berbahan khas alami. Kurang apa? Tapi mengapa tidak (atau semoga belum) ada yang mau mengemasnya dengan sebaik mungkin? Walau tak seindah buatan Travel Channel, tak sebagus dan sekeren hasil karya TLC, Netgeo Adventure, dll tapi paling tidak cobalah ada publikasinya ke dunia luar. Bukan hanya publikasi berita para koruptor saja.

Sayang banget aku hanya seorang buruh, bukan orang media yang ahli dalam membuat fitur-fitur acara kuliner dan pariwisata keren (walau keinginan dan mimpi ke sana itu aku punya).

Kembali ke masalah pariwisata dan kuliner Indonesia tadi. Kerap kali aku bemimpi dan berangan-angan andai saja kawan-kawan di dunia pertelevisian Indonesia bisa mengemas acara/liputan kuliner dan pariwisata sekeren acaranya Samantha Brown, Ian Wright, Lonely Planet, Natgeo Adventure, dan entah apalagi nama-nama linnya (yang ada itu aja dapat nyontek, heheh). Lalu ulasan kulinernya dari orang-orang yang termasuk pakar dan ahli (pokoknya KOMPETEN banget) sekaliber Anthony Boudain, Jamie Oliver, Vir Sangvy, Andrew Zimmern, dll. Wah, alangkah bahagianya. Selain itu industri pertelevisian negara kita juga bisa menjual modul-modul atau hasil dari liputan itu ke tv kabel mana saja, kan?

Memang ada juga televisi lokal di tanah air yang sudah merintis membuat liputan seperti itu, tentang lokasi wisata, jajanan pasar/kuliner suatu daerah. Tapi rasanya semuanya belum greget dan nendang. Maaf kalau ada pihak yang tersinggung, maklum saja ini hanya impian seorang buruh migran, bukan pakar. Semoga kedepannya lebih baik dan berkualitas, bukan hanya dari seni atau teknik liputannya saja, tapi terlebih sesuai dengan kondisi yang dilipit itu sendiri. Hingga jika suatu saat orang luar tertarik dan mencoba (menunjungi) dapat membuktikannya.

Jika Taiwan punya cen chu nai cha (bubble tea), kita di tanah air juga punya es cendol yang kalau kita variasi dan modifikasi pasti kualitasnya tak akan kalah, iya kan?

Jika Korea menonjolkan kue tanpa mentega sebagai the next big thing world class dessert yang dianggap sehat dan cantik, kita juga punya warisan nenek moyang yang tak kalah indahnya berupa aneka kue berbahan dasar tepung beras yang cantik, enak, dan sehat. Kue apem, bolu kukus, nagasari, lemet, getuk dan masih banyak aneka ragam jajan pasar lainnya. Masa kita mau diam dan mengalah begitu saja?

Bukankah semuanya bisa dibungkus menjadi sesuatu yang berbau world class? Acara sederhananya bisa dimulai dari makanan cemilan dulu yang kemudian bisa di tarik ke sejarah dan pariwisatanya. Wah, apa pemikiranku (yang kusebut mimpi) ini gak terlalu berlebihan nih?

Mari kawan-kawan, siapa yang berbakat dan ahli (tidak juga gak apa, yang penting punya kemauan yang keras, pandai bermimpi dan kreatif dalam mendesain ide-ide sederhana ini) kita sama-sama mengemas hal-hal yang berbau tradisional dan sederhana menjadi suatu hal yang berbeda dan luar biasa. Jangan ragu, untuk mencapai sesuatu yang luar biasa itu bukankah berawal dari yang sederhana terlebih dahulu, bukan?

Hanya saja sedari awal harus kita tanamkan sifat kejujuran, katakanlah (publikasikan) keburukan dan the ugly things-nya, hal tersebut tetap harus kita sebutkan. Tidak mengapa, ini lebih baik daripada dibilang mempublikasikan kebohongan hanya gara-gara kita menyembunyikan kekurangbaikan yang kita punya. Misalnya di suatu lokasi wisata ada pungutan liar yang dilakukan warga, wajah bule suka dimintai bayaran lebih mahal, dan sebagainya. Solusinya, kita sertakan juga bagaimana cara-cara menyiasatinya. Berikan tips-tips seputar permasalahan yang terjadi di tempat yang sedang diberitakan itu.

Jika dalam dunia tulis menulis ada passion-nya sendiri, maka hendaknya begitu pula dalam mempublikasikan wisata dan atau kuliner keanekaragaman warisan budaya tanah air kita itu. Sudah jadi kebiasaan orang-orang kita kan, biasanya ikut-ikutan dan mencopy ide-ide orang lain. Buktinya satu stasiun televisi menayangkan acara anu, stasiun televisi lain tak mau kalah, tak lama kemudian menayangkan acara bertema serupa yang walau dari judulnya berbeda, tetap penonton tak kan bisa dibohongi. Please , janganlah menjiplak dari program acara luar. Hasilnya bisa-bisa membuat penonton tertawa karena banyak yang enggak cocoknya.

Akhir kata, menjelang nanti sore ngabuburit di Taipei, dan tak lain acaranya pasti hunting jajan pasar di sepanjang pasar malam terdekat, saya ucapkan selamat bermimpi (lho, jam berapa ini?) ayo berani menjemput angan dan memulai dari hal yang terkecil terlebih dahulu oleh diri sendiri. Saya walau muka Taiwan, percayalah hati tetap Indonesia. Walau saya benci birokrasi di Indonesia, tapi saya tetep suka bala-bala, cilok dan cireng. Apalagi batagor mah. Weuh, cemilan kesenengan pisan!

Kok ujungnya jadi pamer kuliner kampung sendiri? Tak apalah, Kawan. Semua itu karena aku cinta Indonesia.

Masih adakah part 3 nya? Kita lihat besok saja ya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun