Mohon tunggu...
Okti Li
Okti Li Mohon Tunggu... Freelancer - Ibu rumah tangga suka menulis dan membaca.

"Pengejar mimpi yang tak pernah tidur!" Salah satu Kompasianer Backpacker... Keluarga Petualang, Mantan TKW, Indosuara, Citizen Journalist, Tukang icip kuliner, Blogger Reporter, Backpacker,

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Truly Asia Part 1: Indonesia (Tidak) Bertrade Mark NPK (Negara Pencetak Koruptor)

3 Agustus 2011   11:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:07 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ngabuburit nih? Enaknya ngapain yah? Aku mau berpidato saja, ah! Membawakan makalah berjudul Truly Asia Part 1: Indonesia (Tidak) Bertrade Mark NPK (Negara Pencetak Koruptor)

Nelangsa perasaan ini kala melihat iklan sebuah negara tetangga di tv, memperlihatkan keanekaragaman budaya dan seni yang kesemuanya --kecuali lokasi bangunan-- mirip dengan kebudayaan dan kesenian bangsa kita. Oh, tentu saja. Bukankah sudah jelas negara tetangga dan bangsaku itu satu rumpun?

Iklan itu telah lama aku lihat di tv lokal maupun kelas dunia, makin lama rasanya makin menyesakkan dada. Prihatin, iri, sedih, dan entah perasaan apa lagi yang mewakilinya. Pokoknya meradang sendiri aku dibuatnya. Kenapa negara tetangga terkenal dengan truly asianya sementara negaraku terkenal dengan koruptornya?

Stasiun tv swasta bangsa sendiri yang aku pantau lewat internet malah bangga menayangkan koar-koar tersangka, mempublikasikan aksi saling membuka kedok dan kebusukannya. Mungkinkah karena merasa berhasil dan menang diantara pesaing sesama stasiun tv lainnya, "Stasiunku nih berhasil menayangkan informasi teraktual tentang buronan teratas di tanah air." Mungkin seperti itu kebanggaannya sambil menepuk dada?

Trenyuh aku melihatnya, sebagai buruh migran korban birokrasi instansi negara sendiri aku juga telah belasan tahun berlari ke luar negeri. Alhamdulillah, aku meninggalkan keluarga dan kampung halaman bukan karena kejaran pihak yang aku rugikan, atas nama koruptor misalnya, tapi aku minggat nekat menjadi buruh migran --yang juga tak luput dari segala cercaan dan pungutan liar-- karena terhimpit kebutuhan hidup.

Kalau tidak bekerja, bagaimana aku dan keluarga bisa makan? Sementara di Indonesia pekerjaan apa yang bisa menjanjikan? Atau kalaupun tidak menjanji-janjikan amat tak masalah, asal tidak harus dipancing dulu dengan uang saja. Tapi adakah? Jangankan untuk bekerja menghasilkan upah, untuk sekolah dan belajar saja (yang katanya gratis dan untuk orang miskin berotak lumayan serta berkeinginan kuat sepertiku mendapatkan prioritas khusus) uang pancingannya gede banget! Naudzubillah!

Okelah, bagi mereka orang berada dan punya backing tak masalah, diminta uang suap tinggal laksanakan. Dipungut uang pelicin tinggal mengeluarkan. Apa saja dilakukan asal tembus pada tujuan. Tak peduli sikut sana sikut sini. Tak berperasaan walau menginjak kaum papa dan orang-orang yang lebih berhak lainnya. Dasar wong edan!

Aku bersyukur meski statusku sebagai kaum buruh di negara orang yang tak lebih baik --baik dalam perlakuan maupun tindakan nyata di mata mereka-- dibanding dengan para koruptor itu, tapi merasa aman dan tentram. Perlakuan pemerintah negara tempat aku menyusu tak membedakan mana kaum buruh mana kaum pejabat. Mana penduduk lokal mana warga pendatang. Semua mendapatkan hak dan kewajiban yang sama di mata hukum. Ah, kapan pemerintah bangsaku bisa seprofesional pemerintah bangsa-bangsa Macan Asia?

Sedihnya, orang-orang bersih dan berkomitmen didikan (baca: lulusan sekolah tinggi) Jepang yang sempat memegang pucuk pimpinan malah mengundurkan diri dan memilih menjalankan tugas di tempat lain. Padahal, justru orang-orang seperti itu yang diperlukan untuk meluruskan hal yang selama ini miring.

Okelah, jiwa koruptor mungkin benar telah mengakar pada orang-orang Indonesia. Tapi bukankah Tuhan menciptakan manusia dan segalanya di alam ini secara berpasang-pasangan? Aku yakin meski Indonesia sepertinya sudah ber-trade mark NPK (Negara Pencetak Koruptor) tapi di sisi lain ada sosok adil yang akan menyeimbangkannya. Entah dalam bidang apa. Kuncinya ada pada kita sebagai warga negaranya, maukah merubah ke dalam hal yang lebih baik atau sebalinya?

Aku hanya seorang buruh, kuli, orang hidup di ujung telunjuk majikan, tapi aku yakin dan mempunyai keinginan, walau seorang buruh, jadilah buruh yang menjadi teladan. Buruh yang dipercaya majikan, buruh yang dibanggakan pemerintah negara tempat aku menetap dan menjadi buruh percontohan bagi buruh-buruh yang lainnya, kawan senasib dan seperjuangan.

Kita tak akan selamanya berada pada satu titik mangsa. Niscaya satu waktu nasib akan bergulir dan membawa kita pada kedudukan lainnya. Kedudukan di alam dunia maupun kedudukan di alam lainnya. Ambisi yang salah kaprah akan membawa manusia terseret pada kemajuan jaman yang tanpa arah, lain lagi jika manusianya itu sendiri mampu mengendalikan. Alih-alih mampu membawa pada ambisi kebenaran yang menentramkan.

Ups! Keburu maghrib nih, nanti dech pidatonya berlanjut di part 2 ya...

Selamat berbuka puasa kepada yang menjalankan. Semoga amal ibadah kita diterima-Nya. Amin ya Rabb...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun