Jika aku bisa bertanya dan pasti dijawab sempurna, akan kutanyakan benarkah keadilan itu ada? Banyak tanda tanya yang menjalar namun hanya bisa dijawab dengan bungkam.
Apakah tanda kasih sayang Tuhan kepada umat-Nya itu dengan memberikannya pelajaran yang jauh diluar nalar mereka? Lalu aku harus bagaimana saat ditanya jalan keluarnya?
-----------------------------------------------
"Berapa? Seratus ribu NT?" ulangku takut salah dengar, tak percaya dibarengi kekagetan yang luar biasa. Selimut yang masih menggulung kaki sampai terlempar ke lantai. Pagi-pagi kalau sudah ngomongin duit mata yang merem lengket pun langsung melek. Ngantuk yang teramat betah juga langsung pindah entah kemana.
"Iya. Alhamdulillah, Li." Jawab Banyu dari seberang jelas terdengar gembira. Andai percakapan itu face to face bukan di telepon, aku yakin dapat melihat sorot mata Banyu yang memancar penuh rasa bahagia.
Siapa yang tidak bahagia mendapat uang sebesar NT 100.000 secara cuma-cuma? Uang sekitar Rp. 29,5 juta itu (kurs 295) bukanlah jumlah uang sedikit (dimata kaum buruh tentunya, bukan dimata mereka yang biasa nilep milyaran bahkan triliun masuk kantong pribadi) Uang Rp. 29,5 juta itu sebanding dengan 4 sampai 5 bulan gaji pekerja di Taiwan untuk upah minimum Tenaga Kerja Asing (TKA). Sementara pagi tadi Banyu bercerita padaku, dia dengan cuma-cuma mendapatkan uang sebesar itu dari nenek yang dirawatnya. Ya cuma-cuma dari nenek, tanpa embel-embel lain. Uang yang didapat itu (baik jumlah kecil maupun besar) pasti akan ditafsirkan lain jika yang memberi Sien Seng/先生 (Tuan/majikan laki-laki). Iya kan? Tentu saja tidak semua majikan laki-laki demikian, tapi jika majikan laki-laki yang memberi uang (apalagi dalam jumlah banyak) pertanyaan (atau curiga) apakah itu murni upah kerja atau imbalan dari sebuah ajakan diluarnya pasti ada saja. Entahlah...
Yang pasti kerja di Taiwan itu pada umumnya berat, lho. Dari pagi hingga malam jiwa dan raga dikuras habis-habisan (makanya beruntung yang mendapatkan pekerjaan santai) dan semua itu dihargai sekitar NT 512 (sekitar Rp. 150 ribu) per hari. Maka jika Banyu mendapat uang Rp. 29,5 juta pada sekian detik saja, apa bukan ketiban durian runtuh, namanya?
"Dah gitu aja ya, Li. Aku mau kerja dulu. Maaf dah bangunin kamu, aku cuma senang aja dan pengen cerita itu ke kamu. Aku tutup ya? Bye... Assalamualaikum."
Aku hanya bisa melongo setelah Banyu mengakhiri percakapan dan menjawab salamnya, tadi pagi.
Enak banget Banyu, batinku. Menjelang kepulangannya ke Indonesia, Banyu diberi uang oleh nenek (ibu majikannya) sebesar seratus ribu NT.
Majikan (dan nenek) Banyu memang baik, dan majikan seperti itu sulit dicari. Alhamdulillah, Banyu beruntung mendapatkannya. Majikan yang berperangai seperti majikan Banyu itu aku yakin satu diantara seribu pun belum tentu ada.
Dan malam ini, entah kenapa ada titik air mata yang merembes sebelum akhirnya aku menuliskan hal yang menjadi ganjalan di hati ini. Belum sirna rasa bahagia yang dibagi Banyu tadi subuh dalam hatiku, jam sembilan pagi-nya aku mendapatkan pesan di inbox situs jejaring sosial. Sebut saja namanya Dian, dia mengirimiku pesan minta tolong diberi petunjuk bagaimana jalan keluarnya menghadapi majikan yang sekongkol dengan ejen (broker) menahan uang gajinya.