[caption id="attachment_304449" align="aligncenter" width="300" caption="Suasana nangkring bareng LPDP (Dok. Pribadi)"][/caption]
Ketika dapat email balasan dari pengelola Kompasiana kalau aku terpilih jadi peserta acara nongkrong bateng LPDP, wah, bahagia banget. Ini tandanya salah satu hikmah direstui anak, suami, ibu mertua dan ibuku sendiri yang bakal mengasuh anakku jika aku ke Jakarta. Soalnya, ketika aku infokan ke suami kalau ada acara nangkring bareng Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kementerian Keuangan yang meluncurkan satu lagi program beasiswa untuk seluruh masyarakat Indonesia, yaitu Indonesia Presidential Scholarship (IPS), suamiku langsung memberi ijin untuk mendaftar.
"Cari informasi selengkap-lengkapnya ya, syarat-syaratnya apa saja untuk bisa dapat beasiswa itu. Siapa tahu kita bisa ikut, atau bisa kasih informasi lagi ke anak didik di sini," titah suamiku yang juga mengajar titak tetap di sekolah lanjutan tingkat atas di Kecamatan Pasirkuda.
Aku langsung memperispkan semuanya. Dengan jarak tempuh tempat tinggalku di pelosok Kabupaten Cianjur yang menghabiskan waktu sekitar 6 jam perjalanan dengan kendaraan ke Jakarta (itu jika di jalan Puncak, Cisarua dan Ciawinya lancar) tentu saja aku harus memperispkan semuanya karena selain aku akan meninggalkan ibu mertua yang aku jaga karena menderita sakit strooke, diabetes serta jantung di rumah untuk diambil alih oleh suami, aku juga akan menitipkan Fahmi, bayiku ke rumah ibuku di Sukanagara, tetangga kecamatan yang jaraknya sekitar setengah kilometer menggunakan sepeda motor dari rumah.
Seperti biasa jika akan menghadiri acara di Jakarta, aku berangkat dari rumah pukul 3 dini hari. Beruntung ada elf dari Cikadu yang hendak ke Kota Cianjur yang bisa membawaku ke Terminal Pasir Hayam, Cianjur. Kalau saja elf itu tidak jalan atau aku ketinggalan, mau tidak mau aku harus menunggu kendaraan umum lainnya yang baru ada pukul 5 pagi. Tapi itu artinya aku akan kesiangan sampai di Jakarta (sama saja bohong).
[caption id="attachment_304450" align="alignright" width="300" caption="Nurulloh, Admin Kompasiana "]
Sampai Jebrod, Terminal Pasir Hayam pukul lima, aku langsung ke mushola tempat aku biasa menunaikan sholat subuh. Kira-kira setengah enam, baru melanjutkan perjalanan ke Terminal Kampung Rambutan Jakarta Timur dengan menaiki bus Parung Indah. Beruntung juga bus yang aku tumpangi itu tidak tercegat macet. Alhamdulillah di jalur Puncak, Cisarua dan Ciawi pun perjalanan masih pagi tidak terkena sistem jalur tutup buka. Biasanya kalau hari sabtu minggu selepas jam delapan di jalur Puncak itu ada sistem tutup buka. Bisa-bisa lepas tengah hari baru bisa sampai Kampung Rambutan. Bakalan ke laut aje dech acara LPDPnya...
Pukul delapan lewat sepuluh aku sampai di Terminal Kampung Rambutan. Segera menggunakan busway menuju halte terdekat dengan Kementrian Keuangan yaitu Lapangan Banteng dan atau Juanda, sebagaimana informasi yang aku dapat dari petugas busway dan teman-teman Kompasianer. Ternyata baik dari halte Juanda maupun Lapangan Banteng, menuju Kemenkeu itu masih cukup jauh. Terpaksa aku memilih menggunakan ojek karena waktu sudah jam sembilan lewat.
Sampai di depan Gedung Kemenkeu, saat aku tanya mau ke Gedung AA Maramis tempat acara LPDP diadakan, satpam bilang gedung itu ada di seberang lagi. Aku harus berjalan muter lagi menuju Gedung itu. Untung satpam memberi tahu kalau aku bisa menggunakan jembatan penghubung dari dalam lingkungan Kemenkeu, jadi ga perlu keluar dan keliling lagi. Uniknya, jembatan penghubung itu dilukis dan diberi tulisan. Isinya diantaranya kenapa kita harus hemat air? Katanya lagi, jawabannya ada di ujung jembatan. Benar saja, hehe... saat di akhir tangga ada tulisan kalau kita harus menghemat air karena persediaan air minum di bumi kita ini tinggal sedidkit saja. Benar juga ya.
Langsung menuju loby depan sebagaimana petunjuk dari satpam tadi, lalu bertanya lagi kepada satpam yang jaga kalau aku mau ke lokasi acara LPDP aku ditunjukkan untuk langsung naik ke lantai 2. Pembawa Acara sedang membagikan bingkisan kepada peserta yang berhasil menjawab pertanyaan saat aku tiba. Langsung saja aku mengisi daftar hadir dan menerima beberapa goodie bag termasuk snack.
Meski duduk mepet-mepet karena lokasi acara memang cukup kecil, akhirnya aku bisa bernafas lega hadir dengan selamat tida terlalu kesiangan.
[caption id="attachment_304451" align="alignleft" width="300" caption="Para narasumber pembicara di acara nangkring bareng LPDP"]
Ternyata, setelah mendengarkan paparan dari dua nara sumber pembicara pertama, yaitu Bapak Agung Sudaryono selaku Kepala Divisi Pengembangan Dana Pengelolaan LPDP dan Ibu Ratna Prabandari sebagai Kepada Divisi Evaluasi Penyaluran Pendidikan LPDPÂ aku baru tahu kalau beasiswa ini berlaku untuk melanjutkan pogram S2, S3 dan selanjutnya. Jadi sudah jelas untukku yang tidak kuliah S1 tidak mungkin untuk mengharap dana beasiswa ini. Begitu juga untuk suamiku yang masih berstatus honorer, meski lulusan S1, tapi karena ia mengambil jalur ilmu pendidikan, itu harapannya kecil dan bahkan bisa dibilang tidak ada. Karena jurusan yang ada dan bisa menerima dana bantuan beasiswa LPDP adalah teknik, sains, pertanian, akuntansi, hukum, agama, kedokteran, ekonomi, sosial dan budaya saja.
Tapi meski aku sudah merasa kalah lebih dulu di persyaratan awal ini, keingintahuanku tentang beasiswa LPDP ini justru semakin besar. Tidak untukku atau suami, tapi paling tidak dengan aku mengetahui informasinya, aku bisa menginformasikan lagi kepada teman-teman dan atau mahasiswa lain asal sekitar Cianjur yang sedang kuliah di luar kota. Mungkin mereka ada yang belum tahu dan perlu informasi?
Toh meski berasal dari daerah, aku yakin masih ada lulusan S1 yang mempunyai jiwa kepemimpinan dan berpengalaman aktif dalam bidang organisasi sebagai syarat umum mendapat beasiswa LPDP selain sebagai WNI, lulusan sarjana perguruan tinggi dalam negeri yang terakreditasi BAN-PT (kalau perguruan tinggi luar negeri berkategori baik sesuai Dikti, Kemendikbud), bersedia membuat pernyataan, mendapat rekomendasi dari dosen dan atau tokoh masyarakat, dan memilih program studi sesuai referensi LPDP.
Dengan batasan usia untuk program magister 35 tahun dan program doktor 40 tahun maka aku yakin masih banyak putra-putri daerah yang IPK-nya 3,00 untuk magister dan 3,25 untuk program doktor masih bisa berusaha untuk memenuhi persyaratan supaya bisa mengikuti seleksi beasiswa ini. Misalnya memperdalam bahasa asing supaya bisa mencapai batasan nilai TOEFL ITP 500 untuk beasiswa perguruan tinggi dalam negeri dan 550 untuk perguruan tinggi luar negeri.
[caption id="attachment_304452" align="aligncenter" width="300" caption="Daftar penerima beasiswa dan data LPDP"]
Dengan sistem online dan website http://www.lpdp.depkeu.go.id untuk mengetahui informasi lengkap dalam seleksi berkas-berkas persyaratan aku pikir birokrasi dalam proses seleksi beasiswa ini sangat mudah dan tidak berbelit. Tinggal proses interview, dan menjalani Program Kepemimpinan untuk mempertebal rasa nasionalisme, tanggung jawab terhadap diri dan bangsa serta kedisiplinsn serta kejujuran.
Siapa tidak ingin dua bersaudara sekaligus mendapatkan beasiswa penuh setiap tahunnya sebesar apapun itu . Beasiswa Rp. 360 juta sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad Firmansyah Kasim, sang penerima beasiswa LPDP sekaligus Kompasianer di Perguruan Tinggi Oxford saja selalu dibayarkan tepat waktu. Memang membanggakan rasanya membaca kisahnya yang luar biasa.
Selain beasiswa, LPDP salah satu bentuk tanggung jawab LPDP untuk pengembangan riset di tanah air juga mengelola pendanaan RISPRO (Riset Inovatif Produktif) seperti dijelaskan oleh pembicara ketiga Diki Chandra sebagai Kepala Divisi Rehabilitasi Pendidikan. Dana riset yang disediakan berkisar antara Rp.500 juta - 2 Milyar per tahun. Untuk pendaftaran riset RISPRO dan informasi lengkapnya bisa dilihat di websitehttp://rispro.lpdp.depkeu.go.id dengan batas waktu pendaftaran tanggal 30 Juni 2014.
Sesi pertanyaan sangat hidup apalagi para penanya kebanyakan para mahasiswa/mahasiswi yang tertarik dengan program beasiswa ini tetapi tersandung dengan beberapa permasalahan. Contohnya ada mahasiswa asal Lebak, Banten yang meski berada di Pulau Jawa, tetapi kondisi daerahnya masih bisa dibilang terbelakang. Sayang, program kebijakan beasiswa afirmasi yang ditujukan bagi siswa yang berada di wilayah terluar, terdepan dan tertinggal tetap tidak berlaku.
Kedepannya semoga para alumni beasiswa LPDP ini pulang dan benar-benar membangun bangsa. Sehingga wilayah tertinggal seperti Pandeglang, Lebak, dan daerah lain termasuk Cianjur Selatan tempat aku tinggal yang notabene ada di Pulau Jawa tetapi memang masih jauh tertinggal bisa dibangun dan tidak ada lagi kesenjangan sosial.
Setelah acara tanya jawab yang cukup seru itu dilanjutkan dengan makan siang sekaligus penyerahan kenang-kenangan dari pihak LPDP kepada Kang pepih Nugraha dari Kompasiana dan hadiah bagi pemenang lomba live tweet. Di akhir acara sebelum sesi foto bersama diumumkan doorprize kepada peserta yang beruntung. Acara nangkring bareng bertemakan Menyongsong Generasi Emas Indonnesia ini pun berakhir.
Aku pulang dengan perjalanan panjang dan terjebak lagi kemacetan. Tapi tidak mengapa meski sampai rumah jam dua belas lewat tengah malam tapi dengan hati yang tidak penasaran lagi karena membawa segudang informasi dan wawasan. Semua informasi tentang beasiswa LPDP ini aku simpan dan siap berbagi dengan siapa saja yang memerlukan. (ol)
Galeri Foto:
[caption id="attachment_304455" align="aligncenter" width="300" caption="Kang Pepih Nugraha menerima kenang-kenangan dari LPDP"]
[caption id="attachment_304456" align="aligncenter" width="300" caption="IPS"]
[caption id="attachment_304461" align="aligncenter" width="300" caption="Waktu pendaftaran beasiswa LPDP"]
[caption id="attachment_304458" align="aligncenter" width="300" caption="Hiburan sambil makan siang"]