Tepat tanggal 6 Januari 2015 kemarin, lima tahun sudah usia saya bergabung menjadi Kompasianer di Kompasiana. Hore! Berarti saya bukan lagi Balita Kompasianer ya, melainkan ABG-nya Kompasianer (mungkin kali ya). Hehehe...
Jadi teringat pertama kali dikenalkan kepada Kompasiana oleh teman, yang saat itu saya sedang merantau di Taiwan. Di jejaring sosial, saya bersama Mba Elis, dan Mas Ade Ipang sedang ramai-ramainya memblow-up masalah penggelembungan dana pembuatan paspor. Heboh karena yang kami ungkap permasalahan yang sudah jadi rahasia umum dan dilakukan oleh para pejabat lingkungan KDEI (Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia) di Taipei, Taiwan.
"Jangan tanggung, ayo ramaikan juga tulisan teman kita di Kompasiana..." demikian ucap teman di pesan jejaring sosial.
Apa itu Kompasiana?
Saya klik link yang diberikannya. Wah, benar-benar seakan saya dibawa ke dalam dunia baru. Sebuah tempat untuk menulis yang masih asing untuk saya kala itu. Gregetan dengan artikel tulisan teman, maka saya ingin memberikan komentar. Tetapi, ups! Ternyata untuk bisa memberikan komentar saya harus membuat akun terlebih dahulu.
Tidak sampai lima menit, akun saya di Kompasiana pun www.kompasiana.com/teteh_okti sudah jadi. Dan tidak dikira, saat itulah saya dilahirkan ke dunia baru Kompasiana ini, menjadi seorang Kompasianer.
Bukan hanya saya, teman-teman "satu angkatan" saya bekerja pun banyak yang berbuat serupa, membuat akun hanya demi bisa mengomentari tulisan yang sedang ramai jadi bahasan. Saat itu saya sampai mendapat ancaman dari akun yang tidak jelas. Beberapa pejabat KDEI pun ada yang merasa tersinggung atas tulisan-tulisan saya yang faktanya dibantu oleh Mba Elis dan Mas Ade Ipang.
Sebuah terobosan baru, berjuang mempertahankan hak kaum buruh khususnya di Taiwan melalui tulisan di dunia maya bermodalkan internet. Seakan mimpi tetapi itu nyata adanya.
Sejak itu saya selalu berbagi tulisan antara blog sendiri yang saat itu masih ngekos di Multiply, dan di Kompasiana, selain di catatan akun jejaring sosial tentunya. Senang saja, bisa terus menulis dan berbagi. Apa yang bisa saya ceritakan sesempatnya selalu saya kisahkan, termasuk pelarangan mie instant asal Indonesia yang saat itu dilarang dan ditarik peredaran dari pasar di Taiwan.
Tulisan saya itu, sempat bikin heboh juga dan menjadi titik balik bagi saya untuk terus bisa menulis. Reward netbook yang diberikan Kompasiana kepada saya menjadi pemicu untuk terus menulis, menulis dan menulis. Modal awal seorang penulis sudah ada di tangan, maka dari itu malu rasanya kalau tidak menulis sekian lama.
Kini, netbook yang menjadi modal itu masih saya pakai. Meski sudah turun mesin beberapa kali tetap saya pakai dan ada rasa berat jika harus berpisah darinya. Meski netbook ini sering eror dan banyak kendala (maklum sudah tidak kompetibel lagi) tapi sangat besar jasanya. Berkat menulis dan netbook ini, sudah melahirkan beberapa tulisan lagi yang (lagi-lagi) alhamdulillah melahirkan beberapa reward yang tidak disangka-sangka.