Mohon tunggu...
Tesalonika Hasugian
Tesalonika Hasugian Mohon Tunggu... Penulis - Host Foodie

Menyelami komunikasi pada bidang multidisipliner.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Flexing Culture di Instagram: Terinspirasi atau Bikin Iri?

8 Januari 2025   12:00 Diperbarui: 8 Januari 2025   09:53 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Memamerkan Pencapaian di Media Sosial (Sumber: Unsplash/ Dariusz Sankowski)

Flexing atau memamerkan pencapaian hidup yang dianggap mewah di media sosial sudah menjadi fenomena yang tidak bisa dihindari. 

Coba bayangkan, hampir setiap hari kita melihat postingan tentang liburan mewah, sertifikasi bergengsi, atau pencapaian hidup orang lain. Ini enggak heran bikin banyak orang terjebak dalam social comparison, kebiasaan membandingkan hidup kita dengan apa yang terlihat di layar. Padahal, apa yang kita lihat di media sosial hanyalah potongan kecil dari realita kehidupan mereka.

Di Indonesia, fenomena ini semakin terasa karena adanya budaya yang erat dengan simbol status. Punya rumah, mobil, atau jabatan keren sering dianggap sebagai tolak ukur kesuksesan. Apalagi kalau kita sering ditanya, "Kerja di mana sekarang?" atau "Kapan nikah?" yang kadang bisa bikin mental kita sedikit goyah. Media sosial justru jadi bahan bakar tambahan untuk memperburuk situasi ini.

Menurut laporan dari HotSuite, konten terkait gaya hidup dan pencapaian adalah yang paling sering mendapat engagement tinggi di Indonesia. Ini yang bikin flexing culture makin subur di kalangan anak muda.

Flexing: Ini Sekadar Motivasi atau Jebakan Sosial?

Nah, nggak semua fleksi itu negatif, guys! Kalau kita lihat dari sisi positifnya, fleksing bisa jadi sumber motivasi. Misalnya, ngeliat teman sukses di usia muda bisa bikin kita introspeksi dan lebih semangat buat belajar dan berkembang. Fleksing kadang bisa memberi gambaran bahwa sukses itu mungkin, dan mungkin aja kita bisa mencapainya juga.

Tapi, hati-hati! Kalau nggak dikontrol, fleksing bisa jadi bom waktu buat kesehatan mental kita. Data dari WHO 2024 menunjukkan adanya peningkatan signifikan kasus depresi dan kecemasan di kalangan anak muda Indonesia. Sebagian besar dari mereka terjebak oleh tekanan sosial dan perbandingan diri. Fleksing yang nggak terkontrol bisa memperburuk tekanan itu.

Apakah Ini Sebuah Peluang Baru?

Jadi, gimana cara kita menyikapi fenomena ini? 

Pertama, penting untuk menyadari bahwa apa yang kita lihat di media sosial itu hanya highlight story, bukan gambaran utuh dari kehidupan mereka. Orang nggak mungkin posting perjuangan atau kegagalan mereka. Jadi, jangan bandingkan perjuangan kita dengan pencapaian orang lain yang hanya tampak sekilas.

Kedua, fokus pada progress diri sendiri. Bandingkan diri kita sekarang dengan diri kita yang dulu, bukan dengan orang lain. Setiap orang punya timeline hidup masing-masing. Sukses nggak harus dicapai dengan kecepatan yang sama. Fokuslah pada perjalanan kita sendiri, bukan perbandingan dengan orang lain yang mungkin nggak sebanding.

Gunakan Rasa "Iri" Sebagai Bahan Bakar Positif.

Ketiga, gunakan rasa "iri" itu sebagai bahan bakar motivasi, bukan alasan untuk merasa minder atau tidak cukup. Ingat, setiap orang punya perjalanan hidup yang berbeda-beda, dan kita nggak harus sampai di puncak dengan kecepatan yang sama kayak orang lain. Daripada terjebak dalam mental spiral akibat terus-terusan membandingkan diri, kenapa nggak fokus bikin cerita kita sendiri yang lebih keren?

Yuk, Flexing Dengan Bijak!

Daripada terus merasa tertekan dengan apa yang dilihat di media sosial, mari mulai lebih bijak dalam menyikapi flexing culture. Kita bisa memilih untuk memandangnya sebagai motivasi yang sehat atau justru sebagai jebakan sosial yang merugikan. Fleksing nggak selalu buruk, tapi penting bagi kita untuk menjaga perspektif dan fokus pada perjalanan kita sendiri.

Bagaimana? Dengan bahan yang kamu kasih, artikel ini bisa mengajak pembaca untuk lebih reflektif tentang fleksing culture di media sosial dan dampaknya terhadap mental mereka. Bisa jadi sangat relatable buat anak muda yang mungkin sedang menghadapi tekanan sosial dan standar hidup yang terkadang berlebihan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun