Pernahkah anda bertanya-tanya, kenapa anak lebih sering diam daripada bercerita? Mungkin bukan karena mereka tidak punya ruang untuk bercerita, tetapi karena mereka tidak yakin akan didengar dengan baik."
Anak susah terbuka? Ini memang bukanlah fenomena baru. Namun, peristiwa ini bak virus yang menyebar ke mana saja. Sebagai orang tua, mungkin anda merasa bingung atau bahkan kecewa saat anak nggak mau berbagi cerita tentang apa yang mereka alami.Â
Apalagi saat melihat mereka yang lebih banyak bercerita ke teman-temannya. Padahal dulu pas mereka kecil, anda bisa dengan mudahnya mengobrol santai tentang apa saja, kan?
Namun, di era serba digital dan serba cepat ini, tekanan yang dihadapi anak-anak nggak main-main. Media sosial dengan standar kecantikan dan kesuksesan yang tak realistis, ditambah dengan tuntutan akademik yang makin tinggi dan susahnya mencari pekerjaan tetap. Semuanya itu memang terlihat mudah untuk bercerita. Anak-anak akan menciptakan "ruang kosong" dengan orang tua; tampak seperti menciptakan beban berat yang nggak terlihat di luar.Â
Tapi sayangnya, banyak anak merasa jauh lebih nyaman memendam perasaan mereka daripada mengungkapkan apa yang mereka rasakan.
Kenapa bisa begitu?
Anak-anak sekarang tumbuh di dunia yang sangat berbeda dari yang anda alami. Mereka terpapar informasi dengan kecepatan luar biasa, dari media sosial hingga berita online, yang semuanya datang begitu cepat dan dalam jumlah yang sangat besar. Tidak jarang, mereka merasa tertekan untuk mengikuti tren atau memenuhi ekspektasi sosial yang ada.Â
Ketika mereka merasa tidak bisa mengikuti apa yang sedang "in" atau tidak memenuhi standar yang ditentukan, mereka mulai merasa ada yang salah dengan diri mereka. Rasa takut untuk terlihat "lemah" atau "tidak cukup baik" di mata teman-teman mereka membuat mereka enggan berbicara atau menunjukkan siapa diri mereka yang sebenarnya.
Bahkan, banyaknya informasi yang ada di sekitar mereka membuat anak-anak terkadang bingung mengenali identitas diri. Di saat lingkungan sekitarnya menuntut mereka untuk mengikuti standar atau ekspektasi tertentu, mereka justru akan merasa tertekan untuk menjadi seseorang yang bukan diri mereka.Â
Semua informasi yang mereka terima, baik dari media sosial, teman, ataupun lingkungan, seakan memberi mereka peta jalan hidup yang sangat berbeda dengan apa yang mereka rasakan atau ingin jalani. Inilah yang semakin memperburuk perasaan dan kebingungan mereka dalam mencari jati diri.
Di sisi lain, banyak anak yang merasa kesulitan untuk membuka diri, apalagi jika mereka merasa takut dengan reaksi orang tua. Terkadang, kalimat seperti, "Kan sudah Mama bilang!" atau "Makanya, dengar nasihat orang tua!" justru membuat mereka semakin tertutup.Â
Bukan hanya merasa dihukum atau dihakimi, tetapi juga merasa bahwa apa yang mereka alami tidak dianggap serius. Mereka berpikir, "Buat apa cerita lagi?" setelah merasa disepelekan sebelumnya. Ditambah lagi, kesibukan orang tua yang sering kali membuat waktu berkualitas dengan anak terabaikan. Hal ini membuat anak merasa tidak ada cukup koneksi emosional untuk berbagi perasaan mereka.
Apa yang Harus Diubah?
Jika rindu ingin melihat anak terbuka, anda perlu mengubah tata cara berkomunikasi. Salah satu hal yang paling penting adalah mendengarkan mereka dengan empati. Tahan diri untuk tidak langsung memberi solusi atau menyalahkan, karena seringkali yang mereka butuhkan hanyalah didengarkan. Ciptakan juga ruang aman bagi mereka, di mana mereka tahu bahwa apapun yang mereka ceritakan tidak akan membuat mereka dihukum atau dihakimi.Â
Hal kecil seperti respons "Mama/Papa bangga kamu mau cerita" bisa membuat mereka merasa dihargai. Selain itu, berbagi pengalaman pribadi dengan anak juga penting, tapi jangan terkesan menjatuhkan atau membanggakan diri. Ceritakan saja kesalahan atau perjuangan yang pernah Anda hadapi saat muda, agar mereka tahu bahwa orang tua juga pernah melalui hal yang sama.
Seringkali, orang tua merasa bahwa zaman mereka dulu jauh lebih mudah---mereka bisa mendapatkan pekerjaan dengan cepat, tidak ada media sosial yang menambah beban sosial, dan segala sesuatunya tampak lebih sederhana. Namun, kenyataannya, tantangan yang dihadapi anak-anak sekarang sangat berbeda dan lebih kompleks. Tekanan dari media sosial, persaingan akademik, dan harapan sosial yang tinggi membuat mereka merasa terisolasi.Â
Oleh karena itu, penting bagi Anda untuk memahami bahwa meskipun masa lalu kita berbeda, tantangan mereka juga nyata dan membutuhkan pendekatan yang lebih sensitif dan pengertian.
Mari Memulai Perubahan
Mengubah pola komunikasi dengan anak memang bukan hal yang mudah, tetapi itu adalah langkah pertama yang sangat penting untuk membangun hubungan yang lebih terbuka dan sehat.Â
Sebagai orang tua, anda perlu berusaha menciptakan ruang yang aman dan bebas dari penilaian, di mana anak merasa nyaman untuk berbagi perasaan dan masalah yang mereka hadapi.
Perubahan kecil dalam cara anda "mendengarkan dan memahami" bisa membawa perubahan besar bagi hidup anak. Jadi, mulailah dengan satu langkah sederhana: dengarkan tanpa menghakimi.
Ingat, yang anak-anak butuhkan seringkali bukanlah jawaban yang cepat, tetapi perhatian dan pemahaman. Mereka ingin merasa bahwa perasaan mereka dihargai dan bahwa mereka tidak akan dihukum atau dikritik hanya karena berbicara.Â
Cobalah untuk menanggapi dengan kata-kata yang memberi dukungan, seperti "Saya mendengarmu," atau "Aku paham kalau itu sulit." Saat anak merasa didengar, mereka akan lebih terbuka untuk berbagi lebih banyak lagi. Ini bukan hanya soal mendengarkan apa yang mereka katakan, tetapi juga soal menunjukkan bahwa kita peduli dengan perasaan mereka tanpa menghakimi.
Mengubah pola komunikasi ini memang membutuhkan waktu dan kesabaran, tetapi efek positif yang dihasilkan akan sangat berharga. Dengan membuka ruang untuk percakapan yang jujur dan penuh pengertian, kita dapat membantu anak-anak merasa lebih dihargai dan diberdayakan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI