Mohon tunggu...
Tesalonika Hasugian
Tesalonika Hasugian Mohon Tunggu... Penulis - Host Foodie

Menyelami komunikasi pada bidang multidisipliner.

Selanjutnya

Tutup

Home Pilihan

Rebahan for Life: Cara Kita Bertahan di Tengah Tekanan Kerja

26 November 2024   12:00 Diperbarui: 26 November 2024   12:09 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rebahan (Sumber: Unsplash/Chris Lynch)

Di era modern sekarang, rebahan tidak lagi dianggap sekadar aktivitas santai. Rebahan telah berevolusi menjadi suatu kebiasaan lama: sebuah gaya hidup yang kudu diterima bahkan dirayakan oleh banyak orang. Generasi kita yang kerap dilabeli sebagai generasi penuh ambisi dan tekanan; kini menjadikan rebahan sebagai bentuk perlawanan, sekaligus pelarian dari dunia yang serba cepat. Di tengah kesibukan yang tiada henti, rebahan menjadi fase yang memberikan kesempatan untuk berhenti sejenak dan menenangkan pikiran.

Namun, apakah fenomena ini benar-benar mencerminkan kebutuhan untuk istirahat yang lebih layak atau justru merupakan manifestasi dari kemalasan yang terorganisir dengan kedok self-care? Di satu sisi, kita semakin menyadari pentingnya waktu untuk diri sendiri dan kesehatan mental. Sementara di sisi lain, banyak yang merasa bahwa kita mulai terjebak dalam budaya rebahan yang berlebihan, dengan alasan untuk menghindari tanggung jawab atau sekadar melarikan diri dari kenyataan.

Rebahan memang bisa menjadi alat untuk bertahan di tengah dunia yang penuh tekanan. Tapi, apakah ini strategi bertahan hidup yang sehat, atau justru cara kita menunda-nunda? Yuk, kita telusuri fenomena ini lebih dalam.

Rebahan: Antara Tren dan Kebutuhan

Di era digital, segala sesuatu bergerak dalam kecepatan penuh. Mulai dari pekerjaan, pendidikan, hingga media sosial, semuanya menuntut perhatian dan produktivitas tanpa henti.  Apa sebenarnya yang membuat rebahan culture ini begitu digemari?

  1. Tekanan Hustle CultureHustle culture atau budaya kerja keras terus-menerus sering mendorong anak muda merasa terjebak dalam siklus produktivitas tanpa akhir. Rebahan adalah cara mereka berkata, “Aku butuh istirahat, dan itu bukan dosa.”

  2. Mudahnya Akses Teknologi: Teknologi memungkinkan kita untuk melakukan segalanya tanpa harus bergerak terlalu jauh—atau bahkan sama sekali. Hiburan, makanan, hingga pekerjaan kini tersedia hanya dalam genggaman. Akibatnya, rebahan terasa semakin nyaman dan praktis.

  3. Normalisasi Self-Care: Tren self-care mendorong anak muda untuk lebih santai pada diri sendiri. Rebahan kemudian menjadi bentuk perwujudan self-care yang tidak berbayar.

Selain itu meskipun secara tidak langsung, rebahan bisa jadi ada hubungannya dengan perundungan di tempat kerja. Salah satu alasan mengapa seseorang merasa perlu lebih banyak waktu untuk rebahan bisa jadi adalah untuk mengatasi stres atau tekanan yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja yang toxic atau bahkan perundungan (bullying) di tempat kerja.

Perundungan di tempat kerja bisa mempengaruhi kesehatan mental seseorang, yang akhirnya membuat individu tersebut merasa tertekan, cemas, dan lelah secara emosional. Dalam kondisi seperti itu, rebahan bisa menjadi cara untuk melarikan diri dari stres tersebut, meskipun bukan solusi jangka panjang. Ini bisa menjadi semacam mekanisme yang tidak produktif jika dilakukan berlebihan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Home Selengkapnya
Lihat Home Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun