Apakah job fair tiap minggu benar-benar solusi jitu untuk mengurangi angka pengangguran atau justru sekadar menjadi pemanis agenda pemerintah? Pertanyaan ini mungkin langsung terlintas di benak banyak orang setelah Menteri Ketenagakerjaan Yassierli mengumumkan rencana gebrakannya.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pengangguran terbuka di Indonesia pada Agustus 2024 mencapai 7,47 juta orang, atau 4,91 persen dari total angkatan kerja.
Dari Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), jumlah angkatan kerja naik 4,40 juta orang menjadi 152,11 juta dibandingkan Agustus 2023.Â
Artinya, semakin banyak orang berlomba mencari pekerjaan dan sayangnya, banyak juga yang akhirnya hanya berlomba dengan takdir.
Salah satu penyebab utama tingginya angka pengangguran adalah kesenjangan keterampilan (skills gap). Situasi ini terjadi ketika keterampilan yang dimiliki tenaga kerja tidak sesuai atau tidak cukup untuk memenuhi tuntutan pekerjaan di pasar.
Perubahan teknologi, perkembangan industri, dan pergeseran pola ekonomi yang jauh lebih cepat daripada kemampuan tenaga kerja untuk beradaptasi telah menciptakan jurang keterampilan yang lebar.
Di Indonesia, masalah ini diperburuk oleh sistem pendidikan formal dan vokasi yang belum mampu sepenuhnya menyesuaikan kurikulum dengan kebutuhan pasar kerja.
Di berbagai daerah, termasuk di Jawa dan Sumatera, banyak lulusan yang tidak siap bekerja karena keterampilan mereka tidak relevan dengan kebutuhan industri.
Selain itu, perubahan struktur ekonomi dari sektor padat karya seperti manufaktur dan pertanian ke sektor berbasis teknologi atau jasa telah membuat banyak tenaga kerja di sektor konvensional kesulitan menyesuaikan diri.Â
Ironisnya, sektor teknologi dan layanan yang sedang berkembang pesat belum mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.
Ditambah lagi, sektor padat karya justru mengalami penurunan permintaan akibat restrukturisasi, dan sektor ekonomi kreatif masih menghadapi kendala investasi, infrastruktur, dan teknologi di berbagai daerah.