Setelah 24 tahun Indonesia menjalani reformasi, seharusnya perbincangan mengenai partisipasi perempuan dan kesetaraan gender dalam politik tidak hanya terfokus pada kuantitas, tetapi lebih mengarah pada substansi. Namun, kenyataannya, representasi perempuan dalam politik masih jauh dari yang diharapkan.
Tantangan besar yang dihadapi sekarang adalah adanya serangan berbasis gender di media sosial. Bentuk serangan kepada perempuan bisa berupa pelecehan, intimidasi, penyebaran informasi palsu, hingga ancaman yang merendahkan atau mengancam reputasi perempuan di mata publik.Â
Kekerasan Berbasis Gender (KBG) tidak hanya berdampak pada psikologis kandidat perempuan, tetapi juga menjadi penghalang bagi partisipasi mereka dalam politik. Akibatnya, keterlibatan perempuan dalam Pilkada terancam terganggu, mengurangi peluang mereka untuk berkontribusi secara penuh di arena politik yang seharusnya inklusif.
KBG sebagai Hambatan bagi Partisipasi Politik PerempuanÂ
Selama tahun 2023, Komnas Perempuan menerima total 4.374 pengaduan, di mana sebagian besar, yaitu 3.303 pengaduan, merupakan kasus kekerasan berbasis gender. Dalam menangani kasus-kasus tersebut, Komnas Perempuan memberikan dukungan berupa berbagai jenis surat resmi, termasuk Surat Rujukan penanganan korban sebanyak 906 kasus, Rujukan Ulang 34 Kasus, Surat Penyikapan 204 surat, Surat Klarifikasi 51 surat, Surat Rekomendasi 92 surat, dan Surat Pemantauan 61 surat.
Meskipun upaya yang dilakukan Komnas Perempuan sudah cukup banyak, data tersebut juga menunjukkan bahwa KBG masih menjadi masalah besar yang harus segera ditangani. Situasi ini juga diperburuk oleh lemahnya perlindungan hukum di Indonesia. Meskipun kasus-kasus KSBG semakin sering terjadi, peraturan perundang-undangan yang mengatur pelindungan terhadap korban masih kurang memadai, sehingga memberikan ruang bagi pelaku untuk melakukan serangan dengan risiko rendah.Â
Selain itu, budaya patriarki dalam masyarakat Indonesia semakin memperburuk kerentanan perempuan. Sistem sosial yang cenderung memandang rendah perempuan dalam ranah publik mendukung pandangan bahwa mereka tidak layak berada di panggung politik, sehingga menjadikan mereka target serangan berbasis gender yang merusak.
Ketika fakta pada periode 2015-2018 menyatakan ada 8,49% perempuan yang memimpin daerah, hal ini mencerminkan kesenjangan yang signifikan dalam representasi gender di dunia politik Indonesia. Naas, 92 perempuan dari 1.084 kepala dan wakil kepala daerah yang terpilih. Mereka dinilai dari cara mereka berdandan sampai statusnya sebagai janda.Â
Kasus yang dialami oleh YSR yang tercatat dalam Konde.co, menggambarkan bagaimana KSBG juga terjadi dalam ranah politik. Sebagai wakil bupati Sleman pada 2010-2015, YSR menjadi sasaran perhatian karena warna rambutnya yang kecoklatan, yang dianggap tidak sesuai dengan norma sosial tertentu. Akibatnya, ia merasa terpaksa mengenakan kerudung saat menghadiri pertemuan-pertemuan resmi, sebuah bentuk diskriminasi yang tidak hanya mengurangi kebebasan berekspresi, tetapi juga mencerminkan ketidaksetaraan gender yang masih mengakar dalam politik.Â