(9 November 2016)Â
Berhubung hujan tak kunjung reda, kami memutuskan untuk pesan taksi dan cari makanan khas Wonosobo – mie ongklok. Rencananya, kami ingin jalan-jalan di sekitar kota Wonosobo, namun karena kondisi tersebut, kita hanya keluar untuk makan malam saja.Awalnya kami berniat makan malam di Mie Ongklok Longkrang, namun sayang restoran itu sudah tutup sejak sore hari.Akhirnya kita memutuskan untuk berhenti di Mie Ongklok Pak Muhadi, yang ternyata sudah last order, padahal baru jam setengah 8.Menandakan kehidupan di Wonosobo berhenti lebih cepat.Dan hujan masih sedikit meramaikan ketenangan malam hari di Wonosobo.
Arab dan ncek pesen mie ongklok pedes banget, karena kita keren.Sedangkan temon dan jurek yang culun banget mesennya sedeng.Apa-apaan tuh?
Mie itu secara garis besar adalah mie kuning yang dicampur dengan kol, sayur pecay, bumbu kacang, kaldu sapi, dan gerusan cabe rawiiiiit. Tak lupa diiringi sate sapi yang cukup empuk dan diselimuti bumbu kacang. Harga mie ongklok plus sate dua porsi plus dua es teh manis harganya Rp 75.000 untuk kami berempat.
Lokasinya di pertemuan Jalan Kyai Muntang dan Jalan Kedu, tepatnya di sebelah kiri jalan kalau dari alun-alun.Ternyata yang mengurus tempat makan itu adalah anak Pak Muhadi sendiri, yang coba kita ajak ngobrol tapi sepertinya keadaan dia lagi kurang baik.
Setelah itu kita putuskan pesen taksi untuk pulang ke homestay.Driver kita kali ini namanya pak Rohman.Ia bercerita, bangunan peninggalan kolonial di Wonosobo sudah dihancurkan untuk dijadikan perumahan. Suatu hal yang disayangkan karena bangunan sejarah punya nilai sendiri yang merupakan identitas dari kondisi perkembangan jaman.Pak Rohman juga bilang, satu-satunya pusat perbelanjaan paling besar di sini adalah Rita Pasaraya.
Eh ternyata, pak Rohman salah antar kita.Dia dengernya kita minta diantar ke Homestay OWK, padahal kita nginep di Homestay Ortegha (pengucapannya agak mirip).Jadi harus muter balik dulu ambil arah alun-alun dan tancap gas lurus ke Jalan Raya Dieng, untuk kemudian masuk sedikit ke Jalan Pramuka tempat homestay kita berada.Menurut pak Rohman, taksi di sini baru ada sejak 3 tahun lalu dan beroperasi 24 jam. Jadi, buat yang ingin ke Wonosobo dan pusing mikirin transportasi dalam kota, taksi ini selalu sigap di nomor 082262575771. Sesampai di homestay argo menunjukkan Rp 60.000. dan, hujan sudah perlahan reda, serta menyisakan dingin malam di Wonosobo.
Jurek tampak tak bahagia karena besok kita harus check-out pagi. Tapi yasudahlah…
Setelah itu, kita bertiga arrange untuk trip besok – yang mana Jurek belom tau sama sekali. Rencananya kita berangkat ke Cilacap menginap di Airbnb milik pak Ajie. Dan sekaligus memikirkan bagaimana cara menuju Cilacap dari Wonosobo. Menurut pak Rohman, pilihan terbaik adalah naik shuttle Sumber Alam. Tapi yaa, kita lihat besok lah.
Episode 4 berakhir ketika kita bertiga (arab, temon, ncek) setuju untuk rencana trip besok.(teruslanjut)
BRIDGING (MESEN HOTEL DAN MOTOR)
5. (10 November 2016) Hari dimulai subuh, dan Jurek melakukan olahraga ringan agar jiwa tetap segar. Sembari menunggu sarapan dari pak Darsono and crew. Kita juga akan kembali membeli NASI MEGONO BU GITO, untuk bekal perjalanan hari ini.Setelah sedikit berolahraga, sarapan telah tersaji di meja. Pak Darsono menyediakan menu nasi, mie goreng, tahu dan tempe bacem, juga telor ceplok, dan tidak lupa cabe rawit. Ini hal unik yang kita temukan di Wonosobo.Setiap kali makan, kita tidak disuguhkan sambal olahan, melainkan cabe rawit.
Terjadi sebuah kejadian unik ketika Ncek dan Temon hendak membeli nasi megono Bu Gito.Beberapa petugas kepolisian dengan lencana Polres Wonosobo datang ke homestay.Satu berjaga di luar rumah, dan tiga lainnya di ruang tamu.Di antara tiga polisi di ruang tamu itu, ada satu petugas yang tidak menggunakan seragam polisi, tetapi pakaian formal biasa – kemeja biru dan celana bahan. Pak Darsono meminta kami untuk menunjukkan identitas diri di depan mereka. Setelah kondisi cair, kami mengobrol sedikit dengan para aparat kepolisian tersebut. Bahkan, mereka ikut membantu memberi masukan bagaimana cara kita bergerak menuju Cilacap. Saat itu juga ada dua petugas Indihome yang sedang memperbaiki jaringan wifi dan memasang jaringan TV di Homestay Ortegha.Menurut pak Darsono, supaya pelanggan yang menginap di tempatnya – yang kebanyakan orang luar negeri – bisa menikmati suguhan TV kabel.
Lanjut… kita kembali diskusi bagaimana caranya menuju Cilacap. Pilihan pertama adalah naik shuttle bus Sumber Alam seharga Rp. 60.000 tapi berangkatnya pukul15.30 – tentunya pilihan pertama kita coret. Kedua adalah naik Qyta Trans yang berangkat dari Semarang menuju Cilacap via Wonosobo, tapi diperkirakan sampai Wonosobo pukul 16.30 dan harganya Rp 130.000 – sontak kami robek pilihan kedua tersebut. Berikutnya adalah naik bus Budiman yang harganya belum diketahui, tetapi berangkatnya hanya dua kali sehari yaitu jam 7 pagi – kepagian -- dan pukul 6 sore – jelas kesorean.
Setelah banyak menimbang, akhirnya kami putuskan untuk naik Shuttle Sumber Alam tujuan Purwokerto yang berangkat tiap jam dari Plaza Wonosobo seharga Rp. 50.000. Â Kami kembali memesan taksi DNA dan kali ini drivernya adalah pak Sapto yang pernah menjadi driver di World Bank cabang Jakarta dan juga enam tahun menjadi driver travel Baraya Jakarta-Bandung. Jangan-jangan diantara banyaknya perjalanan kami ke Bandung menggunakan Baraya, pernah disupiri dengan selamat sampai tujuan oleh pak Sapto. Thanks Pak! Sampailah kami di agen Sumber Alam yang terletak di Plaza Wonosobo, dengan angka di argo menunjukkan Rp 40.000.
Luar biasanya, saat kami tiba di agen shuttle Sumber Alam, pertugas mereka sangat ramah dan kooperatif. Mereka menyarankan kita untuk turun di daerah Sukaraja, untuk selanjutnya naik bis tujuan Cilacap. Akhirnya berangkatlah kami pukul 10.30 menuju Purwokerto.Sebelum berangkat, kami menyempatkan diri untuk berbincang dengan pak Sugro selaku crew Sumber Alam yang memberi wawasan mengenai kekhasan cabe rawit di Wonosobo.
Perjalanan dipenuhi guncangan, karena memang supirnya membawa kendaraan cukup kebut, juga ditambah posisi duduk kami tepat di atas ban paling belakang.Meski demikian, kondisi kurang tidur – karena proses offline semalam – tetap membuat kami terlelap beberapa saat diperjalanan.
Sejam kemudian sampailah kami di persimpangan Sukaraja, yang langsung disambut kondektur bus seukuran metro mini untuk diantar menuju Cilacap. Nominal 80.000 untuk berempat keluar dari kantong kami untuk sampai ke Cilacap dengan bis itu, yang akhirnya kami ketahui bernama Puteri Muria. Bus tersebut rupanya cukup popular di kalangan pelajar kota-kota yang kami singgahi seperti Banyumas dan Kroya. Setiap beberapa saat pelajar yang pulang sekolah turut menumpang bis ini untuk kembali ke rumahnya. Sepanjang mata memandang, banyak disuguhi lansekap persawahan, bukit, serta sungai-sungai besar yang mengaliri kota-kota itu, termasuk sungai besar terkenal – sungai Serayu.
Di tengah jalan seorang pengamen naik dan melantunkan sebuah lagu, yakni lagu dengan judul Selamat Pagi Terang yang dinyanyikan band indie populer asal Bandung – Closehead.Ia bernama Andra, dan sering mengamen di waktu luang. Bahkan Andra mengaku, dulu sering mengamen hingga ke Jogja pulang-pergi dari kotaasalnya: Purbalingga. Kami sempat bersama menyanyikan lagu Closehead berjudul Berdiri Teman dengan diiringi gitar kesayangan mas Andra. Perjumpaan kita berakhir di suatu persimpangan, saat dirinya pamit untuk menuju daerah lain.
Tak lupa juga kami makan siang (nasi megono Bu Gito) yang telah dibeli pagi tadi di dekat Homestay. Setelah sekian jam, nasi itu tidak berubah rasa dan masih sanggup memuaskan lidah serta perut kami – naluri hewani yang kita punya. Padahal, makan di bis tersebut mempunyai kesulitan yang cukup sulit. Selain goncangan, tubuh juga sering bergerak kasar karena tikungan tajam serta rem dadakan.Setidaknya, kami merasa cukup higienis saat cuci tangan karena selalu membawa alcohol cuci tangan khas rumah sakit.
Dua jam berlalu dari persimpangan Sukaraja, sampailah kami akhirnya di tujuan akhir bus Puteri Muria – yang tak ber-AC dan sepertinya belum diservis. Dari situ seorang supir angkutan umum langsung menawarkan jasanya untuk mengantar kami ke Hotel Teluk Penyu – tempat kami akan berhubungan intim dengan Kasur malam mini. Sang supir meminta biaya Rp 20.000 untuk kami berempat dan langsung diantar ke depan Hotel Teluk Penyu yang berada di Jalan DR. Wahidin, Cilacap. Satu hal unik mengenai nama jalan ini; DR. Wahidin Sudirohusodo (yang disebut Dokter Jawa Pensiunan di novel Bumi Manusia) adalah seorang priyayi Jawa yang menggugah beberapa mahasiswa School tot Opleiding van Indlansche Artsen (STOVIA) untuk membuat suatu organisasi pergerakan kemerdekaan – yang kemudian melahirkan organisasi awal pergerakan kemerdekaan -- Budi Oetomo.
Ohya, awalnya kami berencana menginap di Airbnb milik Pak Ajie.Namun sayangnya, Pak Ajie menghubungi kami, dan bilang bahwa penginapannya sedikit rusak sehabis diterpa hujan dan angin semalaman.Ia mengaku, atapnya sedang bocor. Jadi kita putuskan untuk menyewa kamar di Hotel Teluk Penyu.
Episode berakhir saat kami tiba di depan hotel.
Channel youtube teruslanjut:
https://www.youtube.com/channel/UCUrU-e-HXtKPyhbexU-rAGA?disable_polymer=true
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H