Ide desentralisasi pembangunan dan pemberdayaan masyarakat hingga di tingkat Rukun Warga (RW) merupakan ide menarik dan menjadi langkah penting untuk memperkuat otonomi dan keterlibatan masyarakat dalam pembangunan wilayah di Jakarta.Â
Dengan memberikan tokoh dan masyarakat ditingkat RW wewenang untuk mengelola anggaran pembangunan sesuai dengan kebutuhan nyata di lingkungannya, masyarakat akan merasa lebih memiliki serta bertanggung jawab dalam menyukseskan program-program yang dijalankan.Â
Pendekatan ini diyakini dapat meningkatkan efektivitas dan relevansi program dengan kebutuhan lokal yang spesifik yang bisa jadi berbeda disetiap wilayah.
Selama ini, proses Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) menjadi jalur formal bagi masyarakat untuk mengusulkan pembangunan. Namun, banyak yang merasa bahwa usulan-usulan dalam Musrenbang sering kurang tepat sasaran, kurang transparan, serta kurang efisien. Salah satu masalah utama adalah keterbatasan dalam jenis usulan yang diakomodasi oleh template yang sangat baku dan kaku.Â
Masyarakat sering kali terpaku pada usulan-usulan yang umum seperti pemasangan lampu penerangan jalan umum (PJU), cermin lalu lintas, dan speed bump, dan template usulan lain yang sering tidak sesuai dengan kebutuhan real di lingkungan. Padahal, kebutuhan nyata di lapangan bisa jauh lebih kompleks dan beragam daripada itu.
Sebagai contoh, di banyak wilayah masyarakat mungkin lebih membutuhkan perbaikan gorong gorong, perbaikan kantor RW, perbaikan fasilitas pendidikan , ruang publik yang ramah anak dan remaja, fasilitas untuk pengembangan keterampilan seperti bengkel kreatif atau pusat belajar digital, atau program sosial yang lebih mendalam seperti pelatihan kewirausahaan berbasis komunitas.Â
Sayangnya, kebutuhan-kebutuhan seperti ini sering kali tidak ada di dalam template Musrenbang yang tersedia, sehingga potensi kreatif dan kebutuhan lokal yang lebih spesifik sering kali tidak terakomodasi.
Desentralisasi di tingkat RW akan membuka ruang yang lebih luas bagi masyarakat untuk mengajukan usulan yang benar-benar relevan dengan kebutuhan mereka, tanpa harus dibatasi oleh template yang kaku. Dengan adanya kebebasan ini, masyarakat dapat lebih leluasa mengembangkan ide-ide inovatif yang sesuai dengan kondisi dan karakteristik wilayah mereka.Â
Misalnya, RW bisa memprioritaskan program untuk pengembangan wirausaha lokal, pengembangan kemampuan digital, pengelolaan bank sampah untuk mendukung lingkungan yang lebih hijau, atau program kesehatan berbasis komunitas yang lebih spesifik seperti pos kesehatan ibu dan anak (Posyandu) yang lebih modern dan fungsional.
Selain itu, dengan desentralisasi, proses pembangunan dan pemberdayaan akan lebih transparan dan cepat karena RW dapat langsung berinteraksi dengan masyarakat setempat, sehingga dapat segera mengambil keputusan tanpa perlu melalui birokrasi yang panjang.Â
Tokoh masyarakat, tokoh agama, dan tokoh lingkungan setempat akan berperan sebagai penggerak utama dalam memastikan program-program yang dijalankan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi warga.
Dengan memberikan otonomi yang lebih besar kepada mayarakat di tingkat RW, masyarakat tidak hanya menjadi penerima manfaat, tetapi juga aktor utama dalam mengembangkan ide-ide kreatif yang dapat membawa perubahan positif bagi lingkungan mereka. Hal ini akan menciptakan pembangunan yang lebih tepat sasaran, efisien, dan berkelanjutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H