Mohon tunggu...
Dadal Angkoro
Dadal Angkoro Mohon Tunggu... lainnya -

Likes to express myself through words, action and emotion

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Perjalanan Panjang TKI Ilegal - Antara Kupang (NTT) dan Nunukan

14 Januari 2015   23:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:08 540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_390779" align="aligncenter" width="600" caption="Kompas.com"][/caption]

Nunukan adalah salah satu kabupaten di Kalimantan Utara yang memiliki ibukota dengan nama yang sama pula yakni Nunukan. Daerah ini merupakan produk pemekaran dari kabupaten Bulungan sehubungan dengan penerapan otonomi daerah oleh pemerintah pusat melalui UU nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Kabupaten Nunukan memang memiliki wilayah yang cukup luas, sekitar 14,5 ribu km² dengan 2 wilayah mata angin yang bersinggungan dengan Malaysia. Sebelah utara berbatasan langsung dengan Sabah dan sebelah barat dengan Serawak, yang seluruhnya memiliki panjang garis perbatasan sekitar 500 km.

Dengan jumlah penduduk yang hanya sekitar 146 ribu jiwa, Nunukan memiliki potensi ekonomi yang cukup prospektif untuk menjadi daerah penyangga di perbatasan. Di seantero nusantara masih banyak masyarakat yang masih buta tentang perekonomian maupun letak Nunukan secara tepat di Kalimantan. Namun seringkali masyarakat mendapat informasi melalui media cetak dan visual terkait dengan Nunukan, khususnya tentang deportasi TKI bermasalah.

Adalah suatu ironi bila sejak 2003 hingga kini Nunukan dihias dengan berbagai berita deportasi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ilegal dari Malaysia. Dan akhir-akhir ini, Nunukan ditenggarai menjadi wilayah masuk strategis bagi pelaku kejahatan internasional seperti peredaran narkoba dan perdagangan manusia (human trafficking). Faktanya, Nunukan bukan satu-satunya pintu keluar-masuk antar Indonesia dengan Malaysia. Di Kalimantan saja masih ada lima pintu penghubung, yaitu, Entikong, Sambas, Bengkayang, Sintang dan Kapuas Hulu. Dan itu belum memperhitungkan Batam dan Tanjung Pinang yang masing-masing juga menjadi pintu gerbang ke Malaysia.

Ada apa dengan Nunukan?
Dengan wilayah yang berhimpitan dengan negara tetangga adalah suatu hal yang wajar bagi penduduk Nunukan untuk keluar-masuk ke Tawau dengan hanya menggunakan Pas Lintas Batas (PLB). Setiap hari terdapat 5-10 kapal dengan kapasitas sekitar 10 orang, di pelabuhan Tunon Taka Nunukan yang melayani jalur Nunukan-Tawau. Pada saat yang sama, pelabuhan Nunukan menjadi pintu para buruh migran legal maupun ilegal dari berbagai daerah di Indonesia yang hendak mengadu nasib. Kondisi ini dapat digambarkan dengan pemulangan TKI bermasalah hampir setiap bulan.

Pengamatan melalui media cetak dan online mendapatkan angka yang cukup mencengangkan tentang jumlah buruh migran bermasalah yang dideportasi dari Tawau Malaysia, yakni sekitar 250 orang per-bulan. Hal ini juga dikonfirmasi oelh catatan Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI (BP3TKI) Nunukan yang mencatat angka deportasi sebanyak 2.773 orang antara Januari-September 2014. Senada dengan BP3TKI, Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Gatot Abdullah Mansyur juga mengemukakan bahwa setiap tahun Malaysia mendeportasi sekitar 20 ribu TKI bermasalah. Batam adalah pintu debarkasi terbesar dari buruh migran yang terjaring masalah di Malaysia, sementara debarkasi Nunukan mencatat antara 3-4 ribu orang.

Yang menarik adalah pernyataan Kepala BP3TKI Nunukan yang memperkirakan bahwa 60% dari buruh migran yang dideportasi melalui Nunukan adalah TKI ilegal. Dan berdasarkan hasil wawancara dengan berbagai instansi terkait Survei Remitansi TKI yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) juga mendapatkan hasil pengamatan yang senada. Terdapat suatu dugaan kuat, TKI ilegal yang keluar dari pelabuhan Tunon Taka hampir mencapai 100 orang per-hari. Estimasi tersebut didapatkan dari informasi serta pengamatan saat pelaksanaan survei. Perhitungan kasar pencari kerja ilegal didapatkan dari jumlah TKI yang terindikasi ilegal pada setiap keberangkatan kapal Nunukan-Tawau.

Mencari angka TKI ilegal yang tepat memang bukan hal yang mudah, namun pengamatan BI melalui survei remitansi TKI bisa sedikit menguak tabir jumlah buruh migran ilegal di Nunukan. Antara News pada 3 Januari 2014 menulis pernyataan Kepala Unit Tempat Pemeriksaan Keimigrasian (TPI) Pelabuhan Internasional Tunon Taka "Jumlah WNI yang berangkat ke Malaysia untuk bekerja di Negeri Sabah melalui Kabupaten Nunukan sebanyak 92.102 orang". Sementara TKI yang kembali ke kampung halamannya pada tahun yang sama berjumlah 72.759 orang sehingga terdapat selisih sebesar 19.343 orang. Selisih ini memiliki potensi untuk menjadi TKI ilegal bila dihubungkan dengan jumlah pekerja ilegal yang dideportasi.

Mengapa Nunukan Menjadi Pintu Keluar-Masuk TKI ilegal?
Sampai saat ini permasalahan TKI ilegal di Nuukan masih menjadi cerita yang kunjung usai dan rasanya belum pernah ada upaya yang terkoordinasi dari berbagai instansi pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini. Sebelum berakhirnya era kabinet Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada September 2014, terdapat rencana aksi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) bersama 13 kementerian terkait untuk melakukan penegakan hukum. Hal ini dilakukan dalam rangka menanggapi keluhan yang sudah menjadi rahasia umum tentang perilaku koruptif para oknum yang memeras TKI. Meski memberi kontribusi dalam penanganan TKI, sayangnya aksi tersebut belum menyentuh pada akar permasalahan TKI.

Banyak aspek yang menjadikan Nunukan sebagai daya tarik tersendiri bagi para pencari kerja ilegal. Faktor tersebut bila diurai dan dipecahkan bersama-sama dapat menjadi soulsi awal dari masalah TKI ilegal. Pertama, adalah ketidakseriusan pemerintah Malaysia melakukan penindakan terhadap majikan/perusahaan yang melanggar peraturan ketenagakerjaan. Dengan demikian majikan/perusahaan Malaysia lebih cenderung mempekerjakan WNI ilegal, karena biaya yang dikeluarkan lebih sedikit dan dapat mempermainkan hak-hak pekerja ilegal tanpa ada sangsi.

Kedua, dari sisi internal pemerintah tidak pernah ada upaya yang terkoordinir untuk mencegah TKI ilegal. Ketiga, bila dilihat dari sisi pekerja ilegal bahwa hampir seluruhnya tidak mengindahkan aturan seperti pengurusan memiliki kontrak kerja, visa kerja dan Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN), sehingga mereka berada pada posisi lemah saat terjadi masalah. Dan yang terakhir adalah kondisi geografis kabupaten Nunukan yang memiliki pelabuhan tikus seperti Sebatik yang mana dapat dilalui dengan mudah oleh pekerja ilegal.

NTT sebagai sumber TKI legal dan ilegal
Data-data di lapangan menunjukkan bahwa daerah asal Warga Negara Indonesia (WNI) yang dideportasi sebagian besar berasal dari Sulawesi Selatan (Sulsel), Sulawesi Barat (Sulbar), Jawa Timur (Jatim) khususnya dari Madura, Jawa Tengah (Jateng), Jawa Barat (Jabar), Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Kalimantan Timur (Kaltim). Tentunya hal ini tidak berarti bahwa propinsi tersebut merupakan daerah miskin, tetapi patut dicermati mengapa daerah-daerah dimaksud menjadi langganan pekerja ilegal yang di deportasi. Dan NTT menjadi daerah yang menarik untuk diperhatikan dengan seksama mengingat hasil survei Remitansi TKI yang dilakukan BI memberi idikasi adanya keterkaitan antara NTT dan Nunukan.
Mari kita coba perhatikan pemberitaan tentang penggerebekan upaya pengiriman TKI ilegal melalui penggalan-penggalan berita yang dapat ditemui pada media online berikut. Pada Februari 2014 terdapat berita tentang keberhasilan Kesatuan Pelaksanaan Pengamanan Pelabuhan (KP3) dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kupang menggagalkan penyelundupan tenaga kerja ilegal dari berbagai kabupaten NTT via pelabuhan. Dijelaskan juga bahwa hal tersebut merupakan kesuksesan kali ketiga sejak Januari 2014. Tidak kalah sigap adalah Kepolisian Resor Kupang dengan mematahkan upaya pengiriman TKI ilegal melalui kapal ke Malaysia via Kalimantan. Celakanya terdapat sebagian pencari kerja (pencaker) ilegal tersebut yang masih di bawah umur.

Selain di Kupang, pihak lain terkait TKI juga tidak mau kecolongan dengan beraksi di daerah masing-masing seperti, Surabaya, Jakarta, dan Batam. Kepolisian Daerah (Polda) Jatim sekitar Agustus 2014 menggerebek penampungan pencaker ilegal asal pulau Kangean Madura dan NTT di Sidoarjo. Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja (BNP2TKI) juga beberapa kali mengungkap TKI ilegal di seputaran Jakarta, seperti Kalideres, Tebet, Depok, dan Ciputat. Berulangkali ditemukan asal daerah pencaker adalah NTT dan ada yang di bawah umur. Yang terbaru adalah bagaimana Kepolisian Sektor (Polsek) Nongsa bak film detektif, juga menyelamatkan calon korban mafia TKI ilegal asal NTT di Batam yang baru tiba dari pelabuhan Baubau NTT.
Sudah sejak lama permasalahan TKI ilegal coba diberangus tetapi selalu tetap eksis dan seperti virus bahkan menjadi lebih ganas. Baik mantan Kepala BNP2TKI Jumhur Hidayat maupun yang kini, Gatot Abdullah Mansyur mensinyalir indikasi keterlibatan mafia perdagangan manusia (human trafficking) dan penyelundupan orang (people smuggling) dengan dalih penempatan TKI.

Pengamatan lapangan serta informasi yang ada mendapatkan suatu kesimpulan awal yang perlu dibuktikan lebih lanjut dengan data serta fakta. Kesimpulan pertama, yakni animo warga NTT untuk bekerja di luar negeri masih cukup tinggi dengan alasan meningkatkan ekonomi keluarga. Hanya saja keinginan dan kemauan warga NTT untuk bekerja di luar negeri tidak dibarengi dengan kesadaran untuk menggunakan jalur resmi, dan sebagian besar malah menggunakan jalur tidak resmi.

Keberadaan mafia yang setengah resmi turut mendukung suburnya praktek pengiriman TKI ilegal. Lima tahun lalu kita sering mendengar perekrutan calon pencaker melalui calo atau tekong. Saat ini terminologi yang diberikan kepada mereka adalah sponsor, dengan fungsi yang masih sama, dengan berkeliaran mencari mangsa di daerah mereka masing-masing. Dan sponsor tersebut dapat dijumpai secara terang-terangan di kantor instansi yang mengurus keberangkatan TKI ke kota dimana terdapat Perusahaan Pengerah Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) untuk selanjutnya diberangkatkan ke negara tujuan. Data BP3TKI Kupang menunjukkan bahwa penempatan TKI dari NTT sangatlah sedikit, karena instansi ini lebih banyak mengurus surat pengantar bagi calon TKI. Kondisi ini memberikan peluang terjadinya manipulasi sehingga akhirnya para pencaker bisa berakhir nasibnya menjadi TKI ilegal.

Rahasia umum yang tidak dapat dipungkiri juga adalah sering dijumpai warga NTT yang berangkat melalui bandara El Tari ke Jakarta maupun Surabaya dengan low-cost budget carrier. Sejatinya kita tidak dapat menilai buku dari sampulnya, tetapi perilaku orang-orang yang terindikasi sebagai pencari kerja ilegal dapat diamati dari perilaku orang tersebut sejak proses check-in hingga tiba di bandara tujuan.

Mengapa ilegal?
Alasan ekonomi dan minimnya kesempatan kerja menjadi akar masalah. Akan tetapi situasi ini juga didukung oleh rendahnya tingkat pendidikan masyarakat NTT. Beberapa mantan TKI yang sukses menjadi mercusuar yang menarik bagi warga lainnya untuk ikut mencoba peruntungan di negeri orang. Kenyataan hidup di NTT juga menampilkan wajah-wajah pengangguran meski memiliki pendidikan setingkat Sarjana. Pada akhirnya pemikiran rasional sudah tidak menjadi pertimbangan utama sehingga jalur ilegal kerap jadi pilihan utama demi kesejahteraan keluarga.

Meski belum ada bukti yang kuat tetapi wawancara terhadap beberapa eks-TKI ilegal mengarah pada eksistensi perdagangan manusia. Para kaki tangan mafia alias sponsor bergerak di daerah-daerah miskin mencari korban dengan memberi iming-iming kepada orangtua korban berupa uang tunai antara 2-3 juta Rupiah. Korban umumnya dijanjikan bekerja di rumah, restoran atau salon dengan gaji besar. Apa daya kenyataan berbicara lain, setiba di Malaysia bernasib tak ubahnya seperti budak belian dengan kondisi yang memprihatinkan. Para pengejar harapan ini dikirim ke Malaysia atau arab Saudi dengan menggunakan paspor yang identitasnya dipalsukan.
Para sponsor selain mengeluarkan uang pemanis masih juga membiayai transportasi untuk mengirimkan korban kepada PPTKIs “nakal” di luar daerah dengan kapal maupun pesawat. Meski demikian keuntungan yang didapat sponsor diperkirakan masih relatif besar sekitar 2-4 juta Rupiah/orang. Siapapun akan tertarik untuk menjadi sponsor dengan mengabaikan bisikan nurani dan malaikat kebajikan. Bahkan untuk memuluskan aksinya, sponsor rela “menyisihkan pendapatan” kepada oknum-oknum yang melindunginya dari masalah hukum. Pemerintah seharusnya tidak menutup mata pada fakta bahwa banyak PPTKIS “nakal” yang mengirim tenaga kerja ilegal untuk dijual bagai sebuah benda ke luar negeri. PPTKIS tersebut seolah berulah dengan bebas tanpa ada kontrol dan pengawasan pemerintah.

Buah Simalakama bagi Pemerintah Daerah
TKI merupakan pahlawan devisa yang tidak pernah mendapat tanda jasa dan peningkatan pengiriman TKI berjalan seiring dengan nilai remitansi TKI yang dikirim kedaerahnya. Hal ini berlaku pula untuk NTT karena devisa yang dikirim memberi kontribusi yang cukup berarti bagi pembangunan serta pertumbuhan ekonomi NTT. Tetapi siapa sangka bila hal itu harus ditebus mahal dengan kembalinya jenasah warga asli NTT paling tidak sebulan sekali yang diurus oleh BP3TKI Kupang. Dan tidak sedikit pula terdapat kasus TKI bermasalah di luar negeri yang berasal dari NTT. Ironinya bahwa semua masalah TKI asal NTT sebagian besar adalah TKI ilegal, yang tidak pernah tercatat resmi.

Aparat penegak hukum serta instansi terkait di NTT mungkin merasa bosan untuk memberantas TKI ilegal. Sudah tidak terhitung aksi dan program yang dilakukan untuk menggiring warga NTT berangkat ke luar negeri melalui jalur resmi. Namun satu hal yang terlupakan atau tidak disadari bahwa penyelesaian TKI ilegal yang dapat berujung pada perdagangan manusia tidak mungkin dikerjakan sendiri-sendiri. Diperlukan suatu kerangka yang komprehensif serta melibatkan kerjasama antar instansi di daerah dan pusat untuk mengatasinya. Dan BI memiliki peluang untuk memberi sumbangsih melalui peranan Kantor Perwakilan Dalam Negeri (KPwDN) Kupang baik secara langsung maupun tidak langsung.

Pendidikan rendah, kemiskinan, sempitnya lapangan kerja, perdagangan manusia menjadi bahan sebuah bom yang sangat mematikan. Warga NTT diibaratkan ikan yang menempuh perjalanan panjang hingga Nunukan untuk mendapatkan arus sungai yang kuat, meski pada kenyataannya ikan tersebut terjebak dalam perangkap pemancing liar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun