[caption id="attachment_390779" align="aligncenter" width="600" caption="Kompas.com"][/caption]
Nunukan adalah salah satu kabupaten di Kalimantan Utara yang memiliki ibukota dengan nama yang sama pula yakni Nunukan. Daerah ini merupakan produk pemekaran dari kabupaten Bulungan sehubungan dengan penerapan otonomi daerah oleh pemerintah pusat melalui UU nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Kabupaten Nunukan memang memiliki wilayah yang cukup luas, sekitar 14,5 ribu km² dengan 2 wilayah mata angin yang bersinggungan dengan Malaysia. Sebelah utara berbatasan langsung dengan Sabah dan sebelah barat dengan Serawak, yang seluruhnya memiliki panjang garis perbatasan sekitar 500 km.
Dengan jumlah penduduk yang hanya sekitar 146 ribu jiwa, Nunukan memiliki potensi ekonomi yang cukup prospektif untuk menjadi daerah penyangga di perbatasan. Di seantero nusantara masih banyak masyarakat yang masih buta tentang perekonomian maupun letak Nunukan secara tepat di Kalimantan. Namun seringkali masyarakat mendapat informasi melalui media cetak dan visual terkait dengan Nunukan, khususnya tentang deportasi TKI bermasalah.
Adalah suatu ironi bila sejak 2003 hingga kini Nunukan dihias dengan berbagai berita deportasi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ilegal dari Malaysia. Dan akhir-akhir ini, Nunukan ditenggarai menjadi wilayah masuk strategis bagi pelaku kejahatan internasional seperti peredaran narkoba dan perdagangan manusia (human trafficking). Faktanya, Nunukan bukan satu-satunya pintu keluar-masuk antar Indonesia dengan Malaysia. Di Kalimantan saja masih ada lima pintu penghubung, yaitu, Entikong, Sambas, Bengkayang, Sintang dan Kapuas Hulu. Dan itu belum memperhitungkan Batam dan Tanjung Pinang yang masing-masing juga menjadi pintu gerbang ke Malaysia.
Ada apa dengan Nunukan?
Dengan wilayah yang berhimpitan dengan negara tetangga adalah suatu hal yang wajar bagi penduduk Nunukan untuk keluar-masuk ke Tawau dengan hanya menggunakan Pas Lintas Batas (PLB). Setiap hari terdapat 5-10 kapal dengan kapasitas sekitar 10 orang, di pelabuhan Tunon Taka Nunukan yang melayani jalur Nunukan-Tawau. Pada saat yang sama, pelabuhan Nunukan menjadi pintu para buruh migran legal maupun ilegal dari berbagai daerah di Indonesia yang hendak mengadu nasib. Kondisi ini dapat digambarkan dengan pemulangan TKI bermasalah hampir setiap bulan.
Pengamatan melalui media cetak dan online mendapatkan angka yang cukup mencengangkan tentang jumlah buruh migran bermasalah yang dideportasi dari Tawau Malaysia, yakni sekitar 250 orang per-bulan. Hal ini juga dikonfirmasi oelh catatan Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI (BP3TKI) Nunukan yang mencatat angka deportasi sebanyak 2.773 orang antara Januari-September 2014. Senada dengan BP3TKI, Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Gatot Abdullah Mansyur juga mengemukakan bahwa setiap tahun Malaysia mendeportasi sekitar 20 ribu TKI bermasalah. Batam adalah pintu debarkasi terbesar dari buruh migran yang terjaring masalah di Malaysia, sementara debarkasi Nunukan mencatat antara 3-4 ribu orang.
Yang menarik adalah pernyataan Kepala BP3TKI Nunukan yang memperkirakan bahwa 60% dari buruh migran yang dideportasi melalui Nunukan adalah TKI ilegal. Dan berdasarkan hasil wawancara dengan berbagai instansi terkait Survei Remitansi TKI yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) juga mendapatkan hasil pengamatan yang senada. Terdapat suatu dugaan kuat, TKI ilegal yang keluar dari pelabuhan Tunon Taka hampir mencapai 100 orang per-hari. Estimasi tersebut didapatkan dari informasi serta pengamatan saat pelaksanaan survei. Perhitungan kasar pencari kerja ilegal didapatkan dari jumlah TKI yang terindikasi ilegal pada setiap keberangkatan kapal Nunukan-Tawau.
Mencari angka TKI ilegal yang tepat memang bukan hal yang mudah, namun pengamatan BI melalui survei remitansi TKI bisa sedikit menguak tabir jumlah buruh migran ilegal di Nunukan. Antara News pada 3 Januari 2014 menulis pernyataan Kepala Unit Tempat Pemeriksaan Keimigrasian (TPI) Pelabuhan Internasional Tunon Taka "Jumlah WNI yang berangkat ke Malaysia untuk bekerja di Negeri Sabah melalui Kabupaten Nunukan sebanyak 92.102 orang". Sementara TKI yang kembali ke kampung halamannya pada tahun yang sama berjumlah 72.759 orang sehingga terdapat selisih sebesar 19.343 orang. Selisih ini memiliki potensi untuk menjadi TKI ilegal bila dihubungkan dengan jumlah pekerja ilegal yang dideportasi.
Mengapa Nunukan Menjadi Pintu Keluar-Masuk TKI ilegal?
Sampai saat ini permasalahan TKI ilegal di Nuukan masih menjadi cerita yang kunjung usai dan rasanya belum pernah ada upaya yang terkoordinasi dari berbagai instansi pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini. Sebelum berakhirnya era kabinet Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada September 2014, terdapat rencana aksi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) bersama 13 kementerian terkait untuk melakukan penegakan hukum. Hal ini dilakukan dalam rangka menanggapi keluhan yang sudah menjadi rahasia umum tentang perilaku koruptif para oknum yang memeras TKI. Meski memberi kontribusi dalam penanganan TKI, sayangnya aksi tersebut belum menyentuh pada akar permasalahan TKI.
Banyak aspek yang menjadikan Nunukan sebagai daya tarik tersendiri bagi para pencari kerja ilegal. Faktor tersebut bila diurai dan dipecahkan bersama-sama dapat menjadi soulsi awal dari masalah TKI ilegal. Pertama, adalah ketidakseriusan pemerintah Malaysia melakukan penindakan terhadap majikan/perusahaan yang melanggar peraturan ketenagakerjaan. Dengan demikian majikan/perusahaan Malaysia lebih cenderung mempekerjakan WNI ilegal, karena biaya yang dikeluarkan lebih sedikit dan dapat mempermainkan hak-hak pekerja ilegal tanpa ada sangsi.
Kedua, dari sisi internal pemerintah tidak pernah ada upaya yang terkoordinir untuk mencegah TKI ilegal. Ketiga, bila dilihat dari sisi pekerja ilegal bahwa hampir seluruhnya tidak mengindahkan aturan seperti pengurusan memiliki kontrak kerja, visa kerja dan Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN), sehingga mereka berada pada posisi lemah saat terjadi masalah. Dan yang terakhir adalah kondisi geografis kabupaten Nunukan yang memiliki pelabuhan tikus seperti Sebatik yang mana dapat dilalui dengan mudah oleh pekerja ilegal.