Mohon tunggu...
Dadal Angkoro
Dadal Angkoro Mohon Tunggu... lainnya -

Likes to express myself through words, action and emotion

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

(Laksana) Jamur Emas di Atas Sampah – Potret TKI

12 Januari 2015   22:14 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:17 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan
Indonesia merupakan salah satu negara yang banyak mendapat perhatian dunia luar, baik karena pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi maupun potensi jumlah penduduk sebagai pasar yang sangat menarik dan sekaligus jumlah tenaga kerja potensial. Namun apa daya? Dengan pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi, secara jujur pemerintah harus mengakui bahwa kesejahteraan masyarakat masih jauh dari cita-cita yang termaktub pada preambul UUD 1945.
Tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia secara umum masih tergolong relatif rendah. Satu diantara beberapa faktor lainnya adalah pemerintah belum dapat menyediakan lapangan kerja formal yang cukup untuk rakyat Indonesia. Sayangnya, kondisi ini tidak tercermin pada tingkat pengangguran yang tinggi. Sebaliknya, pada akhir 2013 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka tingkat pengangguran terbuka yang relatif rendah, yakni sebesar 7,2 juta jiwa pada Februari 2014 atau hanya 5,7% dari jumlah angkatan kerja penduduk Indonesia.
Gambaran tersebut berbeda dengan realita yang dirasakan dan dilihat sehari-hari. Kebanyakan dari masyarakat yang dijumpai, terutama di kota-kota besar, adalah masyarakat yang bekerja untuk menyambung hidup. Mereka bekerja tanpa adanya jaminan kesehatan, perlindungan kerja, bahkan tidak ada kepastian terhadap kesinambungan pendapatan.
Kondisi yang serupa juga dapat ditemui di daerah-daerah yang dikenal sebagai kantung kemiskinan. Tingkat pengangguran yang relatif tinggi disertai dengan tingkat pendidikan rendah, menambah daftar panjang keruwetan yang dihadapi oleh pemerintah. Bagi sebagian masyarakat di daerah miskin, melangkah mundur adalah suatu kemustahilan karena tembok kemiskinan membentang dan berdiri kokoh dibelakangnya. Dengan tatapan nanar, mengadu nasib di negeri seberang menjadi secercah asa demi keluarga yang sejahtera.
Permasalahan TKI
Tenaga Kerja Indonesia atau sering disebut TKI adalah warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri untuk mendapatkan penghasilan. Keinginan tinggi untuk mencapai kehidupan lebih baik seringkali membutakan akal sehat sehingga calon TKI mengabaikan peraturan pemerintah yang sejatinya diciptakan untuk melindungi mereka. Pemerintah tidak dapat juga disebut berpangku tangan. Para pemangku amanah rakyat juga berupaya memperbaiki permasalahan serta carut marut TKI namun hingga saat ini masih belum menunjukkan hasil yang menggembirakan.
Banyak problema yang menyelimuti TKI, mulai dari birokrasi yang sulit dan panjang, keculasan oknum-oknum yang memperlakukan TKI sebagai sapi perah, dan pendidikan TKI yang relatif rendah. Sifat atau kodrat TKI sebagai manusia juga turut memiliki andil memperkeruh upaya penyelesaian masalah TKI dengan cara mencari jalan mudah serta instan untuk menjadi TKI. Para pejuang devisa ini kerap mengabaikan aturan yang dibuat untuk melindungi mereka dengan memanipulasi identitas diri. Mereka abai terhadap keselamatan diri sendiri demi mengejar setitik cahaya terang di ujung lorong yang gelap gulita. Komplikasi berbagai faktor tersebut berbaur dengan faktor sosial-budaya sehingga pada gilirannya kerap melahirkan TKI ilegal .

Fakta dan Data
Pada era yang sarat teknologi, data atau informasi merupakan harta yang meiliki nilai sangat besar. Namun sayangnya di Indonesia, data masih dipandang sebelah mata bagai onggokan sampah. Dalam hal ini, data terkait jumlah TKI masih terdapat inkonsistensi diantara satu institusi dengan lainnya. Terlebih lagi saat membicarakan TKI bermasalah maupun TKI ilegal.
Pada satu sisi, Kementrian Luar Negeri mengklaim bahwa jumlah TKI saat ini sekitar 6,5 juta orang, dan dilain pihak, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) mencatat angka sekitar 4 juta orang. Disela perbedaan angka tersebut, timbul berbagai macam persoalan mulai dari TKI bermasalah hingga TKI ilegal. Atase Ketenagakerjaan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Malaysia menyebutkan bahwa jumlah TKI legal di Malaysia sekitar 1,089 juta orang. Sementara TKI ilegal sekitar 1,5 juta orang. Sejalan dengan hal tersebut, Kepala BNP2TKI Gatot Abdulah Mansyur menyatakan saat ini tercatat sebanyak 7 ribu TKI ilegal dari sekitar 30 ribu TKI yang bekerja di Korea Selatan.
Permasalahan yang dihadapi oleh para pahlawan devisa sangat beragam, mulai dari gaji di bawah standar, gaji tidak dibayar, kabur dari rumah majikan, meninggal di luar negeri, pemalsuan dokumen keberangkatan, pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak, penganiayaan, pelecehan seksual, kecelakaan di tempat kerja, TKI dalam penahanan penjara/kasus hukum dan lainnya.
Pada 2010, Perwakilan RI dan Kementerian Luar Negeri RI mencatat 16.064 kasus. Sebagian besar masalah tersebut timbul terjadi di Timur Tengah dan Arab Saudi (10.587 kasus), serta di Malaysia (2.066 kasus). Data terkini berdasarkan data Crisis Center Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), terdapat 2 negara dengan tingkat kasus TKI yang tinggi. Ke-2 negara itu di antaranya Arab Saudi, dan Malaysia. Dari 12.270 kasus yang terverifikasi pada 2013, hampir 50% atau 6.516 merupakan kasus di Arab Saudi.
Bagi pemangku kebijakan, khususnya pemerintah pusat dan daerah, mungkin TKI bermasalah hanya merupakan angka dan sifatnya kasuistis jika dilihat dari rasio TKI bermasalah dibandingkan jumalh TKI. Tetapi sesungguhnya, harga diri kita sebagai bangsa akan terasa dinjak-injak dan rasa kemanusiaan kita akan terkoyak bila melihat kasus pahlawan devisa yang disiksa, bahkan meninggal demi setitik asa.
Derasnya air mata pilu tak akan pernah berhenti jika mengingat beberapa nama yang mengalami nasib tragis sejak 2007-2009, seperti Kurniasih, Animah binti Jari, Siti Tarwiyah, Susmiyati, Munti binti Bani, Fauziah, Kikim Komalasari, Sariah, Ernawati, Isti Komariah. Dan yang masih segar dalam ingatan adalah Holbari dan Armadin, keduanya merupakan TKI ilegal asal Jawa Timur yang meninggal karena kecelakaan kerja di Malaysia pada Oktober 2014.
Direktur Eksekutif Migran Care Anis Hidayah pernah menyatakan bahwa setiap tahun jumlah kekerasan dan kematian tenaga kerja Indonesia di luar negeri semakin meningkat. Pada 2009, kematian TKI mencapai 1.018 orang. Dan rasanya kita tak perlu terkejut bila angka kematian tersebut terjadi paling banyak di Malaysia dan Arab Saudi. Sejalan dengan itu, Direktorat Perlindungan WNI Kementrian Luar Negeri mencatat jumlah TKI yang meninggal selama 2009-2010 sebanyak 1.297 orang.
Fakta yang menarik selain TKI bermasalah adalah jumlah pekerja ilegal yang dideportasi, khususnya dari Tawau Malaysia. Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI (BP3TKI) Nunukan, mencatat angka deportasi periode Januari-September 2014 sebanyak 2.773 orang atau hampir 3 ribu orang. Jumlah ini hanya mencatat deportasi dari satu pintu di daerah perbatasan, yakni Nunukan, dan belum termasuk jumlah deportasi baik dari pintu perbatasan maupun dari negara lainnya.
Adapun daerah asal para pekerja ilegal berasal berbagai lokasi seperti Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Jawa Timur, NTT, NTB, Kaltim, Kalsel, Kalbar dan Maluku. Kondisi ini juga didukung oleh data yang dikutip oleh Tifa Foundation dari Erende Pos (26/5/2014) bahwa sampai 2012 terdapat 12.335 kasus TKI bermasalah asal Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat.

Penderitaan yang Tidak Pernah Selesai
Ujung pangkal dari keinginan sebagian masyarakat untuk menjadi TKI di luar negeri adalah faktor ekonomi atau kemiskinan. Kemiskinan pula yang menjadi salah satu faktor rendahnya tingkat pendidikan masyarakat terutama di daerah yang dikenal sebagai kantung-kantung kemiskinan. Sementara upaya pemerintah untuk menyediakan lapangan kerja di dalam negeri maupun untuk meningkatkan kesejahteraan masih belum maksimal, bila tidak ingin dikatakan gagal. Jangankan mendapat pekerjaan dengan upah layak, untuk mencari pekerjaan saja sangat sulit. Kondisi demikian mendorong para pahlawan devisa untuk mengadu nasib di negeri orang dengan harapan memperoleh gaji besar meskipun dengan pendidikan atau keahlian yang rendah. Mantan Menakertrans Muhaimin Iskandar pada acara peletakan batu pertama pembangunan Yayasan Buruh Migran Indonesia pernah mengungkapkan bahwa sekitar 47% buruh migran Indonesia adalah mereka yang hanya lulusan sekolah dasar.
Terdapat beberapa lembaga/instansi yang terkait tenaga kerja Indonesia di luar negeri, yakni, Kementrian Ketenagakerjaan, Kementrian Luar Negeri, Kementrian Dalam Negeri, Kementrian Hukum dan HAM, Kementrian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Kementrian Sosial, BNP2TKI, Direktorat Jenderal Imigrasi, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, BP3TKI, serta pemerintah daerah tingkat I maupun II. Dan pemerintah sejatinya tidak abai terhadap masalah yang meliputi buruh migran Indonesia, namun pemerintah juga tidak serius menanganinya.
Dari sisi legalitas, Indonesia memiliki payung hukum berupa Undang-Undang nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Namun dalam pelaksanaannya, terbukti tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap perbaikan nasib TKI. Kondisi ini tidak lepas dari koordinasi yang lemah serta egoisme sektoral yang tinggi diantara lembaga serta instansi yang terkait dengan TKI, baik dari tingkat pusat maupun pemerintah daerah.
Disaat yang sama, posisi tawar pemerintah dalam hal negosiasi dengan pemerintah negara dimana TKI berada juga rendah, dan cenderung bersifat pasif. Sebagai gambaran, pemerintah Korea Selatan, Hong Kong, Jepang dan Singapura memiliki undang-undang yang baik terkait perlindungan terhadap tenaga kerja asing sehingga sangat kecil sekali kasus yang menimpa tenaga kerja Indonesia. Pelaku tindak kekerasan akan mendapat hukuman yang setimpal sehingga buruh migran Indonesia dapat bekerja dalam kondisi yang tenteram. Akan tetapi undang-undang tersebut bukan merupakan upaya negosiasi pemerintah Indonesia.
Dilain pihak, Arab Saudi dan Malaysia merupakan negara dimana pahlawan devisa Indonesia paling banyak mengalami kasus hingga berujung maut. Celakanya negara-negara tersebut tidak memiliki payung hukum yang secara khusus mengatur perlindungan terhadap tenaga kerja asing. Demi mengejar devisa, maka pemerintah Indonesia hanya mendorong negara tersebut untuk melakukan kerjasama perlindungan melalui Memorandum of Understanding. Selayaknya pemerintah menghentikan pengiriman tenaga kerja Indonesia ke negara-negara itu sampai adanya pengakuan secara legal serta perlindungan terhadap tenaga kerja Indonesia.

Kesimpulan
Penyelesaian masalah TKI memang bukan sesuatu yang mudah seperti membalikkan telapak tangan, tetapi juga bukan hal yang tidak dapat diselesaikan. Solusi dari segala benang kusut yang meliputi pahlawan devisa dapat diurai dari puncak keruwetan serta fokus pada tujuan akhir yakni perlindungan terhadap warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri.
Secara umum dapat ditarik suatu benang merah terkait problema yang menimpa para buruh migran, yakni:
- Kasus banyak terjadi pada TKI dengan penempatan di Malaysia dan Arab Saudi yang tidak memiliki undang-undang perlindungan kepada tenaga kerja asing;
- Masalah TKI lebih sering muncul pada negara penempatan yang tidak memiliki undang-undang yang melindungi tenaga kerja asing, khususnya tenaga kerja informal;
- Terdapat kecenderungan bahwa banyak kasus kekerasan menimpa pada TKI dengan pendidikan rendah, dibawah SMP bahkan cenderung tidak lulus SD;
- Daerah kantung-kantung kemiskinan yang tersebar di Indonesia sering muncul sebagai daerah asal TKI bermasalah dan ilegal.

Selain faktor yang disebutkan di atas, juga terdapat ekploitasi TKI oleh oknum instansi dan pihak swasta, yang tidak hanya terjadi di luar negeri namun sejak sebelum keberangkatan hingga kepulangan TKI. Selama ini pemerintah selalu menyanjung buruh migran Indonesia sebagai pahlawan devisa. Namun pada saat yang sama, pemerintah belum pernah mengalokasikan perhatian khusus dan bahkan abai pada kontribusi tenaga kerja Indonesia terhadap perekonomian. TKI ibarat jamur yang bernilai tinggi tetapi tumbuh liar di atas tumpukan sampah (permasalahan).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun