Jadi saya sampai pada kesimpulan bahwa lebih dari perkara apakah Ahok telah menista agama, perkara yang sebenarnya lebih besar yang menjadi mengemuka gara-gara pernyataan Ahok itu ialah apakah memilih pemimpin Non-Muslim itu haram atau tidak bagi seorang Muslim. Jika, misalnya, pemahaman bahwa memilih pemimpin Non-Muslim itu haram ialah pemahaman yang ditentang di Indonesia, maka pernyataan Ahok bukanlah penistaan agama. Tapi bagaimana mungkin pemahaman itu dinyatakan ditentang di Indonesia, padahal MUI (dan di samping itu, Muhammadiyah) memegang pemahaman itu? Seorang yang jeli membaca artikel ini juga sudah marah-marah karena di atas saya tuduh bahwa mereka yang memiliki pemahaman demikian pahamnya salah (meskipun saya hanya meminjam lidah Nusron Wahid).
Izinkan saya memberi contoh dengan memakai ayat lain, membuat pernyataan saya sendiri. Bapak-Ibu bisa saja mengira bahwa Bapak-Ibu harus membunuh tetangga-tetangga Bapak-Ibu yang Non-Muslim, dibohongin pake Al-Baqarah 191. Saya paham bahwa kalangan Islam mainstream tidak menafsirkan ayat ini demikian, yakni bahwa orang-orang Non-Muslim bisa dibunuh seenaknya. (Tafsiran yang umum dipakai ialah bahwa membunuh mereka hanya dibenarkan dengan syarat-syarat tertentu, misalnya jika kaum Non-Muslim yang dimaksud sedang berperang dengan kaum Muslim. Ini didasarkan pada ayat-ayat lain yang berdekatan dengan ayat tersebut, dan konteks dalam mana ayat itu berbicara.) Tapi tetap saja masih ada kaum ekstremis yang menafsirkannya seperti itu, atau membohongi orang lain dengan menyatakan bahwa tafsirannya seperti itu. Dalam hal ini, meski saya telah menuduh orang-orang yang demikian sebagai pembohong, saya luput dari tuduhan penistaan agama, karena tafsiran yang demikian tak boleh dipakai di Indonesia. Tafsiran yang demikian mungkin boleh dipakai di negara ISIS, tapi tidak di Indonesia. Biar saya tekankan sekali lagi. Saya luput dari tuduhan penistaan agama bukan karena tafsiran itu tidak umum dipakai oleh penganut Islam di Indonesia, melainkan karena tafsiran itu bertentangan dengan ideologi bangsa Indonesia.
Sayangnya, kawan-kawan, saya tahu bahwa banyak dari kalian akan tersinggung, bahkan marah pada saya seperti kalian marah pada Ahok, tapi saya harus tegaskan, demi menegakkan ideologi Pancasila dan spirit Bung Karno, bahwa pemahaman "memilih pemimpin Non-Muslim itu haram" bertentangan dengan prinsip demokrasi dan ideologi bangsa Indonesia, dan karenanya, harus ditolak. (Mungkin saya akan menulis artikel lain untuk menguraikan tentang pernyataan saya ini, yang jauh lebih sensitif daripada pernyataan Ahok.) Tapi kalau saya memaksakan prinsip ini, bisa-bisa Indonesia hancur lebur karena bagian yang besar dari umat Islam di Indonesia (di antaranya pengikut MUI dan Muhammadiyah) memegang pemahaman ini. Karena itu, baiklah saya tawarkan suatu rekonsiliasi. Maafkan Ahok, dan jangan lagi ada pernyataan di depan umum bahwa memilih pemimpin Non-Muslim itu haram! Tidak tahukah kalian, betapa sakit hatinya kami yang Non-Muslim mendengar pernyataan itu seakan telah menjadi pandangan umum umat Islam di Indonesia? Para pahlawan sudah rela mati demi berdirinya negara kita ini. Banyak dari mereka yang Non-Muslim. Apakah Anda pikir mereka ikhlas kalau negara yang sedang mereka perjuangkan untuk didirikan melarang umat Islam memilih pemimpin Non-Muslim? (Semoga saya segera menulis artikel lain untuk memberikan uraian lebih lanjut.)
Coba renungkan rekonsiliasi yang saya tawarkan ini. Saya bermaksud bersikap fair, tidak hanya menguntungkan kehendak saya. Anda harus memahami bahwa Ahok sampai seperti itu karena banyak pihak selama ini sudah lebih dulu menyerangnya dengan pemahaman yang bertentangan dengan Kebhinnekaan itu. Bahkan, FPI selama ini terus mendengung-dengungkan untuk menolak demokrasi, tapi kenapa ormas itu tidak pernah dibubarkan sampai sekarang? Sadarlah, keutuhan bangsa kita di ujung tanduk. Saya sependapat dengan Nusron Wahid bahwa menyatakan paham yang sensitif, apalagi yang sampai bertentangan dengan ideologi bangsa seperti itu, harusnya hanya dalam ranah privat, tidak boleh dinyatakan dalam ranah umum! Ahok hanya membela dirinya menghadapi serangan dalam bentuk seperti itu. Kalau seseorang membunuh orang lain hanya semata-mata sebagai perlindungan diri karena orang lain itu hendak membunuhnya, maka ia sendiri bebas dari hukuman! Begitu pula hukum harus menyatakan bahwa Ahok tak bersalah!
(Telah saya nyatakan bahwa paham "memilih pemimpin Non-Muslim itu haram" sebenarnya bertentangan dengan prinsip demokrasi dan ideologi bangsa Indonesia. Selanjutnya muncul pertanyaan: Tidak bolehkah seorang warga negara Indonesia menganut paham itu? Dengan alasan kebebasan beragama, saya nyatakan bahwa boleh saja seseorang memiliki keyakinan seperti itu; tapi ekspresi mengenai pahamnya itu harus dibatasi, karena telah bersinggungan dengan ideologi negara. Makanya, sekali lagi, penting membedakan antara ranah privat dan ranah publik.)
Demikian pembelaan saya terhadap Ahok. Saya sadar betul bahwa isi artikel ini sangat sensitif, tapi terus terang saja, saya tidak bisa berdiam diri melihat Ahok berjuang sendiri. Saya berharap kaum pro-Ahok yang lain juga akan bersama-sama dengan saya, berani menyatakan sikap. Yang tidak setuju silakan komentar; yang setuju silakan sebarkan. Saya dengan tulus hati ingin bersahabat dengan kawan-kawan Muslim. Saya berharap bahwa kegaduhan ini segera berlalu dan kita kembali berdamai, dan bersatu dalam kasih yang tulus sebagai bangsa Indonesia dan sebagai sesama manusia. Damai beserta kita sekalian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H