Hasil penelitian bersama antara the World Health Organization (WHO), organisasi dibawah payung Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dan Johns Hopkins Urban Health Institute hasilnya "sangat mengejutkan." Dimana, remaja putri yang hidup di negara negara yang "illigal" (dilarang) melakukan aborsi, justru tahu cara dan tahu alamat tempat untuk melakukan pengguguran kandungan (aborsi) secara gelap.
Penelitian dilakukan selama 4 tahun di 15 negara yang tersebar di benua Eropa, Afrika, Asia dan Amerika Serikat. Hasil penelitian yang dipublikan oleh "New Scientist" edisi September, 2017 (silahkan baca di sini mengungkapkan beberapa kejutan tentang remaja putri dan putra. Norma dan "stereotype" yang ketat, juga berdampak negative bagi remaja dalam perkembangan hidup selanjutnya.
Penyakit Kelamin
Akibat penekanan pada perbedaan jenis kelamin, anak anak sangat cepat, bahkan di usia 10 tahun sudah tahu "makna" lelaki dan perempuan dengan segala konsekwensinya. Di beberapa negara penghasilan per-kapita rendah dan menengah, ketika puber atau saat remaja usia 13 -- 14 tahun, mereka sudah memisahkan diri, tak boleh gabung bermain antara lelaki dan perempuan. Remaja putra harus terpisah dengan putri, tak boleh berteman akrab.
Sosial menekankan bahwa cowok itu kuat, harus percaya diri, dan seorang pemimpin, berada di depan. Sedangkan perempuan itu dkonotasikan lemah, inferior, tak boleh adu argumen, harus dilindungi dan berada di belakang sebagai pengikut (followers) saja.
Di beberapa negara kaya, dan dikategorikan sebagai negara maju, juga ada norma tertentu yang harus diikuti oleh remaja, khususnya putri kalau pergi ke gereja atau synagogues (penganut agama Yahudi). Diantaranya tak boleh memakai jeans dan celana panjang ketat. Kalau ketahuan, bisa bisa dikenakan sangsi, termasuk diusir dari rumah ibadah.
Norma semacam ini, baik di negara miskin dan kaya, terbukti tak baik bagi perkembangan remaja putra maupun putri. Si lelaki nantinya menjadi terbebani, sehingga bahkan karena frustasi banyak yang terjerembab kedalam dunia narkoba dan melakukan tindakan kriminal. Kerugian bukan hanya pada individu pelaku, tapi juga masyarakat karena tingginya tindakan kriminal.
Lebih parah lagi, yang putri banyak yang putus sekolah. Ditambah karena berasal dari keluarga dengan penghasilan rendah (miskin), mudah saja jadi korban sexual, tak terkecuali terjerembab dalam dunia prostitusi. Kemudian, hamil muda dan bahkan terkena penyakit kelamin, penyakit menular sepeti HIV atau AID.
Persamaan Hak
Gambaran kelam di atas memang tak terjadi di semua 15 negara, dan di semua sisi (segi) sosial yang jadi sasaran penelitian. Wajah suram ini umumnya terjadi di negara miskin, dan berpenghasilan menengah seperti di Malawi, Nigeria, Afrika Selatan dan India.
Di Belgia dan Amerika Serikat, umumnya sudah terjadi persamaan hak perempuan. Tapi untuk sekte atau agama tertentu seperti Mormon dan Amish, serta sekte sekte di agama Kristen dan Yahudi, nasib perempuan sama saja dengan di negara berkembang lainnya. Perempuan selalu menjadi korban pelecehan untuk kategori tertentu.
Ada hal yang cukup mengejutkan para peneliti, bahwa di beberapa kota di Cina, terutama di Shanghai, sudah ada emansipasi wanita yang sangat tinggi. Wanita mendapat "respect" dan apresiasi dari masyarakat kalau mereka berpendidikan tinggi dan punya karier cemerlang.
Sangat disayangkan, negara yang kita cintai, Indonesia tak disebut sebut dalam laporan yang diterbitkan oleh "New Scientist." Bagaimana menurut pendapat anda, apakah lebih baik atau sama saja "suramnya" kondisi sosial perempuan atau remaja di negara kita, Indonesia?
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H