Di hari yang lain saya tanya mahasiswa:
Saya: Di Denmark apakah wajib militer?
Mahasiswa: nggak, tapi ada semacam "undian," siapa yang dapat undian, maka wajib dinas militer dua tahun.
Saya: Oh, apakah kamu dapat undian?
Mahasiswa: justru karena dapat undian, maka saya kuliah. Biar terhindar dari "wajib" militer.
Saya: loh, kan enak jadi tantara
Mahasiswa (menatap wajah saya dengan penuh heran): apanya yang enak? Dari pagi ke pagi cuma mikul senjata! Paling jauh membersihkan tank atau panser.
Menanggapi tulisan @Reza Nurrohman yang berjudul "72 Tahun TNI Melarang LGBT dalam Dinas Militer Indonesia" (silahkan baca di sini ). Menurut hemat saya, "pelarangan" hanyalah cara untuk mereduksi persaingan.
Walaupun, tantara dan polisi tidak lagi gampang ber-dwi fungsi, yaitu memegang jabatan sipil ketika dinas aktif , tetapi "pesona" mereka masih ada. "Demand" untuk jadi tantara dan polisi masih tinggi.
Untuk jadi mahasiswa STPDN aja rebutan. Ada yang sampai nyogok Rp800 juta segala. Bahkan kononnya, ngasi "perempuan," emas dan berlian nggak jamin masuk. Padahal ketika berada di dalam asrama ada yang mati, karena ulah para senior.
"Demand" untuk jadi tantara, polisi, dan sekolah berasrama lainnya sangat tinggi, sementara "supply" (tempat atau lowongan yang tersedia) tetap atau rendah. Maka dicarilah berbagai cara untuk mengurangi "demand." LGBT adalah salah satu "kambing hitam" yang pas. Apalagi norma kita masih belum bisa menerima kehadiran LGBT secara utuh.