[caption caption="Grafik bunga bank negative bank sentral Eropa dan beberapa negara (Sumber: USA Today, 2016)"][/caption]Langkah Jepang mengumumkan bunga bank negatif, sebenarnya bukan hal baru bagi Denmark. Negara skandinavia ini adalah “pionir” bunga bank negatif. Apa alasan Denmark memberlakukan bunga bank negatif?
Pada bulan Januari 2012, nilai tukar dolar Amerika terhadap mata uang Euro adalah 1: 1,11. Kemudian pada bulan Maret 2012, nilai tukar menjadi 1 : 1,25. Artinya nilai mata uang Euro “jatuh” atau ter-devaluasi sebesar 30%. Hal ini terjadi karena 17 negara anggota masyarakat Eropa mengalami krisis hutang.
Denmark yang nilai mata uangnya “pegging” dengan nilai Euro segera mengantisipasi dengan berbagai paket ekonomi. Untuk mencegah agar tak terjadi dampak lebih jauh dan bahkan kekuatiran akan “collapse”-nya nilai mata uang Kroner, pemerintah melalui bank sentral (Danish Nationalbanken) memberlakukan bunga bank negatif sebesar -0.3% (minus nol tiga persen) pada bulan Juni 2012.
Langkah Denmark dikemudian hari diikuti oleh Bank sentral Eropa dan Swedia. Setelah itu Swiss dan baru baru ini adalah Jepang.
Karena nilai mata uang Denmark, Kroner menjadi stabil dan tidak terjadi “rush” penarikan uang oleh deposan, maka Denmark mengubah suku bunga negatifnya sebanyak 3 kali sepanjang tahun 2015. Pada tanggal 16 Februari nanti, Denmark akan menetapkan suku bunga sebesar -0,75% (minus 0,75 persen) seperti yang terlihat di Grafik di atas.
Implikasinya, kalau orang Denmark pinjam uang dari bank, bukan hanya tak perlu bayar bunga saat mencicil hutang, tapi malah dapat uang dari pemerintah. Bagaimana ceritanya? Silahkan baca keterangan dibawah.
Hidup Dengan Bunga Bank Negatif
Tanggapan orang Denmark terhadap suku bunga negatif sangat beragam, tergantung “siapa” yang kita tanya. Ada yang biasa biasa saja, dan tentu saja ada yang “jengkel” karena harus “bayar” seandainya menyimpan uang, bukannya dapat “bunga.” Tapi jangan heran kalau ada yang “senang” dengan suku bunga negatif, siapa mereka?
Pada tahun 2008, terjadi “crash” terhadap nilai property Denmark. Nilai rumah mencapai titik terendah dan sektor konstruksi lesu. Suku bunga negatif, selain untuk menstabilkan nilai uang, juga ditujukan untuk sektor konstruksi.
Orang Denmark yang belum punya rumah, bisa pinjam uang dengan bunga negatif. Diutamakan bagi pembeli rumah pertama kali dalam hidupnya, biasanya pasangan muda. Nah mereka mereka inilah yang “happy” dengan bunga bank negatif, karena dengan minjam uang, kemudian saat bayar hutang, maka akan dapat duit.
Artinya, kalau mencicil rumah sebesar DK 1000 (Rp 2,04 juta) perbulan, karena bunga bank negatif 0,75 persen, maka akan dapat duit sebesar 7,5 Kroner (Rp 15,3 ribu). Meminjam dapat duit.
Sektor property yang lesu, tiba tiba bergairah. Harga rumah juga naik pesat sekitar 10% pertahun. Harga rumah sekarang lebih mahal 40% sampai 60% dibandingkan sebelum diberlakukannya bunga bank negatif tahun 2012.
Inflasi Dapat “Dijinakkan”
[caption caption="Grafik inflasi Denmark selama 18 tahun (Sumber: Tyler Durden, 2016)"]
Waktu krisis property dan krisis hutang negara negara Eropa, tingkat inflasi Denmark sempat “gonjang ganjing” (lihat Grafik di atas). Untuk mengontrol, bahkan menurunkan tingkat inflasi ini salah satu caranya adalah dengan "policy" bunga bank negatif.
Tingkat inflasi ternyata bisa mencapai target yang telah ditetapkan yaitu sebesar 0,5%. Bahkan pernah di bawah nol persen (deflasi) pada awal tahun 2015 lalu. Tingkat inflasi Denmark lebih rendah dibandingkan dengan Amerika Serikat (0,7%), Canada (1,6%), Australia (1,7%) dan Rusia (9,8%).
Kenaikan harga rumah yang rata rata 10% pertahun, tidak berpengaruh secara keseluruhan terhadap angka inflasi. Ketakutan terhadap tingginya inflasi ternyata tidak terjadi. Angka inflasi tetap bisa “dijinakkan.”
Bagaimana Dengan Negara Kita?
Bank Indonesia (BI) rate diturunkan dari semula 7,5% pertahun menjadi 7,25 %. Lebih rendah 0,25%. Tentu saja, tak perlu ikut ikutan bunga negatif seperti negara negara maju di atas.
Perlu diingat, ketika harga minyak menyentuh angka dibawah AS$40, pemerintah kehilangan “revenue” dari pajak sektor migas. Penerimaan negara yang “hilang” ini cukup besar, yaitu sekitar 20,24 milyar dolar (Rp 283 Triliun). Dengan harga minyak lebih rendah seperti sekarang, tentu saja penghasilan negara yang hilang akan bertambah besar.
Rendahnya harga minyak memang “menguntungkan” konsumen, tetapi tidak untuk penerimaan pemerintah dan perusahaan minyak. PHK terjadi di perusahaan Chevron. Dan dikuatirkan akan terjadi di perusahaan perusahaan lain.
Untuk mengantisipasi ini, ada baiknya pemerintah mempertimbangkan “bunga rendah” atau malah nol untuk sektor sektor yang padat karya seperti pertanian, peternakan dan perikanan. Diharapkan akan mampu menggairahkan sektor ini, dan bisa dijadikan “buffer” untuk buruh yang terkena PHK di sektor lain. Hal ini sudah terjadi ketika krisis tahun 1998 lalu, dimana pertanian sebagai "juru selamat"
Apa perlu belajar dari Denmark?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H