Sore ini aku dan Roni temanku ngopi di warkop samping jalan. Menghangatkan tubuh sambil menunggu hujan reda. Di antaranya kami ngobrol banyak hal.Â
"Hidup sederhana dan bermanfaat, setidaknya itulah yang aku cita-citakan kelak. Kalaupun mendapatkan lebih, ya disyukuri". Temanku Roni berkata
"Mengapa begitu?".
"Manusia dari dulu kan seperti ini saja. Ada yang di atas ada yang di bawah. Dari dulu seperti itu. Yang di atas mengatur yang di bawah ingin berontak karena aturan yang dirasa tidak cocok. Dari dulu seperti itu. Ada yang bersenang-senang sementara ada juga yang melarat gak ketulungan. Dari dulu seperti itu. Dan untungnya keadaan seperti ini hanya kita alami kurang lebih enam puluh lima tahun". Dia akhiri perkataannya dengan menyeruput kopi hangat.
"Tidakkah kau ingin sesuatu yang besar? Kan cita-cita harus setinggi langit?". AKu bertanya kepadanya
"Ah tidak.. itu cuma omong kosong guru SD dulu" dia menimpaliku singkat.
"Tidak begitu Ron, Kau harus punya impian tinggi. Setidaknya jika tak tergapai, kau masih akan tergantung di ketinggian itu?" Ku timpal balik.
"Tidak begitu juga Ri, Sebenarnya aku bisa mencapai impian tinggu itu. Tapi di ketinggian sana, aku merasa tidak aman."Â
"Kenapa ? Kau takut jatuh ?" ku tanya dia.Â
"Bukan masalah jatuh ke bawah kemudian sakit di sekujur tubuh. Kau tahu, di atas sana terlalu silau. Mungkin terkadang juga panas. Dan akibatnya, di sana banyak orang yang matanya menjadi kabur. Dan di sana, mereka hanya sibuk berteduh merawat wajah dan kulit, sehingga tidak ada yang menjaga hatinya. Hatinya menjadi rapuh" Roni menjelaskan pendiriannya kepadaku.
Wow.. aku hanya bisa tertegun mendengarnya. Meskipun aku yang yakin yang dia maksud tidaklah semua orang yang di atas sana.