Mohon tunggu...
Teresa Shinta
Teresa Shinta Mohon Tunggu... Lainnya - Siswa SMAN 28 Jakarta

Siswa SMAN 28, Kelas XI MIPA 1, Absen 33

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Percakapan di Kedai Kopi

1 Desember 2020   10:46 Diperbarui: 1 Desember 2020   10:53 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pinterest/Ambient Mixer

Sore itu, percakapan kecil para pengunjung dan aroma kopi dalam kedai kopi langgananku dan papa menemani waktu kami. Kala itu, kedua kakak perempuanku tengah pergi mencari sesuatu di salah satu pusat perbelanjaan yang sering kami datangi tersebut. Papa yang sudah tidak terlalu kuat berjalan jauh pun memutuskan untuk duduk di kedai kopi langganannya, ditemani olehku yang saat itu juga sudah lelah berjalan.

Aku dan papa memutuskan untuk duduk berhadapan di sebuah meja bundar dengan minuman yang  tergenggam di tangan kami. Keheningan menyelimuti kami untuk beberapa saat, hingga akhirnya aku pun memutuskan untuk memulai percakapan. Hubunganku dan papa tidak sedekat itu sebelumnya, rasa kaku masih bisa terasa jelas antara kami. Namun, sejak kepergian mama, setidaknya lebih banyak percakapan yang kami lakukan. 

Terkadang aku berpikir bagaimana perasaan papa yang ditinggalkan mama secara mendadak. Aku pun sedih kala ditinggal, tapi aku tahu tentu ada perbedaan rasa sedih antara aku dan papa. Kadang papa tiba-tiba mengeluarkan air mata kala teringat mama. Setiap kami mengunjungi makam mama pun, papa selalu mengeluarkan emosinya. 'Bahagialah kau, Ma,' kata-kata yang selalu papa ucapkan kala kami mengunjungi mama.

Percakapan kami di kafe selalu berputar di sekitaran topik yang sama. Cerita papa saat masih kecil, pendidikan dan pekerjaannya, dan harapannya untuk aku dan kakak-kakak. Kadang papa sedih karena teringat mama di tengah-tengah percakapan. Tak jarang air mata mengancam untuk jatuh keluar dari mata papa. Kadang, aku bertanya-tanya, apa papa bahagia dengan hidupnya sejak kepergian mama?

Kalimat-kalimat yang papa katakan pada percakapan kami kala itu menjawab semua pertanyaan di pikiranku.

"Kalian semua harus sukses. Biar bangga papa sama mama. Cuma kalian tujuan hidup papa sekarang," kata papa.

"Iya, Pa," jawabku.

"Hanya kalianlah kebahagiaan bapak. Semua milik bapak buat kalian, asal kalian sekolah tinggi-tinggi. Rajin-rajinlah kalian belajar," ucap papa.

"Iya, Pa. Doain kami semua sukses ya, Pa," pintaku.

Papa menggangguk sambil menjawab, "Pasti bapak doakan."

Bahkan di hari kami mengantar mama ke tempat peristirahatannya pun papa mengatakan hal yang sama. Bahwa hanya kamilah tujuan hidupnya sekarang.

Kadang sifat papa sangat memberi tekanan pada aku dan kakak-kakak. Tumbuh di lingkungan yang sulit, dan juga megingat profesinya dulu sebagai tentara yang tegas, kadang aku merasa papa tak terlalu mengerti perasaanku dan kakak-kakak. Tak jarang ia marah karena hal kecil, menaikkan nada suara, bisa dibilang membentak kami. 

Aku sering merasa sangat kesal kepada papa. Tapi, saat-saat seperti saat inilah yang membuat aku tidak bisa benci sepenuhnya pada papa. Membicarakan hal kecil, rencana masa depan, sampai mengenang mama bersama. Di saat kami bercengkerama seperti itu, aku juga teringat kembali kenangan-kenangan bahagia lainnya. Liburan ke kampung bersama, makan malam bersama, hingga natal terakhir kami bersama mama.

Pada akhirnya, setelah cobaan dan duka yang harus kami hadapi di tahun 2019 lalu, hanya kami yang bisa memberi hiburan hati pada satu sama lain. Kami melalui semua bersama, menghibur dan mendoakan satu sama lain. Pernah sekali waktu aku sedih karena di ulang tahun aku yang ke tujuh belas nanti, tidak akan ada lagi mama yang mendampingi.

"Aku sedih deh. Ulang tahunku yang ke tujuh belas nanti udah gak ada mama," keluhku sedih.

Sambil menggenggam tanganku, papa berkata, "Kan masih ada papa."

Hal itu cukup menghibur aku, meski pada akhirnya papa tak menepati kata-katanya.

Kenangan di kedai kopi itu merupakan salah satu percakapan panjang terakhir aku dengan papa. Lebih dari setahun berlalu sejak kepergian mama, akhirnya papa menyusulnya ke pangkuan Tuhan. Bersama dengan kesedihan ditinggal yang aku rasakan, sisi lain hatiku sebisa mungkin merelakan. Papa sudah tidak akan meneteskan air mata lagi. Papa dan mama sudah bersama, menjadi pendoa bagi kami anak-anaknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun