Kadang sifat papa sangat memberi tekanan pada aku dan kakak-kakak. Tumbuh di lingkungan yang sulit, dan juga megingat profesinya dulu sebagai tentara yang tegas, kadang aku merasa papa tak terlalu mengerti perasaanku dan kakak-kakak. Tak jarang ia marah karena hal kecil, menaikkan nada suara, bisa dibilang membentak kami.Â
Aku sering merasa sangat kesal kepada papa. Tapi, saat-saat seperti saat inilah yang membuat aku tidak bisa benci sepenuhnya pada papa. Membicarakan hal kecil, rencana masa depan, sampai mengenang mama bersama. Di saat kami bercengkerama seperti itu, aku juga teringat kembali kenangan-kenangan bahagia lainnya. Liburan ke kampung bersama, makan malam bersama, hingga natal terakhir kami bersama mama.
Pada akhirnya, setelah cobaan dan duka yang harus kami hadapi di tahun 2019 lalu, hanya kami yang bisa memberi hiburan hati pada satu sama lain. Kami melalui semua bersama, menghibur dan mendoakan satu sama lain. Pernah sekali waktu aku sedih karena di ulang tahun aku yang ke tujuh belas nanti, tidak akan ada lagi mama yang mendampingi.
"Aku sedih deh. Ulang tahunku yang ke tujuh belas nanti udah gak ada mama," keluhku sedih.
Sambil menggenggam tanganku, papa berkata, "Kan masih ada papa."
Hal itu cukup menghibur aku, meski pada akhirnya papa tak menepati kata-katanya.
Kenangan di kedai kopi itu merupakan salah satu percakapan panjang terakhir aku dengan papa. Lebih dari setahun berlalu sejak kepergian mama, akhirnya papa menyusulnya ke pangkuan Tuhan. Bersama dengan kesedihan ditinggal yang aku rasakan, sisi lain hatiku sebisa mungkin merelakan. Papa sudah tidak akan meneteskan air mata lagi. Papa dan mama sudah bersama, menjadi pendoa bagi kami anak-anaknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H