Di Sumatera Barat, baru baru ini, Inspektur Jenderal Polisi Fakhrizal baru saja menyerahkan berkas dukungan politik untuknya sebagai salah seorang kandidat peserta Pilkada Sumbar kepada KPU. Fakhrizal yang sebelumnya menjabat sebagai Kapolda Sumbar menyerahkan puluhan box berisikan surat dukungan pencalonannya sebagai Calon Gubernur Sumbar.
Menariknya, dukungan yang diserahkan Fakhrizal itu adalah dukungan yang dikumpulkan saat ia masih menjadi anggota Polri aktif dan menjabat sebagai Kapolda. Namun entah mengapa, tidak ada satupun pihak yang menolaknya. Jangankan memprotes menolak, bersuara mengingatkan-pun tidak ada. Fakhrizal dan Genius melenggang mengumpulkan KTP dukungan ke masyarakat.
Jika mengacu pada UU Polri Nomor 2 Tahun 2002 Pasal 28 Ayat 1 yang berbunyi "Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis". Pasal itu secara jelas dan tegas mengatur bahwa anggota Polri tidak dibenarkan terlibat dalam politik praktis dalam bentuk apapun.
Tentu saja keikutsertaan Fakhrizal ini membuat saya merasa ada yang salah. Sebab, proses pengumpulan KTP yang dilakukan Fakhrizal dan melibatkan beberapa anak anak muda itu dilakukan pada saat ia masih aktif sebagai anggota Polri dan menjabat sebagai Kapolda.
Ini jelas Abuse of Power. Fakhizal jelas telah melanggar UU tentang korpsnya sendiri. Ia tidak hanya mengabaikan dan melanggar UU, namun juga mengabaikan etika sebagai seorang perwira tinggi Polri. Â
Dalam sebuah berita di CNNIndonesia, Peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengkritik Polri dan menyebutkan bahwa telah terjadi ketidakpatutan anggota Polri yang telah ikut serta terlalu masuk ke ranah politik.
Sementara itu, Direktur Imparsial Al Araf juga menyoroti keikutsertaan anggota Polri atau TNI aktif dalam Pilkada. Keikutsertaan mereka dikhawatirkan menimbulkan abuse of power atau memobilisasi pengaruhnya untuk memenangkan politik praktis.
"Pemasangan atribut politik dilarang bagi anggota Polri dan TNI pada saat mereka masih beranggotakan aktif. Sejatinya keikutsertaan aparatur keamanan dalam politik telah mencederai era reformasi. Kita tidak ingin era orde baru terulang," katanya.
Saya sepakat dengan Khairul dan Al Araf, undang-undang tentang TNI dan Polri secara tegas melarang anggotanya berpolitik praktis. Sehingga tidak boleh melakukan langkah-langkah politik dalam pilkada dan tingkat pemilihan umum lainnya.
Zigzag dan alibi politik untuk mengakali UU Pilkada tentu tidak boleh dibiarkan dilakukan. Ini jelas mencederai demokrasi dan berdampak pada masa depan reformasi demokrasi itu sendiri.
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sejatinya adalah alat negara yang berperan dan bertugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Hal itu menjadi tugas pokok utama setiap anggota Polri mulai dari Bintara sampai Perwira Tinggi dengan bintang melekat di pundaknya.