Mohon tunggu...
Agus Syarifudin
Agus Syarifudin Mohon Tunggu... wiraswasta -

mengamalkan dan berbagi keilmuan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Garam Sebagai Komoditas Strategis Dunia dan Indonesia Dalam Sejarah

8 Juni 2013   08:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:22 1895
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Garam memiliki sejarah panjang sebagai komoditas strategis

[caption id="" align="aligncenter" width="194" caption="Garam memiliki sejarah panjang sebagai komoditas strategis"][/caption]

Garam telah mempengaruhi eksistensi manusia hampir dari awal. Pemukiman Neolitik berada di air garam. Kafilah berjalan kaki di gurun untuk perdagangan garam ons-ons untuk ditukar dengan emas(SaltInstitute).

Kemudian, kebanyakan budaya memiliki cerita rakyat dan bentuk seni yang didasarkan pada garam. Dan banyak budaya berbagi tradisi seperti menawarkan roti dan garam untuk menyambut pengunjung atau tamu kehormatan (SaltInstitute).

Signifikansi ekonomi dan militer garam yang dihasilkan kemitraan perdagangan atau pertempuran bersenjata. Dan ekonomi dan budaya mulai dari Sahara di Afrika Barat ke puncak Himalaya Nepal memberikan sekilas dari budaya perdagangan garam beberapa abad lalu(SaltInstitute).

Teks-teks agama dan liturgi sering menggunakan garam sebagai metafora.  Tentara Romawi dibayar sebagian dalam garam, yaitu sistem penggajian mereka. Eropa Abad Pertengahan berubah selamanya ketika nelayan mampu menangkap ikan cod dengan garam di Grand Banks Amerika Utara, sehingga mempertahankan mereka untuk menjualnya di Eropa. Garam terlibat dalam peristiwa bersejarah seperti gedung Erie Canal, Revolusi Perancis dan dorongan untuk kemerdekaan India dari penjajahan Inggris (SaltInstitute).

Garam telah memainkan peran penting dalam menentukan kekuatan dan lokasi kota-kota besar di dunia. Liverpool bangkit dari hanya port English kecil untuk menjadi pelabuhan ekspor utama untuk garam menggali di tambang garam Cheshire besar dan dengan demikian menjadi Entrepot untuk banyak garam dunia di abad ke-19(Kurslansky, 2003).

Garam terbukti menciptakan dan menghancurkan kerajaan-kerajaan. Polandia dengan komoditi dari tambang garam yang merupakan kerajaan besar di abad ke-16, hancur ketika Jerman membawa garam laut, yang sebagian besar dunia dianggap lebih unggul batu garam sebagai hasil tambang(Kurslansky, 2003).

Venice berjuang dan memenangkan perang dengan Genoa atas garam. Namun, Christopher Columbus dan Giovanni Caboto nantinya akan menghancurkan perdagangan Mediterania dengan memperkenalkan Dunia Baru ke pasar Eropa (Kurslansky, 2003).

Kota, negara dan keresidenan sepanjang jalan garam dituntut tugas berat dan dipunguti pajak saat rombongan komoditas garam melalui wilayah mereka. Praktek ini bahkan menyebabkan pembentukan kota, seperti kota Munich pada 1158, ketika kemudian Duke of Bavaria, Henry the Lion, memutuskan bahwa para uskup dari Freising tidak diperlukan lagi dalam pendapatan garam mereka. Gabelle, kelompok pembenci pajak garam Perancis- diberlakukan pada 1286 dan dipertahankan sampai 1790. Karena gabelle, garam umum adalah bernilai tinggi sehingga menyebabkan pergeseran populasi dan eksodus, dan juga menyebabkan tertariknya penjajah serta menyebabkan peperangan (Kurslansky, 2003).

Dalam sejarah Amerika dan India, garam telah menjadi faktor utama dalam peperangan. Dalam Perang Revolusi, Loyalis digunakan Inggris untuk mencegat pengiriman garam Revolusioner 'dan mengganggu kemampuan mereka untuk mengawetkan makanan. Selama gerakan kemerdekaan India, Mohandas Gandhi mengorganisir Salt Satyagraha protes untuk berdemonstrasi menentang pajak garam Inggris (Kurslansky, 2003).

[caption id="" align="aligncenter" width="240" caption="Garam di Indonesia memiliki nilai strategis dari kerajaan Hindu Budha, kolonial, hingga saat ini"][/caption]

Sejarah Garam Di Indonesia

Garam (wuyah) merupakan salah satu komoditas makanan dan bumbu-bumbuan yang dibawa para pedagang yang lebih profesional serta memiliki jangkauan yang lebih luas di Jawa (Rahardjo 2002:331; Nastiti 1995:88-89 dalam Sunjayadi, 2007).

Hal ini dapat ditemukan dalam prasasti abad IX-XV Masehi, dimana garam merupakan salah satu komoditi yang diangkut oleh transportasi air (Prihatmoko, 2011). Dalam hal ini garam yang diperoleh dengan cara kuno erat kaitannya dengan proses pengawetan ikan (ikan asin) pada masa itu (Sunjayadi, 2007).

Dilihat dari sejarah, produksi garam di Indonesia sebelum dikembangkannya pembuatan garam secara modern oleh Pemerintah Kolonial pada abad ke-19, hampir seluruhnya dikuasai orang Tionghoa. Pemerintah Kolonial lalu mengambil alih tambak-tambak garam besar yang terdapat di sekitar Gresik dan Sumenep (Madura) di Jawa Timur (Sunjayadi, 2007).

Tahun 1813, Raffles menyelenggarakan monopoli garam di seluruh daerah kekuasaannya, baik produksi maupun distribusi. Namun, karena kaum buruh garam, terutama di pantai utara Jawa seperti di Banten, Karawang, Cirebon dan Semarang berhasil mensiasati peraturan monopoli itu, maka pada tahun 1870 akhirnya pengusahaan garam dibatasi dengan sewenang-wenang pada Pulau Madura saja. Dengan alasan lebih mudah diawasi(Sunjayadi, 2007).

Kemudian pada awalnya pemerintah kolonial hanya membeli garam dari pembuat-pembuatnya dengan harga tetap, lalu mereka membuka perusahaan pada tahun 1918 dan pada akhirnya pada tahun 1936 mengambil alih seluruh produksinya(Sunjayadi, 2007).

Sistem yang dipakai ini masih berlangsung hingga sekarang. Para buruh membawa garam ke gudang. Lalu garam itu dibersihkan dan dibentuk briket sebelum didistribusikan. Garam itu berasal dari tambak garam yang luasnya kini kira-kira 6000 ha, terletak di berbagai tempat di pantai selatan, terutama di sebelah timur daerah Sumenep, 600 ha terletak di pantai Jawa, di sekitar Gresik. Sementara itu produksi tahunan dari waktu ke waktu berubah banyak, rata-rata ditaksir sebesar 50 ton per ha, kira-kira secara keseluruhan sebanyak 300.000 ton. Perusahaan itu mempekerjakan 5000 buruh tetap dan 15.000 buruh musiman (Lombard II 2000:98 dalam Sunjayadi, 2007).

Monopoli pemerintah kolonial tidak hanya di Jawa dan Madura, monopoli meluas ke beberapa distrik di Sumatra dan hampir seluruh Borneo (Kalimantan). Sementara itu di barat daya Sulawesi pembuatan garam masih berada di tangan pihak swasta (Handbook of the Netherlands Indies1930:121 dalam Sunjayadi, 2007). Pada jaman Jepang ketika produksi garam di Pulau Jawa berhenti, penduduk Sumatra ramai-ramai merebus air laut untuk mendapatkan garam. Pada 1957 monopoli garam dihapus. Garam negara pun berubah menjadi perusahaan negara pada 1960 (Cribb 2004: 382 dalam Sunjayadi, 2007).

Referensi

Kurlansky, M., (2003). Salt: A World History. Penguin Books, New York: 484 hlm.

Prihatmoko, H. (2011).  Pengelolaan transportasi air abad X sampai XV masehi di Jawa Timur berdasarkan prasasti. Skripsi. Universitas Indonesia, Depok: 117 hlm.

Salt Instutute. 23 Mei 2013. <http://www.saltinstitute.org/Uses-benefits/Salt-in-history>

Sunjayadi, A. (7 Desember 2007). “Bagai sayur kurang garam: kisah garam di nusantara. Dipresentasikan dalam Seminar Kuliner Bangsa-Bangsadengan temaMakanan dan Identitas Budaya, Departemen Kewilayahan FIB UI Depok 6 Desember 2007. 6 Juni 2017.  <http://sunjayadi.com/2007/12/page/2>

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun