Mohon tunggu...
Inovasi

Revolusi Pancasila, Kunci Revolusi Mental

2 Februari 2016   12:58 Diperbarui: 2 Februari 2016   13:43 554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Revolusi Pancasila | Dr. Yudi Latif | 
Mizan, Jakarta | 2015 | ISBN:978–979–433–889–6

[caption caption="Revolusi Pancasila--Yudi Latif "][/caption]Indonesia, yang dikenal sebagai negeri ‘zamrud khatulistiwa’ telah merayakan 70 tahun kemerdekaan. Telah tujuh dekade bangsa ini merdeka, sejak 17 Agustus 1945. Merdeka dengan penuh perjuangan: tangis air mata, keringat dan darah dari warga negeri ini. akan tetapi, setelah 70 tahun proklamasi yang didengungkan Soekarno-Hatta, ternyata tidak seluruhnya warga negeri ini menikmati kemerdekaan. Bangsa ini belum sepenuhnya merdeka, karena penjajahan ekonomi, politik, pertahanan dan kebudayaan menjadi catatan pedih di sekujur tubuh bangsa ini. 

Penjajahan di tengah kemerdekaan ini, dalam amatan Yudi Latif, karena bangsa ini belum sepenuhnya memiliki mental yang kuat serta jati diri yang kokoh. Melalui buku ini, Revolusi Pancasila, Yudi Latif ingin mengajak bangsa Indonesia untuk mengenali kembali karakter, keunggulan, dan semangat perjuangan warga negeri ini. Selain membangun karakter, juga menguatkan mental dan mengokohkan benteng moral. Dengan demikian, bangsa Indonesia akan mampu bersaing di tengah kompetisi global, sebagai bangsa besar dengan kepribadian yang besar.

Buku Revolusi Pancasila, merupakan trilogi paripurna dari dua edisi sebelumnya: “Negara Paripurna; Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila” (2013), “Mata Air Keteladanan; Pancasila dalam Perbuatan” (2014). Dalam Negara Paripurna, Yudi Latif mengelaborasi pondasi kokoh ideologi bangsa. Pancasila, yang selama ini hanya dikenal sebagai monumen dokumentatif dan politik, ditafsir ulang dengan penyegaran argumentasi, yang memberikan pemahanan utuh atas ideologi bangsa. Sebagaimana dirumuskan oleh para pendiri bangsa (founding fathers), Pancasila merupakan konsep ideal bagi kerangka ideologis bangsa Indonesia yang berkarakter kebinekaan. Konsep ‘Bhinneka Tunggal Ika’ yang bersanding dengan ideologi Pancasila, menjadi rumusan argumentatif dan rasional untuk menguatkan kembali jati diri bangsa Indonesia. Lima sila dalam Pancasila, memiliki konteks sejarah, rumusan nilai hingga strategi eksekusi yang membentuk mental bangsa Indonesia, dari konsep ketuhanan hingga dialog antar kebudayan. Dari konsep permusyawaratan hingga legitimasi keadilan.

Sementara, dalam buku kedua, “Mata Air Keteladanan” Yudi Latif melacak fragmen-fragmen tindakan para tokoh bangsa yang menginspirasi, dari Aceh sampai Papua. Paham kebangsaan dan kiprah kemanusiaan dari tokoh lintas ideologi, agama, dan etnis yang tersebar di seluruh Indonesia, merupakan manifestasi ideologi dan ekspresi aksiologis untuk menghadirkan Pancasila dalam pikiran, pemahaman sekaligus tindakan.

Selanjutnya, dalam buku Revolusi Pancasila, Yudi Latif mengajak kepada seluruh bangsa Indonesia untuk tidak lagi ragu akan kekuatan moral dan mental yang membentuk bangsa ini. Rumusan Pancasila perlu dimaknai kembali dengan konteks sosial-politik masa sekarang, akan bermakna produktif untuk mengembangkan spirit kepemimpinan bangsa pada saat ini.

Revolusi Ideologi

Kenapa bangsa yang telah 70 tahun merdeka, seakan sulit berkembang dan kalah bersaing dari bangsa-bangsa lain di level internasional? Menurut Yudi Latif, karena bangsa ini tidak memiliki kepercayaan diri dan komitmen untuk bergerak dengan landasan ideologi yang telah dirumuskan oleh pendiri bangsa. Mental bangsa ini lemah, karena cengkeraman kolonialisme yang berlarut-larut dan pragmatisme politik yang terjebak pada hedonisme, bukan mental produktif. “Lemahnya mentalitas kepribadian membuat kebudayaan bangsa ini tak memiliki jangkar karakter yang kuat. Tanpa kekuatan karakter, Indonesia adalah bangsa besar bermental kecil; bangsa besar yang mengidap perasaan rendah diri” (hal. 103).

Mental kerdil bangsa ini, karena pondasi ideologi yang menjadi tumpuan masih goyah karena kepentingan politik. “Konsepsi teoretis Pancasila menerima bahwa basis material menentukan kerangka mental, tapi tidak bersifat otomatis. Ketika basis berubah, superstruktur tidak akan berubah secara otomatis seperti yang dikehendaki. Keberhasilan revolusi proletar tidak otomatis menghabisi mental despotik dan mental koruptif dari superstruktur borjuis sebelumnya.” Untuk itu, perlu ada revolusi dalam pemahaman kerangka ideologis bangsa. “Teori revolusi Pancasila menghendaki model teori yang dinamis-interaktif: bahwa basis dan superstruktur bisa saling mempengaruhi, dan oleh karena itu, revolusi material (pada basis) harus berjalan seiring dengan revolusi mental (pada superstruktur). Relasi interaktif antara kedua sayap revolusi itu menghendaki adanya mediasi dari kekuatan agensi” (hal. 88–9).

Dalam hal ini, Yudi Latif mengingatkan kembali tentang kemandirian dan kedaulatan bangsa Indonesia. Kemandirian ekonomi, kedaulatan politik, dan kepribadian dalam kebudayaan merupakan prasyarat utama yang perlu diinternalisasi oleh bangsa ini. Pancasila sudah memberikan landasan sistem ekonomi, yang berasaskan pada kultur warga negeri ini. “Secara ontologis, keberadaan sistem ekonomi Pancasila berjejak pada Pancasila sebagai landasan idealnya dan UUD 1945 sebagai landasan konstitusionalnya. Secara epistemologis, sistem ekonomi Pancasila berangkat dari konsepsi paradigmatis yang menempatkan keadilan ekonomi dalam kerangka keseimbangan antara dimensi manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, antara hak dan kewajiban, antara dimensi jasmani dan rohani, antara pemenuhan hak sipil dan politik dengan hak ekonomi, sosial dan budaya. Secara aksiologis, sistem ekonomi Pancasila bersangkut pada fakta empiris kesenjangan sosial dan ketidaksempurnaan pasar, yang ingin mengatasinya dengan cita-cita tolong menolong secara kekeluargaan (kooperasi)” (hal. 127).

Dengan menguatkan kembali karakter, mengokohkan mental dan meneguhkan moral, bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang mampu berkompetisi sebagai bangsa besar. Dalam konteks ini, merevolusi ideologi bangsa, menyegarkan Pancasila merupakan keharusan. Petuah Bung Karno, pada 1958, masih terasa berdengung: “Pancasila adalah suatu alat pemersatu, yang saya yakin seyakin-yakinnya Bangsa Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke hanyalah dapat bersatu pada di atas dasar Pancasila itu.”Kita, penerus para pejuang bangsa, perlu menghadirkan Pancasila dalam tindakan, dengan segenap kecintaan, untuk mencapai kemerdekaan dan kedaulatan dalam arti yang sesungguhnya[].

Munawir Aziz (Twitter: @MunawirAziz)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun