[caption caption="Islam Amerika--Imam Feisal Abdul Rauf "]
[/caption]Bagaimana perkembangan agama Islam di Amerika pasca tragedi WTC 2001? Bagaimana dinamika, tantangan dan bahkan kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh seorang muslim imigran di negara modern serta kosmopolit sebesar Amerika? Bagaimana menjawab Islamophobia, serta menumbuhkan simpati warga Amerika terhadap penduduk muslim?
Buku karya Imam Feisal Abdul Rauf ini, menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan kisah yang menarik. Buku berjudul “Islam Amerika: Refleksi Seorang Iman di Amerika tentang Keislaman dan Keamerikaan” menjadi buku bacaan reflektif bagi siapa saja yang ingin melihat tantangan menjadi imigran muslim di negara sebesar Amerika.
Imam Feisal Abdul Rauf, merupakan seorang imigran yang berasal dari negeri muslim. Ia belajar dari Universitas al-Azhar, Cairo, Mesir, yang kemudian merantau ke Amerika untuk belajar, bekerja sekaligus berdakwah. Pada masa awal tinggal di Amerika, pada tahun 1960an, ia merasa menghadapi tantangan yang dahsyat, karena harus memegang prinsip dan etika menjadi muslim, sementara kehidupan liberal dan bebas orang Amerika pada waktu itu menjadi tantangan yang berat. Ia juga pernah kehilangan cinta, karena bercerai dengan istrinya. Imam Feisal, kemudian secara perlahan menemukan kembali semangat, cinta dan pengabdian hidupnya. Ia kemudian menjadi Imam Masjid di tengah hiruk pikuk orang Amerika.
Tantangan Menjadi Muslim
Dalam refleksi Imam Feisal, ia telah mengalami masa-masa sulit ketika kaum imigran muslim terdiskriminasi di Amerika. “Selama empat puluh lima tahun terakhir, saya menyaksikan pertumbuhan dan perkembangan Islam di negeri in. Saya juga sering membayangkan bagaimana pengalaman para migran, imigran dan kelompok keimanan pendahulu generasi saya di sini, yang tentu saja menjadi penentu masa depan kaum muslim di Amerika”, tulisnya.
Umat Katolik Irlandia, pernah menghadapi diskriminasi brutal dan mengalami beberapa kali kerusuhan hanya karena mereka adalah orang Irlandia penganut Katolik yang hidup di sebuah negara berpenduduk mayoritas Protestan dan didirikan oleh pribumi Inggris. Orang-orang Yahudi di Eropa Timur, pernah mengalami diskriminasi beragama dari umat Katolik dan Protestan serta diskriminasi etnis dari penduduk asal Eropa Utara dan Barat. Sementara, orang-orang Asia, Meksiko, dan Latin menderita diskriminasi etnis, lingustik, dan rasial, yang sering tertulis dalam hukum Amerika (hal. 291).
Menurut Imam Feisal, usaha yang tidak menyerah dari kaum muslim Amerika untuk mewartakan kebaikan dan solidaritas, akhirnya berbuah hasil. “Kaum muslim di Amerika dewasa ini tengah berproses mengembangkan sebuah identitas kultural dan institusional ala Islam Amerika. Kami tengah berevolusi dari status kaum muslim imigran di Amerika — baik dalam enklave etnis ataupun keagamaan — menjadi kaum muslim Amerika. Proses demikian terjadi secara natural ketika kami berupaya memadukan aturan-aturan keagamaan kami ke dalam hukum negara ini, dengan tetap berpegang pada sejarah perkembangan dan keberlanjutan pemikiran hukum Islam (hal. 229–290).
Negara Islam, atau Karakter Muslim?
Imam Feisal dalam buku ini, merefleksikan bagaimana dirinya berusaha untuk menyemai perdamaian, cinta kasih dan sikap toleran dari Islam kepada seluruh penduduk Amerika. Ia sering memberi ceramah lintas agama, berbicara di pelbagai seminar, dan menjadi duta untuk kebaikan, bagi warga Amerika.
Mengenai perkembangan sebagian kelompok muslim, yang ingin mendirikan Negara Islam, Imam Feisal menyatakan bahwa hal ini merupakan cita-cita yang tanpa makna. “Negara Islam adalah gerakan politik ciptaan umat Islam yang kurang memahami hakikat hukum Islam. Kurangnya pengetahuan ini menimbulkan banyak penderitaan dan ketidakalidan. Terpisahnya Pakistan dari India pada 1947 mengakibatkan tewasnya setengah juta jiwa dan telah meracuni hubungan Hindu-Muslim hingga kini. Pemisahan lain yang berbuntut terbentuknya negara Yahudi Israel pada abad 1948 juga memicu munculnya sikap kebencian terhadap minoritas Yahudi di negara-negara mayoritas Muslim Timur Tengah. Perpecahan Sudan pada 2011 yang menetapkan daerah utama sebagai kawasan muslim, dan kawasan selatan sebagai wilayah non-muslim sedikit banyak, disebabkan oleh penyusupan Islam ke dalam politik negeri itu, pada dasawarnya 1970 hingga 1980an” (hal. 264–265).
Ia menambahkan, bahwa keinginan setiap kaum muslim sebenarnya adalah mendapat pengakuan dari negara, serta dapat hidup yang nyaman untuk beribadah.”Sebagai seorang muslim Amerika yang pernah hidup di masyarakat yang berbeda-beda, baik di Dunia Muslim maupun non-Muslim, saya memahami bagaimana nilai-nilai Muslim telah mengilhami wacana politik global dan gerakan reformasi. Saya juga pernah melihat secara langsung bagaimana persilangan antara agama dan politik serta kebutuhan akan adanya eksplorasi yang lebih mendalam dan sistematis tentang relasi mutualistik antara Islam, politik dan negara terjadi” (hal. 266).
Pada 2003, Imam Feisal menggagas Shariah Index Project, yang bertujuan untuk menghasilkan kesepakatan di antara pada ahli hukum, tentang seperti apakah kiranya negara Islam abad 21, menurut sudut pandang syariat. Imam Feisal beserta timnya, bekerja keras menciptakan indeks untuk menakar loyalitas negara-negara terhadap syariat. Setelah itu, ia beserta timnya mengurutkan negara Muslim dan non-Muslim yang sistem politiknya paling banyak menerapkan nilai-nilai Islam yang sejati.
Bagaimana hasil Shariah Index Project yang digagas Imam Feisal? Ternyata, dari hasil survey di beberapa negara, rujukan tentang konsep khilafah atau sistem negara muslim, tidak jelas. “Saya menemukan bahwa banyak kepala negara Muslim sedang mencari berbagai kriteria untuk menentukan kesetiaan negara terhadap prinsip-prinsip syariat yang kemudian diumumkan kepada publik. Di hampir setiap bangsa berpenduduk mayoritas muslim, selalu ada satu atau beberapa partai politik yang berniat mendirikan negara Islam. Sayangnya, hanya sedikit, atau bahkan tidak ada konsensus resmi tentang konsep negara Islam ideal yang mereka inginkan” (hal. 267).