Akhir-akhir ini saya kesal karena semakin merebaknya bahan makanan frozen instan. Apalagi kalau sampai jadi pilihan utama buat orang rumah. Maka dari itulah saya seringnya mengajak anak-anak wisata ke destinasi dengan suasana desa yang memiliki jenis varian makanan yang unik khas nusantara.
Siapa yang tidak suka kuliner saat wisata? Wisata apapun kurang lengkap tentunya tanpa kuliner. Gastro Tourism istilahnya.
Mengutip Global Report on Food Tourism oleh United Nations World Tourism Organization (UNWTO), Wisata Gastronomi adalah pengalaman wisata yang melibatkan makanan beserta unsur penting yang menyertainya , dengan pengalaman yang dirasakan harus memiliki unsur atau kriteria sebagai berikut: makanan sebagai gaya hidup lokal (dengan resep-resep tradisionalnya), budaya dan sejarah, bahan makanan lokal, cerita dibalik makanan, sehat dan mengandung nutrisi.
Jika melihat ragam rupa dari kekayaan bahan lokal yang dimiliki maka sudah seharusnya Indonesia dapat menjadi salah satu negara gastronomi terkaya di dunia, yang manfaat ekonominya diperoleh melalui wisata gastronomi.
Pernah saya mengunjungi Curug Cibareubey di Subang (sebelum Ciater) yang di kelola oleh Perum Perhutani, KPH Bandung Utara. Untuk mencapai Lokasi curug ini harus berjalan kaki di jalan setapak melewati desa, sawah, sungai dan hutan. Sesampainya di Lokasi rasa puas semakin memuncak karena bisa memesan satu paket nasi liwet beserta atributnya ke masyarakat desa. Jengkol, peteuy, leunca, poh-pohan, kemangi, sambel, dll. Fresh from the oven.
Sudah menjadi Pasal 1 bahwa Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang sangat kaya, termasuk hutan tropis yang menyimpan sumber daya pangan potensial. Oleh karena itu, sudah pas tentunya bahwa gastronomi hutan, yang mengacu pada pemanfaatan bahan pangan dari hutan untuk keperluan kuliner, dapat memberikan peluang besar untuk mendukung ketahanan pangan nasional.
Konsep Gastronomi Hutan ini mencakup pemanfaatan sumber daya lokal yang berkelanjutan, melibatkan masyarakat lokal dan atau adat, serta menjaga kelestarian lingkungan.
Tanpa kita sadari potensi pangan dari hutan yang merupakan Hasil Hutan Bukan Kayu sangat melimpah. Contohnya buah-buahan seperti durian, rambutan, manggis, dan jambu air dapat ditemukan di dalam hutan dan dimanfaatkan sebagai sumber pangan.
Berbagai jenis sayuran sertabahan pangan lain untuk sumber protein hewani. Hutan juga kaya akan rempah-rempah seperti kayu manis, kapulaga, dan pala yang semula tumbuh secara alami di hutan dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi.
Banyak bahan pangan dari hutan memiliki kandungan gizi yang kaya, seperti antioksidan, vitamin, dan mineral, yang dapat memenuhi kebutuhan gizi masyarakat.
Kekayaan ragam bahan kuliner dari hutan sering kali terkait erat dengan tradisi dan kearifan lokal masyarakat adat yang dapat memperkaya budaya kuliner nasional.
Gastronomi hutan dapat memperluas pilihan pangan masyarakat, sehingga tidak hanya bergantung pada bahan pokok seperti beras, jagung, dan gandum. Dengan memanfaatkan sumber daya lokal, masyarakat dapat mengurangi ketergantungan pada impor bahan pangan. Pemanfaatan bahan pangan hutan yang kadang terlupakan juga dapat mengurangi potensi limbah dan meningkatkan efisiensi sumber daya.
Pengembangan produk gastronomi hutan dapat menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat adat serta komunitas lokal. Â Dengan pendekatan yang berkelanjutan, pemanfaatan gastronomi hutan dapat mendorong pelestarian ekosistem hutan dan keanekaragaman hayati.
Faktanya belum banyak masyarakat yang memahami potensi gastronomi hutan sebagai sumber pangan yang bernilai. Produk-produk gastronomi hutan sering kali sulit dijual di pasar yang lebih luas karena kendala logistik dan promosi.
Pengelolaan sumber daya hutan sering kali terhambat oleh kebijakan yang belum mendukung pemanfaatan pangan hutan secara optimal.
Kedepan sepertinya pemerintah perlu memperkenalkan gastronomi hutan sebagai bagian dari identitas kuliner Indonesia melalui festival, media, dan ekspor. Hal ini tentunya juga merupakan penghormatan terhadap kearifan lokal.
Gastronomi hutan Indonesia memiliki potensi besar dalam mendukung ketahanan pangan nasional melalui diversifikasi pangan, konservasi lingkungan, dan pemberdayaan ekonomi lokal. Dengan mengatasi tantangan yang ada dan menerapkan strategi yang tepat, gastronomi hutan dapat menjadi solusi inovatif untuk mengatasi tantangan ketahanan pangan di masa depan.
Gastronomi hutan, sebagai bagian dari pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, berkontribusi signifikan terhadap berbagai target dan indikator dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Pendekatan ini memadukan keberlanjutan lingkungan, peningkatan kesejahteraan sosial, dan pertumbuhan ekonomi, sehingga dapat menjadi strategi penting dalam mencapai agenda global SDGs.
Relevansi Gastronomi Hutan dengan SDGs  utamanya terlihat pada SDGs 2 Mengakhiri Kelaparan (Zero Hunger) dengan target Meningkatkan ketahanan pangan dan nutrisi. Indokator yang disasar yaitu proporsi populasi yang mengalami kerawanan pangan.
Gastronomi hutan menyediakan sumber pangan alternatif yang kaya nutrisi, seperti buah-buahan, sayuran, protein dari hewan liar, dan tanaman obat. Diversifikasi pangan ini membantu mengurangi ketergantungan pada sumber pangan utama seperti beras, yang rentan terhadap perubahan iklim.
Gastronomi Hutan juga memiliki relevansi dengan SDGs 3, Kesehatan dan Kesejahteraan yaitu pada target mengurangi penyakit akibat kekurangan nutrisi. Indikator yang disasar ialah Prevalensi stunting pada anak. Bahan pangan dari hutan kaya akan mikronutrien, vitamin, dan mineral yang penting untuk pertumbuhan dan kesehatan. Misalnya, daun kelor dan pakis mengandung zat besi dan kalsium yang mendukung kesehatan ibu dan anak.
Pada pilar ekonomi gastronomi hutan selaras dengan SDGs 8 Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi, yaitu mendukung target untuk pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan dengan indikator tingkat partisipasi kerja di sektor informal.
Gastronomi hutan dapat menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat lokal, termasuk petani hutan, pengolah pangan, dan pelaku usaha kuliner. Produk gastronomi hutan juga memiliki potensi ekspor, yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat adat dan lokal.
Pada pilar lingkungan, gastronomi hutan selaras dengan SDGs 12: Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab. Target yang didukung yaitu mencapai pengelolaan berkelanjutan sumber daya alam dengan indikator efisiensi penggunaan sumber daya alam.
Pengelolaan gastronomi hutan yang berbasis keberlanjutan mendorong pemanfaatan bahan pangan tanpa merusak ekosistem. Ini mencakup praktik pertanian agroforestri dan pengelolaan hutan berbasis komunitas atau Perhutanan Sosial.
Selain itu gastronomi hutan juga sejalan dengan SDGs 13: Penanganan Perubahan Iklim. Adapun target yang disasar ialah memperkuat ketahanan terhadap perubahan iklim dengan pemenuhan indikator yaitu strategi nasional untuk adaptasi perubahan iklim. Pemanfaatan sumber daya hutan sebagai pangan alternatif mengurangi tekanan pada sistem pertanian monokultur yang berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca. Praktik gastronomi hutan juga mendukung konservasi karbon melalui pelestarian hutan.
Selanjutnya gastronomi hutan erat kaitannya dengan SDGs 15: Kehidupan di Darat (Life on Land). Target yang disasar adalah melindungi, memulihkan, dan mendorong pemanfaatan berkelanjutan ekosistem darat. Gastronomi hutan mendorong pelestarian hutan dengan memberikan nilai ekonomi pada keberadaan ekosistem hutan. Pemanfaatan pangan dari hutan meningkatkan kesadaran akan pentingnya menjaga keanekaragaman hayati.
Gastronomi hutan memerlukan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat adat, sektor swasta, dan lembaga internasional. Kemitraan ini mencakup transfer teknologi, pengembangan kapasitas, dan promosi produk berbasis hutan. Oleh karena itu gastronomi hutan serta kaitannya dengan SDGs 17: Kemitraan untuk Tujuan (Partnership for the Goals).
Gastronomi hutan memiliki keterkaitan erat dengan berbagai target dan indikator SDGs, khususnya dalam aspek ketahanan pangan, pelestarian lingkungan, dan pembangunan ekonomi lokal.Â
Dengan mengintegrasikan pendekatan gastronomi hutan dalam kebijakan nasional, Indonesia dapat memaksimalkan manfaat dari sumber daya hutan untuk mencapai SDGs secara holistik dan berkelanjutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H