Dalam buku catatan ekspedisi berjudul "The Malay Archipelago" yang terbit satu setengah abad yang lalu, tepatnya tahun 1869, pada Bab 18 tentang "Sejarah Alam Celebes", sang penulis Alfred Russel Wallace menjelaskan secara epic tentang kekayaan alam Sulawesi.
Dia lah yang pertama kali mengungkapkan fenomena distribusi fauna Sulawesi yang unik dan tidak dapat ditemui baik di komplek kepulauan Indo-Melayu di barat maupun Papua di timur. Distribusi fauna di Kepulauan Nusantara tersebut menginspirasi Wallace untuk menggambar garis imajiner dan zona biogeografi, yang saat ini dikenal sebagai garis Wallacea.
Namun dalam bukunya Alfred Russel Wallace belum mengungkapkan tentang minuman tradisional asal Sulawesi bernama Sarabba. Mungkin terlewatkan, atau mungkin saya yang tidak menemukan catatannya.
Bisa jadi satu setengah abad yang lalu, dia juga sudah mencicipi yang namanya bandrek, bajigur, teh talua, bir pletok, wedang uwuh, sekoteng, wedang ronde, sarabba dan lain-lain. Berbeda-beda tapi tetap Nusantara.
Sarabba adalah minuman tradisional khas Sulawesi yang terbuat dari campuran jahe, gula aren, dan beberapa bahan rempah lainnya seperti kayu manis, cengkeh dan mungkin juga lada. Namun di balik kekayaan khasiatnya sebagai penghangat tubuh, Sarabba tentunya memiliki nilai budaya yang tinggi di masyarakat lokal.
Tulisan ini Saya buat saat sedang menikmati secangkir Sarabba. Minuman tradisional yang saya beli langsung dari kelompok Perempuan di desa Sedoa, Lembah Napu, Sulawesi Tengah.Â
Fresh from the oven. Menyeruputnya selagi panas sembari menghirup aroma rempahnya seakan memberikan rasa nyaman yang menjalar keseluruh tubuh.