Di tengah isu ancaman Triple Planetary Crisis atau tiga krisis planet yang saling terkait, yang digaungkan oleh UNFCC[1]; diantaranya perubahan iklim, berkurangnya keanekaragaman hayati, serta polusi dan limbah yang saat ini dihadapi oleh seluruh umat manusia, maka inovasi dalam investasi hijau seperti ekonomi sirkular tampaknya bisa menjadi jawaban berbagai permasalahan global ke depan.
Ekonomi sirkular bertujuan untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi dengan mempertahankan nilai produk, bahan,  dan sumber daya dalam perekonomian selama mungkin, sehingga meminimalkan kerusakan sosial dan lingkungan yang  disebabkan oleh pendekatan ekonomi lama yang linier. Bukan hanya berupa pengelolaan limbah yang lebih baik dengan lebih banyak daur ulang, ekonomi sirkular mencakup serangkaian intervensi yang luas di semua sektor ekonomi. Aktivitas  ekonomi sirkular difokuskan pada 5R: Reduce, Reuse, Recycle, Refurbish, dan Renew.[2]
Saat ini strategi investasi dengan mempertimbangkan transisi ke ekonomi sirkular bukan hanya merupakan keharusan, tetapi juga peluang untuk pertumbuhan dan pembangunan berkelanjutan. Berinvestasi dalam ekonomi sirkular bukan hanya pilihan etis, tetapi termasuk langkah strategis dan menguntungkan. Dengan menyelaraskan strategi investasi dengan prinsip sirkular, kita dapat mendorong perubahan positif, memitigasi risiko lingkungan, dan mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Ekonomi sirkular mempromosikan sistem regeneratif di mana produk dan bahan dirancang untuk digunakan kembali, didaur ulang, dan diregenerasi. Inilah yang disebut dengan closed loop, yaitu saat limbah produksi bisa dimanfaatkan oleh produksi lainnya.[3]
Secara alami, proses penguraian timbunan sampah di TPA akan mengeluarkan biogas berupa metana dan karbondioksida. Dengan tersedianya teknologi pengolahan sampah melalui PLTSa, dampak buruk unsur metana dan karbon dioksida bisa direduksi, untuk selanjutnya dikonversi menjadi energi terbarukan. Kehadiran PLTSa akan memperkuat ekonomi sirkular, membuka peluang tenaga kerja, menjadi sumber energi baru, mengurangi emisi karbon dan mengurangi timbulan sampah.
Melalui Peraturan Presiden No. 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan, pemerintah telah merencanakan untuk membangun proyek PLTSa di 12 daerah prioritas. Dalam pelaksanaanya, masih terdapat banyak tantangan yang harus diselesaikan agar PLTSa tersebut dapat beroperasi maksimal. Mengutip laporan tahunan Ombudsman RI tahun 2023, adapun tantangan dalam pembangunan PLTSa di beberapa daerah antara lain: kendala biaya yang tinggi; produksi listrik yang belum memenuhi kebutuhan; volume sampah yang dihasilkan dengan tingkat pengelolaan yang tidak sebanding.[1]
Diantara 12 lokasi PLTSa yang diagendakan oleh Pemerintah, pembelajaran tata kelola sampah dari hulu -- hilir di kota Solo bisa menjadi contoh untuk kemajuan investasi waste to energi di Indonesia. Kolaborasi kerja sama antara Pemerintah dengan badan usaha (bisnis) dalam tata kelola sampah melahirkan PLTSa Putri Cempo (PLTSa Solo) yang telah diresmikan pada 2023.
 Pada awal tahun 2024, Pemerintah Kota Solo meraih penghargaan Adipura dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).[2] Adipura merupakan agenda nasional yang telah bergulir sejak tahun 1986. Pemberian penghargaan Adipura dilakukan berdasarkan hasil pemantauan fisik kota, penilaian kinerja pengelolaan sampah dan ruang terbuka hijau (RTH), penilaian kondisi operasional dari TPA, serta melihat inovasi yang dilakukan daerah dalam mewujudkan kota bersih, teduh dan berkelanjutan. Melalui Program Adipura, Pemerintah kota dan kabupaten didorong menciptakan pola kerja pengelolaan sampah yang terpadu dari hulu ke hilir secara berkelanjutan, hingga mengendalikan efek gas rumah kaca.
Catatan Pembelajaran dari Tapak
Adapun tujuan dari penulisan artikel Investasi Sirkular Ekonomi: Wujud Mutualisme Tata Kelola Sampah di Tingkat Tapak (Pembelajaran dari PLTSa Putri Cempo, Solo) adalah untuk mengetahui sejarah dan peluang kedepan dari tata kelola sampah di Kota Solo hingga berhasil membangun PLTSa Putri Cempo yang telah resmi beroperasi serta mendapatkan Sertifikat Laik Operasi (SLO).
Pengumpulan data dan informasi dilakukan pada awal bulan maret 2024, melalui wawancara dan kunjungan (observasi) ke Dinas Lingkungan Hidup Kota Solo, Â UPTD TPA Putri Cempo, serta PLTSa yang lokasinya berada dalam blok yang terintegrasi dengan TPA Putri Cempo.