Mohon tunggu...
Khulfi M Khalwani
Khulfi M Khalwani Mohon Tunggu... Freelancer - Care and Respect ^^

Backpacker dan penggiat wisata alam bebas... Orang yang mencintai hutan dan masyarakatnya... Pemerhati lingkungan hidup... Suporter Timnas Indonesia... ^^

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Blended Finance untuk Ekonomi Kerakyatan Melalui Perhutanan Sosial

11 April 2024   11:36 Diperbarui: 11 April 2024   11:45 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam beberapa tahun terakhir, Blended Finance telah menjadi istilah umum dalam pembiayaan pembangunan. Secara sederhana, praktik ini mencoba untuk menggabungkan dana pembangunan resmi (oleh Pemerintah) dengan sumber daya swasta atau publik lainnya, untuk 'memanfaatkan' dana tambahan dari aktor lain. Dalam implementasinya, blended finance kerap digunakan untuk pembangunan infrastruktur fisik di negara berkembang.

Mengutip siaran pers oleh OJK RI di bulan April tahun 2018, secara umum blended finance dideskripsikan sebagai proses pembiayaan yang melibatkan pihak swasta  dan Industri Jasa Keuangan untuk mendukung proyek-proyek dalam pembangunan berkelanjutan dengan memadukan unsur keberlanjutan. 

Ide dasar dari blended finance adalah menciptakan skema pendanaan yang menarik bagi swasta dengan melibatkan pendanaan pemerintah dan lembaga internasional maupun filantropis yang bersifat soft loan, grant maupun guarantee mechanism. 

Di kancah global istilah blended finance memiliki banyak variasi definisi. Perbedaan ini bermula dari berbagai definisi yang dikembangkan oleh berbagai organisasi dan bergantung pada penekanan masing-masing organisasi itu sendiri. 

Meskipun demikian, hampir seluruh definisi oleh lembaga tersebut berkaitan dengan pendanaan berkelanjutan; dana tambahan untuk negara berkembang; dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Disadari atau tidak, adanya perbedaan cara pandang terhadap makna dan cara kerja blended finance, akan berpengaruh terhadap bagaimana hal ini bisa mendorong pembangunan. 

Beberapa kekhawatiran yang muncul misalnya, adanya blended finance tidak serta merta mendukung kegiatan-kegiatan yang berpihak pada masyarakat miskin, sering kali berfokus pada negara-negara berpendapatan menengah, dan mungkin memberikan perlakuan istimewa kepada perusahaan-perusahaan sektor swasta milik donor.

Kekhawatiran lain ialah proyek yang didanai mungkin tidak sejalan dengan rencana pembangunan nasioal, dan umumnya gagal memasukkan transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi pemangku kepentingan.

Salah satu prinsip yang menarik dari blended finance adalah pentingnya menyesuaikan dengan konteks lokal. Pembiayaan pembangunan harus dikerahkan untuk memastikan bahwa blended Finance mendukung kebutuhan, prioritas dan kapasitas pembangunan lokal, dengan cara yang konsisten serta berkontribusi pada pengembangan pasar keuangan lokal.

Selaras dengan Visi Indonesia Emas 2045 dan prinsip SDGs (agenda 2030), blended finance sebaiknya diarahkan pada pembangunan sumber daya alam hutan dan lingkungan Indonesia yang berkeunggulan komparatif dan kompetitif serta berkeadilan. 

Tujuannya adalah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, penyediaan lapangan kerja, pengentasan kemiskinan, dan memperkecil kesenjangan ekonomi wilayah atau gini ratio, serta memperkuat kapasitas masyarakat dalam aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Menurut PBB, isu perubahan iklim, pencemaran lingkungan dan kehilangan keanekaragaman hayati  telah menjadi 3 ancaman krisis untuk bumi ke depan. 

Oleh karena itu penentuan proyek melalui blended finance haruslah yang benar-benar memberikan dampak baik bagi pilar lingkungan, pilar sosial, pilar ekonomi dan pilar tata kelola. 

Blended finance harus mampu membangun infrastruktur dan modal sosial melalui pembangunan yang tidak melampaui daya dukung daya tampung lingkungan.

Blended finance juga harus mampu mengentaskan permasalahan kemiskinan di Indonesia. Salah satu program Pemerintah yang cukup strategis dalam upaya pengentasan kemiskinan adalah melalui program Perhutanan Sosial dengan persetujuan akses kelola dan peningkatan kapasitas pengembangan kelompok usaha Perhutanan Sosial (KUPS).

Perhutanan Sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan  kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat,  Hutan Rakyat, Hutan Adat dan Kemitraan Kehutanan (Permen LHK No.9, 2021).

Tujuan Perhutanan Sosial adalah peningkatkan proporsi hak kelola masyarakat terhadap hutan hingga 10% (setara dengan 12,7 juta ha) dalam bentuk hutan sosial. 12,7 juta ha ini adalah menjadi target luas capaian nasional. 

Dampak jangka pendek yang diharapkan dari program Perhutanan Sosial adalah perbaikan dan adaptasi sistem, tersedianya indikasi wilayah kelola dan perbaikan proses bisnis hutan sosial, perbaikan modal sosial, perbaikan akses masyarakat terhadap lembaga keuangan mikro (BLU), pendampingan dan akses pasar terhadap produk masyarakat, dan peningkatan kapasitas manajemen masyarakat.

Dampak jangka menengah dari program Perhutanan Sosial adalah pengembangan ekonomi domestik, sentra produksi hasil hutan, penurunan konflik tenurial  dan kelestarian hutan. Adapun dampak jangka panjang yang diharapkan dari program Perhutanan Sosial adalah terbangun pusat-pusat ekonomi domestik dan pertumbuhan desa sentra produksi hasil hutan berbasis desa yang menyerap tenaga kerja dan mengentaskan kemiskinan dan memberi kontribusi ketahanan pangan, sosial, dan iklim.

Sejalan dengan komitmen global Indonesia dalam pencapaian SDGs, yaitu khususnya pada tujuan SDGs 1, mengakhiri kemiskinan dalam segala bentuk dimanapun, Perhutanan Sosial dapat menjadi program pengungkit dalam upaya pengentasan kemiskinan ekstrem khususnya pada masyarakat pedesaan melalui aspek modal lahan dan pengembangan usaha serta pemasaran.

Perhutanan Sosial juga berperan dalam upaya mencapai SDGs 2 tanpa kelaparan; SDGs 8 pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi, SDGs 10 berkurangnya kesenjangan dan tentunya SDGs 13 penanganan perubahan iklim serta SDGs 15 ekosistem daranan berkelanjutan. 

Perhutanan Sosial merupakan program pemerintah yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan pembangunan pilar ekonomi, sekaligus pilar sosial dan pilar lingkungan.

(Khulfi M. Khalwani)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun