Dalam hati saya hanya bisa berkata, " belum belajar kesetaraan gender kau ya ? Makanya susah maju."
Ingatan saya kembali melayang jauh ke satu dasawarsa sebelumnya, yaitu pada tahun 2003 saat Saya pertama kali masuk kuliah S1 ke kampus kehutanan di IPB. Ketika itu saya mengikuti Diklatsar Rimpala (Rimbawan Pecinta Alam), sebuah organisasi mahasiswa di bidang kepecintaalaman.
Proses diklatsar mahasiswa pecinta alam yang panjang dan melelahkan tampaknya menimbulkan keraguan pada beberapa mahasiswa. "Apakah mahasiswi -- mahasiswi yang ikut acara ini mampu bertahan ?"
Ternyata seleksi alam berkata lain. Satu persatu peserta berguguran. Dari lima puluhan peserta yang mendaftar, hanya delapan orang yang mampu bertahan melanjutkan sampai acara puncak dan pelantikan di Gunung Salak. Syukurnya saya termasuk menjadi bagian dari delapan orang tersebut. Dan hebatnya, lima dari delapan orang itu adalah perempuan.
Pengalaman empiris dan bukti -- bukti di lapangan menunjukkan bahwa ternyata perempuan mampu dan berhak memperoleh value yang sama atau setara dengan laki-laki, termasuk dalam dunia kehutanan.
Kembali ke saat ini. Hampir genap satu dasawarsa dunia rimbawan dipimpin sosok perempuan. Sejak tahun 2014, saat Presiden RI menunjuk seorang ibu menjadi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, juga menunjukkan beberapa prestasi yang membanggakan.
Akses masyarakat untuk mengelola kawasan hutan negara melalui perhutanan sosial semakin diperluas dan dilembagakan. Kepercayaan negara terhadap rakyat melalui perhutanan sosial mampu mematahkan anggapan lama, bahwa negara hanya berpihak pada korporasi atau pemilik modal. Â Melalui perhutanan sosial, taraf hidup masyarakat sekitar hutan bisa ditingkatkan dan sumber daya hutan tetap dijaga oleh mereka sebagai asset hidup.
Disisi lain, luas kebakaran hutan mampu ditekan dan dikendalikan dari periode tahun-tahun sebelumnya. Laju deforestasi juga menurun yang ditandai oleh meningkatnya proporsi tutupan daratan berhutan. Rehabilitasi hutan dan lahan, restorasi ekosistem gambut dan mangrove semakin gencar dilakukan. Konservasi alam dan ekowisata semakin berkembang dan memberikan beberapa catatan menggembirakan.
Anggapan bahwa kehutanan sebagai penghambat laju pembangunan perlahan bergeser menjadi pendukung utama untuk pemenuhan energi, pangan, dan pengembangan infrastruktur.
 Melalui multiusaha kehutanan, dunia investasi juga didorong untuk terus berinovasi dalam meningkatkan nilai tambah dari kawasan hutan dan hasil hutan.Â
Tanpa harus melampaui daya dukung daya tampung lingkungan, paradigma kehutanan yang dulunya hanya berbasis kayu semata, saat ini berkembang menjadi multi guna dan multi fungsi.